Ini Puisi Karya Isbedy Stiawan ZS yang Memenangkan Lomba “Sail Puisi Cimanuk 2016”
TERASLAMPUNG.COM — Penyair Lampung Isbedy Stiawan ZS memenangkan Lomba “Sail Puisi Cimanuk 2016” yang digelar Dewan Kesenian Indramayu dan berhak atas hadiah uang sebesar Rp 4 juta. Lewat puisi berjudul “Cimanuk, Ketika Burung...

TERASLAMPUNG.COM — Penyair Lampung Isbedy Stiawan ZS memenangkan Lomba “Sail Puisi Cimanuk 2016” yang digelar Dewan Kesenian Indramayu dan berhak atas hadiah uang sebesar Rp 4 juta. Lewat puisi berjudul “Cimanuk, Ketika Burung-Burung Kini Telah Pergi”, penyair berjuluk Paus Sastra Lampung itu menyingkirkan 1.350-an penyair pesaingnya dari berbagai daerah di Indonesia.
Agung Nugroho, Ketua Panitia Lomba Menulis Puisi “Sail Puisi Cimanuk 2016”, mengatakan puisi karya Isbedy tersebut memenuhi hampir semua unsur puitik.
“Puisinya tidak hanya hanya merefleksikan sungai Cimanuk secara esensi, tetapi juga impresif dengan penguasaan idiom, teks, linguistik yang mumpuni. Kita sangat tersanjung, lomba ini diikuti dan akhirnya dimenangkan penyair yang telah memiliki nama di peta kepenyairan Nusantara maupun negeri serumpun Melayu,” kata Agung Nugroho, Rabu (12/10/2016).
Selain karya Isbedy yang dinobatkan sebagai juara pertama, tim juri juga memilih lima karya puisi terbaik lainnya. Yakni: puisi terbaik kedua “Suluk Cimanuk” karya Irvan Mulyadie (Tasikmalaya), terbaik ketiga, “Cerita dari Ujung Canting” karya Hasta Indriyana (Cimahi),terbaik keempat “Fragmen Suluk Cimanuk” karya Alexander Robert Nainggolan (Tangerang, Banten), dam terbaik kelima, “Cimanuk : Siklus Air” karya Beni Setia (Madiun), dan terbaik keenam “Jalan Rindu Menuju Cimanuk” karya Made Edy Arudi (Singaraja).
Para pemenang akan memperoleh hadiah uang tunai dan penghargaan yang akan dilangsungkan pada puncak acara “Sail Puisi Cimanuk”, tanggal 15 Oktober 2016 di Gedung Panti Budaya, Dewan Kesenian Indramayu.
Berikut puisi karya Isbedy yang memenangkan Lomba “Sail Puisi Cimanuk 2016”:
Isbedy Stiawan ZS
Cimanuk, Ketika Burung-Burung Kini Telah Pergi
/1/ Kapal-kapal berlabuh
kapal-kapal berlabuh. dari benua lain melempar sauh,
botol-botol alkohol. lalu wajah-wajah dingin
bertubuh tinggi, kulit putih
menebar peluru dan sepatu boat. “sudah kami singgahi
sunda kelapa, kini berlabuh di sini,” katanya. burung-burung
membangun sarang di dermaga, tiang-tiang bendera,
bubungan — air sungai amat tenang, begitu dalam
hingga kapal-kapal bisa pergi dan datang –
orang-orang berkulit putih dari negeri jauh, benua lain dari
sini dan berlabuh. menurunkan serdadu. setelah itu
mengangkut rempah-rempah, kopra, dan para perempuan
“untuk kukawinkan.”
anak-anak yang lahir sebagai perabadan baru, entah
dihidupkan di negeri mana. pelabuhan menjadi semakin
tua. tiang-tiang penyangga patah oleh musim dan laut,
dermaga begitu kelam burung-burung migrasi
ke mana?
pedagang dari jazirah arab dan cina
menyandarkan kapal di pelabuhan ini, jauh sebelum
orang-orang eropa datang dan mengangkut
rempah dan buah-buah. di sini, pelabuhan cimanuk,
jadi penanda bagi daerah-daerah lain; dari kerajaan
demi kerajaan
pelabuhan menjadi kemilau
*
ke dalam tubuhmu indramayu, burung-burung
bersarang. kota dibangun, kehidupan ditebarkan
tapi cimanuk hilang sungai. tubuh ramping,
kapal-kapal pun mencari pelabuhan lain
jalan raya pos dan jalur kereta api dibuka
barang pun diangkut menuju
daerah-daerah lain. ah, cimanuk tiada
lagi tanda. kapal-kapal tak lagi menurunkan
sauh, pelabuhan tak berpeluh – “cinta pun
karam di laut lepas…”
anak-anak berlarian ke ujung pelabuhan
mengejar burung-burung migrasi
di sungaimu, segala peristiwa dicatat
di airmu, seluruh hidup kami ditabalkan
cimanuk…
/2/ Nuh, Nuh…
di bekas pelabuhan tak lagi bertanda
orang-orang mengolah kayu
mengukir batangan. serupa Nuh
sebelum musim banjir dulu;
perahu-perahu dirakit
cinta dirajah
kota-kota lain diukur
“dari sini kita memulai kehidupan,
setelah sungai pasang perahu pun
berlayar.”
o serupa tangan Nuh
perahu-perahu siap diarungkan
orang-orang menunggu
air sungai naik. tapi, ah, pada
masa kapan?
di sisa pelabuhan cimanuk
tak lagi bertanda, kecuali perajin
perahu terkenang masa lalu
“dulu, setelah
sunda kelapa, di sini kapal-kapal
dari eropa berlabuh,” ujar perajin
perahu. begitu lirih…
/3/ Air Hidupku, Tanah Matiku…
di air hidupku tumbuh. ombak melarungkan
ke lubuk lain: dermaga-dermaga jauh
perahu dilabuhkan. ke lubuk cintamu,
segala peluk diketatkan
di air segala dimulai. dari pelabuhan,
mula hidup dilayarkan. di sini, dari
air cimanuk mengalir jauh
ke rumah-rumah, pesawahan,
ke kebun-kebun
ke peluk-cium
matiku…
*
kini aku tegak di antara pelabuhan
dan daratan. pohon-pohon bakau
ditanam sejauh mata memandang
kuajak kau ke sini. angin sepoi
bau sungai, aroma kebun-kebun
“nikmati, usah kau miliki…”
tapi, pilihlah buah-buah
dari tanah ini. mangga indramayu,
nikmatnya tiada tara
dan, tiap kali kutinggalkan
cimanuk, sungguh mangganya
kuingat selalu
juga gadis-gadis
ranum,
menebar senyum
o!
Lampung, 2 Oktober 2016