Utang Kampanye di Balik OTT Bupati Lampung Tengah

Utang Kampanye di Balik OTT Bupati Lampung Tengah

Oleh Syarief Makhya

Minggu ini, satu lagi kepala daerah, yakni Ardito Wijaya (AW), Bupati Lampung Tengah periode 2025–2030, tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Dalam pernyataan resminya, KPK mengungkapkan bahwa Ardito diduga meminta fee proyek sebesar 15–20 persen yang diperuntukkan untuk membayar utang saat Pilkada 2024.

Modus permintaan fee proyek sebenarnya bukan hal baru dalam praktik tender proyek pemerintah, hal ini merupakan bagian dari praktik rent seeking atau perilaku perburuan rente, yakni upaya memperoleh keuntungan ekonomi melalui penyalahgunaan kekuasaan dan akses politik, bukan melalui persaingan yang sehat.

Dari alasan permintaan fee proyek untuk membayar utang kampanye pilkada, menjadi bukti kuat bahwa tingginya biaya kontestasi elektoral menciptakan insentif struktural bagi penyalahgunaan kewenangan setelah kandidat terpilih. Akibatnya, relasi antara pejabat terpilih dan penyedia jasa berubah menjadi hubungan transaksional yang rentan korupsi.

Akibat lebih jauh dari kebiasaan adanya fee proyek bagi pejabat, anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik menjadi tergerus. Sebagai ilustrasi, dari anggaran proyek sebesar Rp1 miliar, alokasi yang benar-benar digunakan untuk pelaksanaan pekerjaan di lapangan kerap hanya sekitar 40–55 persen, sementara sisanya dialihkan untuk keuntungan pemborong serta pembayaran fee proyek kepada pejabat.

Dalam kondisi seperti ini, proyek publik tidak lagi dirancang berdasarkan kebutuhan dan standar mutu, melainkan disesuaikan dengan kemampuan menutup biaya rente yang telah disepakati.Konsekuensinya, kualitas proyek menjadi rendah, umur infrastruktur lebih pendek, dan risiko kerusakan dini meningkat, yang pada akhirnya merugikan masyarakat sebagai penerima manfaat.

Kebiasaan pemberian fee proyek tampaknya akan terus berlangsung dan menjadi modus kepala daerah untuk mencari keuntungan politik maupun ekonomi dari proyek-proyek pembangunan yang bersumber dari APBD.

Modus lain selain fee proyek meliputi pengalihan anggaran ke proyek tidak prioritas atau proyek politis untuk menutup biaya kampanye atau keuntungan pribadi; mark-up harga barang atau jasa, yaitu nilai kontrak dilebihkan sehingga sebagian anggaran kembali ke pejabat atau pihak tertentu, serta pengaturan tender atau lelang fiktif untuk memastikan pemenang tertentu yang kemudian membayar kompensasi kepada penguasa daerah

Problem Struktural

Pemberian fee proyek jika dipetakan dalam kerangka pendekatan stuktural bukan sekadar perilaku koruptif individu, tetapi hasil dari struktur politik yang transaksional kelembagaan pengadaan yang lemah, dan pola ekonomi yang memungkinkan ekstraksi keuntungan. 

Beberapa argumen untuk menjelaskan masalah tersebut yaitu, pertama, struktur politikBiaya politik yang tinggi dalam kontestasi Pilkada memaksa kandidat mengeluarkan dana kampanye yang besar. Setelah terpilih, kepala daerah pun terdorong mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses elektoral. Selain itu, sistem partai politik yang lemah dalam pengawasan internal memudahkan pejabat untuk beroperasi demi kepentingan pribadi atau jaringan politiknya. Dengan demikian, fee proyek tidak sekadar perilaku individu, melainkan bagian dari mekanisme struktural untuk menutup biaya politik.

Kedua, faktor struktur kelembagaan dan administratif. Meskipun mekanisme e-procurement telah diterapkan, pengawasan dan transparansi dalam pengadaan proyek masih jauh dari optimal. Pejabat pengadaan atau birokrasi yang loyal kepada kepala daerah semakin memperkuat praktik rent seeking. Selain itu, penegakan hukum yang lambat atau tidak konsisten membuat kelembagaan gagal memberikan efek jera. Akibatnya, struktur birokrasi yang rapuh memberi ruang bagi kepala daerah untuk mengekstraksi keuntungan melalui proyek.

Ketiga, faktor struktur ekonomi, hubungan jangka panjang antara kontraktor tertentu dan pejabat menciptakan pola distribusi fee yang sistematis. Distorsi alokasi anggaran menyebabkan proyek publik tidak lagi ditetapkan berdasarkan kebutuhan masyarakat, melainkan berdasarkan kemampuan menutup biaya politik dan keuntungan pejabat. Dengan demikian, fee proyek menjadi bagian dari sistem ekonomi bayangan yang tersusun secara struktural di APBD.

Akhirnya, pelajaran penting dari kasus OTT Bupati Lampung Tengah menunjukkan bahwa fenomena semacam ini berulang hampir di setiap momentum pilkada, karena faktor , kesadaran pemilih masih rendah; masyarakat kerap terkecoh oleh penampilan calon serta maraknya distribusi uang dalam praktik politik uang. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat mayoritas pemilih berasal dari lapisan sosial bawah yang, secara umum, memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang relatif rendah, sehingga cenderung bersikap pragmatis dalam menentukan pilihan politik.

Oleh karena itu, terobosan yang dapat dilakukan ketika persoalan korupsi berakar pada problem struktural adalah mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan politik, bukan dalam bentuk kekerasan, melainkan melalui penguatan kesadaran politik, partisipasi elektoral yang rasional, serta kontrol publik yang berkelanjutan terhadap penyelenggara kekuasaan.***

Prof. Dr. Syarief Makhya adalah Guru Besar FISIP Universitas Lampung