Puisi Karya Robi Akbar
ROBI AKBAR Anakku Menghayati Pagi anakku menghayati pagi dalam keheningan batu dan kelopak kembang kertas yang jatuh di taman ia dengar angin bersenandung melagukan irama asing dari negri yang jauh merekahkan kekosongan di mulut kepompon...

ROBI AKBAR
Anakku Menghayati Pagi
anakku menghayati pagi
dalam keheningan batu dan kelopak kembang kertas
yang jatuh di taman
ia dengar angin bersenandung
melagukan irama asing dari negri yang jauh
merekahkan kekosongan di mulut kepompong
menarikan rumputan dan ilalang dalam kenang
anakku menghayati pagi
menyapa udara yang tenang
di taman yang lengang
ia dengar burungburung berkicauan
di antara jarijari kecilnya yang meraba gerimis
begitu ritmis
Membaca
anakku membaca sobekan sejarah
pada selembar koran di pinggir comberan
ia membaca hutanhutan yang resah dalam kepunahan
pohonpohon kebajikan tercerabut sampai ke akarnya
ribuan binatang lari dan hilang entah ke mana
angin sasar
udara tercemar
siapakah yang membakar hutanhutan dan membangun
pabrikpabrik keserakahan itu? tanyanya di dalam hati
anakku membaca juga kotakota roboh dan orangorang
bersiap dengan segala pembenaran sebagai alasan
ia membaca kakikaki zaman berpatahan
mengejar nasibnya sendiri
sementara tangantangan waktu tak mampu menahan laju
kecemasannya
anakku membaca anakanak lain
menggendong setumpuk buku yang gelisah menuju
sekolah
belajar menghitung impian dan harapan yang semakin
samar
lalu hujan
dan segala bencana membanjiri rumahrumah mereka
hingga tak ada lagi yang tersisa selain kepasrahan
anakku membaca sobekan sejarah
pada selembar koran di pinggir comberan
ketika diamdiam banjir menenggelamkannya ke
comberan yang sama
bi’14
Sakit
ada boneka beruang meraungraung di kepalanya
sama persis seperti milik anak tetangga yang kulihat
pagi tadi sebelum berangkat bekerja
anakku terbaring
badannya panas darah di dalam tubuhnya seperti mendidih
ia meracau ketika boneka beruang itu mencakarcakar
ingin di hatinya
anakku sakit
dadaku serasa terhimpit
sakit
bi’12
yang Bening dan Lembar Cahaya
I
membuka lembarlembar cahaya
melepas angin dan kicau burungburung
dari kelopak matamu
jejak yang hapus
lantaran hujan merayakan kelam semalaman
seperti langkah jarumjarum jam yang meninggalkan
waktu
jemariku meraba dinding kata yang tak terbaca
meyusur lorong gelap tanpa makna
kalimatkalimat terjebak dalam sajak
II
di pagi yang bening itu
kelopak matamu
merangkum dingin dan lirih erangan angin
medekap hening
daundaun asam yang menguning sebelum berguguran
lalu jemariku lumpuh
hilang rasa raba
tak bisa membaca
sajak yang terluka di lembar cahaya
bi’13-14