Catatan Akhir Tahun LBH Bandarlampung 2016: Penegakan Hukum Masih Memble
TERASLAMPUNG.COM — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlmpung menyoroti isu penegakan hukum di Lampung sepanjang 2016 dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2016 bertajuk “Quo Vadis Keadilan di Bumi Ruwa Jurai”. Dalam diskusi yang digelar di Kantor LB...
TERASLAMPUNG.COM — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlmpung menyoroti isu penegakan hukum di Lampung sepanjang 2016 dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2016 bertajuk “Quo Vadis Keadilan di Bumi Ruwa Jurai”.
Dalam diskusi yang digelar di Kantor LBH Bandarlampung, Kamis (29/12/2016) itu hadir perwakilan kepolisian, Slamet Hariadi (Pengadilan Tinggi Lampung), Wahyu Sasongko (akademikus Unila)), Abi Hasan Mu’an (advokat) Wahrul Fauzi Silalalhi (advokat), Hendrawan (Walhi), Ichwanto M. Nuh (AMAN/Watala), dan sejumlah aktivis lainnya.
Berikut rangkuman diskusi tersebut:
Timpang dan tebang pilihnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum masih mewarnai dan menjadi momok bagi kita semua, khususnya masyarakat Provinsi Lampung. Vonis ringan dan disparitas atas putusan pengadilan terhadap tindak pidana korupsi masih mengambil bagian besar dalam menyokong carut marutnya penegakan hukum.
Bau busuk korupsi masih sangat menyengat di bumi ruwa jurai. Dalam pengamatan kami, korupsi tidaklah dipandang sebagai tindak pidana luar biasa yang harus diselesaikan melakui upaya-upaya yang luar biasa juga. Putusan pengadilan atas beberapa tindak pidana korupsi yang telah terbukti menilap uang negara hingga miliaran rupiah tidak lebih berat dari perkara pencurian biasa yang dituduhkan kepada salah seorang pembantu rumah Ttngga (PRT) yang bekerja di rumah majikannya.
Tahun 2016 juga diwarnai fakta kelam, yakni dengan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kepada beberapa pendamping masyarakat. Fakta ini ironis karena pendamping masyarakat itu membantu ingin mempertahankan dan membela hak-haknya yang dirampas, baik oleh negara (pemerintah) maupun korporasi (non state actor) atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kejahatan dan pelanggaran yang berdampak terhadap rusaknya lingkungan hidup juga masih marak terjadi. Bagaiamana kegiatan bisnis korporasi menghantam dan merusak lingkungan. Tidak hanya itu. Perampasan tanah-tanah masyarakat juga masih marak terjadi di Bumi Ruwa Jurai.
Ada juga ketidakadilan pembebasan lahan untuk kepentingan umum dengan dalih untuk proyek pembangunan. Dalam hal ini masyarakat banyak dikorbankan.
Dua permasalahan tersebut tentunya menjadi ingatan buruk bagi kita semua, bagaimana dengan mudahnya kekuatan kapital menerjang dan merusak sistem hukum, sosial dan budaya yang ada di Provinsi Lampung yang kita cintai ini.
Dalam catatan kecil kami ini, yang masih jauh dari kata sempurna, kami harapkan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, sehingga kedepan Provinsi Lampung menjadi lebih baik lagi dalam hal penegakan hukum, HAM, dan demokrasi.

CATATAN HAK SIPIL POLITIK LBH BANDAR LAMPUNG
Ada beberapa catatan pelanggara hak SIPOL di Provinsi Lampung yang di tangani LBH Bandar Lampung:
- Intimidasi dan penganiayaan terhadap jurnalis
- Kebebasan berekspresi mahasiswa IAIN Raden Intan Lampung
- Penangkapan dan upaya kriminalisasi Mahasiswa IAIN Raden Intan Lampung
- Kekerasan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan dugaan kasus pidana
Dengan total 15 pengaduan dengan 784 orang penerima manfaat. Selain itu, hingga saat ini di Provinsi Lampung ada dua catatan pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan yaitu Kasus Talang Sari dan Tragedi Bedarah UBL.
CATATAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
Sepanjang setahun terakhir mulai dari desember 2015 sampai desember 2016 LBH Bandar Lampung menerima 17 pengaduan perkara ekonomi sosial budaya. Dengan total jumlah penerima manfaat sebanyak 13.693 KK. Dengan 10 pengaduan adalah kelompok hak yang dilanggar atas tanah dan tempat tinggalnya yang terdiri dari 10ribu pencari keadilan. Mencuatnya persoalan agraria memberikan sedikit gambaran bagaimana pemerintah dalam membuat peraturan dan kebijakan justru melahirkan perampasan kehidupan masyarakat terutama yang miskin dan bodoh.
Persoalan agraria di provinsi lampung tidak jarang menimbulkan konflik sosial bagaimana masyarakat pada akhirnya harus dihadap-hadapkan dengan aparat penengak hukum. Hal ini jelas kedudukan penengak hukum di Provinsi Lampung tidak berada di garis raykat. Seperti persoalan PT BNIL dengan masyarakat Desa Bujuk Agung di Kabupaten Tulangbawang.
Setelah memperjuangkan hak atas tanahnya selama bertahun- tahun, Sukirman dkk justru arus duduk di kursi pesakitan untuk disidangkan. Bagaimana mungkin orang yang memiliki hak atas tanah justru jadi terdakwa? Ini menunjukkan bahwa intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan telah mengakibatkan rakyat harus tersingkir dari tanahnya sendiri. Mereka tidak bisa mengelola sumber daya alam di segala sektor agraria yang mestinya menjadi haknya. Ini merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Sebab, negara seharusnya melindungi dan menjamin pemenuhan hak-hak rakyatnya. Kebijakan politik pemerintah Provinsi Lampung seharusnya mampu menjadi jembatan untuk penyelesaian konflik agrarian ini agar tidak menjadi konflik sosial.
Belum lagi persoalan hak atas kesehatan dan hak atas pekerjaan. Kami menilai pemerintah juga tidak melakukan fungsinya sebagai pengawas dalam proses pemenuhan hak hak tersebut. Misalnya kadus dugaan malapraktik yang dilakukan RS Urip Sumoharjo Bandarlampung terhadap Upik Rosida. Karena kelalaian petugas medis rumah sakit — salah memberiikan obat — menyebabkan pasien bernama Upik Rosida mengalami luka bakar sekujur tubuhnya.

Akhirnya, Upik Rosida yang mengalami luka bakar 90 % dan meninggal dunia. Atas meninggalnya pasien rumah sakit itu, negara tidak berbuat apa-apa, Bahkan laporan polisi dengan dugaan malapraktik pun tidak berjalan.
Selain itu hak atas penghasilan yang layak terhadap dana sertifikasi dan gaji 13 guru telah di kebiri oleh pemerintah karena dalam pencairannya begitu banyak persoalan. Bahwa peristiwa itu sangan jelas Negara hari ini tidak melakukan pengawasan yang baik.
Tentang Penegakan Hukum
Kasus-kasus korupsi yang telah terbukti merugikan keuangan negara hingga milyaran rupiah pada kenyataannya hanya diputus ringan. Tren putusan yang rata-rata ringan tidak dapat dipungkiri juga akibat “tuntutan ringan” yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, salah satu kasus korupsi yang menyita perhatian publik ialah korupsi proyek pengadaan perlengkapan siswa miskin di Provinsi Lampung, yang merugikan negara hingga Rp 6,5 miliar.
Dalam kasus tersebut melibatkan pegawai negeri sipil serta pihak swasta. Kemudian, berdasarkan data perkara korupsi yang ada di laman SIPP PN Tanjung Karang, menunjukan Kedua aktor (PNS dan Swasta) merupakan aktor yang mendominasi Perkara korupsi di Pengadilan Tipikor PN Tanjung Karang. Hal ini mengindikasikan adanya persoalan serius terkait hubungan kedua aktor tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan.
Maka, seharusnya penegakan hukum atas tindakan dan perilaku yang koruptif tersebut dapat maksimal dan memberikan efek jera yang kemudian ikut menekan angka korupsi di daerah. Masih tingginya angka korupsi di daerah (Lampung) dan belum maksimal penegakan hukumnya, hal ini masih mewarnai perjalanan 7 tahun lahirnya Pengadilan Tipikor didaerah.

Belum maksimalnya penegakan hukum tipikor di daerah, khususnya Provinsi Lampung, dapat juga dilihat dari disparitas putusan yang masih terjadi. Pada saat upaya menghukum kejahatan luar biasa (korupsi) dengan seberat-beratnya terus diupayakan, lembaga peradilan justru menimbulkan persoalan disparitas. Putusan berbeda terhadap perkara serupa ini membuat putusan pengadilan menjadi diragukan oleh Publik.
Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Maka sudah menjadi keharusan saat ini, mengingat sudah 7 tahun lahir pengadilan tipikor didaerah, para penegak hukum memiliki persepsi yang sama atas tindak pidana korupsi.
Korupsi haruslah dipandang sebagai kejahatan luar biasa, yang dalam pemberian hukuman dalam penegakan hukumnya pun harus luar biasa. Selain itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuh kesadaran dan sikap masyarakat yang anti korupsi.
Direktur LBH Bandarlampung
Alian Setiadi







