Benturan HAM: Investasi dan Hak Warga

Benturan HAM: Investasi dan Hak Warga

Oleh Syarief Makhya*

Tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM sedunia. Setidaknya memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki beberapa makna penting, baik secara moral, sosial, maupun politik yaitu mengingatkan martabat manusia yang wajib dihormati.

Hari HAM mengingatkan bahwa setiap manusia memiliki hak dasarseperti hak hidup, kebebasan berpendapat, pendidikan, perlindungan hukumyang tidak boleh dicabut oleh siapa pun. Memperingati hari HAM juga untuk mengevaluasi kondisi HAM di suatu negara. Peringatan ini menjadi momen untuk menilai apakah negara dan masyarakat sudah memenuhi, melindungi, dan menghormati hak-hak warganya. 

Salah satu isu yang muncul dalam konteks refleksi terhadap kondisi HAM di Indonesia adalah kontroversi pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Selama 32 tahun masa pemerintahannya, Soeharto dinilai oleh sebagian pihak tidak layak menerima gelar tersebut karena adanya berbagai peristiwa yang secara luas dicatat dalam sejarah Indonesia dan dilaporkan oleh lembaga-lembaga HAM, baik nasional maupun internasional. Beberapa pelanggaran HAM yang sering dikaitkan dengan era Orde Baru mencakup Tragedi 1965–1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985, Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Talangsari (1989), penghilangan paksa aktivis (1997–1998), penembakan Trisakti dan Semanggi I & II (1998), serta pembatasan kebebasan politik dan ekspresi.

Pelanggaran HAM tidak hanya terbatas pada tindakan kekerasan oleh penguasa dengan dalih menjaga stabilitas politik atau demi kepentingan pembangunan. Dalam banyak kasus, penguasa kemudian bertindak sewenang-wenang dengan mengorbankan hak rakyat untuk menyatakan pendapat, berekspresi, maupun menikmati kehidupan yang layak. Namun demikian, pelanggaran HAM juga harus ditempatkan dalam konteks iklim berinvestasi, yaitu kebijakan ekonomi atau kepentingan modal kerap mengabaikan atau bahkan merugikan hak-hak dasar masyarakat.

Fenomena menjamurnya pasar modern secara jelas berdampak pada hilangnya akses dan kesempatan bagi masyarakat yang memiliki modal terbatas untuk dapat bersaing dengan pasar-pasar modern tersebut. Tergusurnya hutan kota untuk pembangunan rumah-rumah mewah, tempat hiburan, serta berbagai fasilitas lain yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan yang dikuasai oleh pemilik modal kuat.

Demikian pula, dalam lebih dari lima tahun terakhir, tergusurnya fasilitas transportasi publikseperti bus kota maupun angkutan kotaoleh layanan transportasi online telah memaksa masyarakat berpenghasilan rendah beralih menggunakan transportasi berbasis aplikasi. Kondisi ini terjadi karena sudah tidak tersedia lagi sarana transportasi publik yang murah, nyaman, dan mudah diakses oleh lapisan masyarakat bawah.

Fenomena-fenomena tersebut seolah dianggap wajar dan lumrah, bahkan dipandang sebagai konsekuensi yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat modern, padahal sesungguhnya menghadirkan berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang perlu dikritisi dan ditata kembali.

Intervensi Pemerintah 

Investasi memang penting untuk kemajuan daerah, tetapi investasi tidak boleh menjadi dalih untuk menyingkirkan warga dari tanahnya atau merampas sumber hidup mereka. Model pembangunan yang memanusiakan manusia adalah pembangunan yang bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin perlindungan hak setiap warga.

Lalu, bagaimana mencari jalan tengahnya? Salah satu caranya adalah melalui pembatasan yang jelas lewat intervensi pemerintah dan penerapan sanksi yang tegas. Pemerintah harus hadir sebagai penyeimbang antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial. Regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap proyek investasi tetap berada dalam koridor hukum, menghormati hak masyarakat lokal, serta menjaga kelestarian lingkungan.

Intervensi pemerintah dapat berupa transparansi dalam proses perizinan, kewajiban analisis dampak sosial dan lingkungan yang benar-benar independen, serta mekanisme konsultasi publik yang melibatkan warga sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan.

Di sisi lain, sanksi tegasbaik administratif, finansial, maupun pidanaperlu diberlakukan bagi investor atau pihak mana pun yang melanggar hak warga atau melakukan praktik perampasan lahan.Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa mengorbankan martabat manusia. Investasi tetap berlari, tetapi hak warga tetap berdiri. Namun, dari aspek gerakan kontrol publik juga sangat berpengaruh untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Partisipasi aktif masyarakatbaik melalui organisasi warga, kelompok advokasi, akademisi, maupun mediamenjadi pilar penting dalam memastikan bahwa kebijakan dan proyek pembangunan benar-benar berjalan sesuai kebutuhan rakyat, bukan hanya segelintir elit.

Kontrol publik dapat diwujudkan melalui pengawasan proses perizinan, pemantauan implementasi proyek, hingga pengawalan terhadap setiap laporan pelanggaran di lapangan. Keterlibatan masyarakat ini tidak hanya menjadi mekanisme koreksi, tetapi juga sarana memperkuat demokrasi substantif, di mana warga memiliki suara yang nyata dalam menentukan arah pembangunan daerahnya.

Lebih jauh, ruang-ruang dialog antara masyarakat, pemerintah, dan investor perlu terus dibuka. Ketika warga dilibatkan sejak awal, konflik dapat diminimalkan dan solusi bersama dapat ditemukan. Dengan demikian, pembangunan bukan hanya menjadi proyek fisik, tetapi juga proses sosial yang menghargai martabat manusia dan memperkuat rasa keadilan.

Pada akhirnya, sinergi antara intervensi pemerintah yang tegas dan gerakan kontrol publik yang aktif akan melahirkan tata kelola pembangunan yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Inilah fondasi yang akan memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak dibangun di atas penderitaan, melainkan kesejahteraan bersama.***

*Prof. Dr. Syarief Makhya adalah Guru Besar FISIP Universitas Lampung (Unila)