Identitas Membedakan Entitas

Identitas Membedakan Entitas

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Beberapa hari ini dunia maya dihebohkan dengan polemik menghormati seseorang, apa pun jabatan dan statusnya, dengan cara tertentu, dianggap berlebihan. Dengan salah satu alasannya adalah “sama-sama manusia”. Bahkan ada yang menganggap itu bentuk eksploitasi. Di sisi lain mereka yang melakukan penghormatan dengan cara itu dianggap biasa-biasa saja, dan wajar, karena dengan parameter tertentu yang diyakini. Bahkan ada seorang tokoh agama yang mengatakan: berlian, veros,  bacan, dan kerikil sama-sama batu. Meskipun  sama-sama batu, masing-masing perbedaannya sangat mencolok. Jika ada yang ingin menyamakan, maka yang bersangkutan patut diduga untuk diperiksa kesehatan jiwanya.

Tulisan ini tidak ingin memperkeruh semua itu, namun mencoba melihat dari perspektif lain; sehingga diharapkan menjadi bahan renungan.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup berdampingan dengan ribuan bentuk entitas yang secara kasat mata tampak mirip, bahkan kerap disebut sama. Namun, kesamaan pada tataran istilah tidak serta-merta menghadirkan kesamaan dalam makna, nilai, atau fungsi. Kalimat  yang menyebutkan bahwa berlian, veros, bacan, dan kerikil jsama-sama batu ampaknya hanya menyatakan fakta sederhana tentang kategori material, yakni bahwa keempatnya tergolong batuan. Namun ketika pernyataan itu ditutup dengan, “jika ada yang mengatakan sama, maka orang itu perlu masuk rumah sakit jiwa,” kita diarahkan untuk berpikir ulang: apakah benar semua yang disebut “batu” itu memang sama? Atau justru di sinilah letak kekeliruan berpikir yang menggiring pada penyamaan identitas secara serampangan?

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang melekat hanya pada bentuk fisik atau komposisi material, melainkan pada posisi, relasi, nilai, dan makna yang muncul dari bagaimana entitas tersebut hadir dalam konteks tertentu. Berlian, bacan, veros, dan kerikil memang semuanya batu, tetapi tidak satu pun dari mereka memiliki identitas yang identik satu sama lain. Menyamakan keempatnya hanya karena kategori “batu” adalah bentuk reduksionisme konseptual yang mengabaikan dimensi nilai, sejarah, simbolisme, serta peran sosial yang melekat pada masing-masing.

Dalam pendekatan filsafat kontemporer, entitas tidak dipahami secara esensialis, melainkan melalui konstruksi sosial, linguistik, historis, dan relasional. Artinya, suatu benda atau konsep tidak memiliki makna tetap, tetapi memperoleh identitasnya dalam interaksinya dengan subjek, ruang, dan waktu. Maka dari itu, istilah “batu” tidak cukup menjelaskan apapun kecuali bahwa benda itu berasal dari mineral dan bersifat keras. Namun begitu ia dinamai “berlian” atau “kerikil”, ia masuk ke dalam jejaring makna yang sama sekali berbeda, bahkan bertolak belakang. Inilah mengapa identitas adalah mekanisme yang membedakan entitas, karena ia lahir dari konteks, bukan hanya dari zat.

Dalam konteks aksiologi, menyamakan semua batu justru berarti menghapus perbedaan nilai yang melekat pada masing-masing. Ini sama saja dengan menyamakan harga berlian dan kerikil hanya karena mereka berasal dari golongan benda yang sama. Padahal, dalam sistem kehidupan manusia, ekonomi, budaya, bahkan emosional; nilai tidak ditentukan oleh kategori fisik, melainkan oleh pemaknaan sosial dan historis. Berlian bisa menjadi pusaka keluarga, lambang cinta dalam pernikahan, atau aset bernilai tinggi. Kerikil, meski bisa menyusun jalan setapak, tidak akan pernah menempati posisi simbolik seperti itu. Ketika perbedaan nilai diabaikan, manusia kehilangan sensitivitas terhadap kompleksitas realitas.

Filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa keseragaman atau penyamaan makna yang terburu-buru bisa menjadi bentuk kekuasaan atau pengabaian terhadap keberagaman. Bahasa dan konsep bisa digunakan untuk menindas, untuk menyamakan demi efisiensi, atau untuk menyingkirkan hal-hal yang tak sesuai dengan arus dominan. Maka ketika seseorang berkata “semua batu itu sama,” kita tidak hanya sedang melihat kesalahan kategori, tetapi potensi bahaya dari generalisasi yang mematikan keunikan. Dunia tidak dibangun dari kesamaan, melainkan dari perbedaan yang dikenali dan dihargai.

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa orang yang menyamakan semuanya “perlu masuk rumah sakit jiwa”? Secara literal, tentu ini hiperbola. Namun secara filosofis, pernyataan itu bisa dibaca sebagai kritik terhadap cara berpikir simplistik yang gagal menangkap perbedaan makna. Dalam dunia yang serba kompleks, kemampuan membedakan dan mengapresiasi perbedaan adalah bentuk kewarasan kognitif. Sebaliknya, penyamaan secara serampangan bisa menunjukkan ketumpulannya daya pikir, bahkan nihilisme makna. Maka “gila” di sini bukan berarti gangguan jiwa secara medis, melainkan ketidakwarasan berpikir yang menolak kompleksitas dan memperlakukan dunia secara datar.

Dengan demikian, penyamaan semua batu bukan hanya kekeliruan semantik, tetapi pengkhianatan terhadap keragaman makna. Dunia bukan hanya terdiri dari benda-benda, tetapi juga dari cerita, simbol, sejarah, dan relasi kuasa yang melekat pada setiap benda itu. Berlian tidak bisa dimaknai sama dengan veros, karena mereka hidup dalam semesta makna yang berlainan. Identitas membedakan entitas justru karena entitas hanya menjadi berarti ketika identitasnya dikenali dan dihargai.

Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu bisa dikategorikan dan dikelompokkan dengan cepat, dari data hingga manusia. Namun di balik kemudahan itu tersembunyi risiko besar: kehilangan makna dalam penyederhanaan. Maka, mempertahankan pandangan bahwa identitas itu penting, dan bahwa entitas berbeda satu sama lain, bukan sekadar pilihan akademik; melainkan sikap eksistensial terhadap kehidupan itu sendiri. Kita tidak bisa memahami dunia jika kita enggan membedakan.

Pada akhirnya, pernyataan bahwa semua batu itu sama hanyalah kebenaran permukaan yang tidak mampu menembus kedalaman realitas. Ia mengabaikan sejarah, konteks, nilai, dan simbol yang membentuk identitas masing-masing entitas. Dalam terang filsafat kontemporer, tugas berpikir bukan untuk menyamaratakan segalanya, tetapi untuk mengakui dan memahami keragaman yang tersembunyi di balik kesamaan yang tampak. Sebab identitas bukan sekadar nama, tetapi cara suatu entitas hadir dan dimaknai di dalam dunia. Dan karena itu, identitaslah yang membedakan entitas; bukan zatnya, bukan bentuknya, tetapi kisah, relasi, dan nilai yang menghidupinya.

Oleh karena itu,  kita tidak bisa menyamakan persepsi sepenuhnya atas dasar dugaan kita; sebab di sana masih ada sudut pandang, dan cara pandang yang berbeda. Secara bijak kita harus menghormati perbedaan itu, dengan tidak memaksakan pandangan kita kepada pandangan yang berbeda. Apalagi sampai menghakimi berdasarkan kebenaran kita.i