Kabar Angin
Rois Said Sembari minum kopi, angin pagi lembut menyapa. Berbisik mungkin tepatnya. Seperti langkahnya yang tak terekam jejak. Incognito. Mendompleng butir-butir embun yang gemerisik terusir geliat si penguasa siang yang baru bangun. “Selamat pagi…...

Sembari minum kopi, angin pagi lembut menyapa. Berbisik
mungkin tepatnya. Seperti langkahnya yang tak terekam jejak. Incognito. Mendompleng butir-butir embun yang gemerisik terusir geliat si penguasa siang yang baru bangun.
mau dan tersedia di sini. Lakukan juga apa yang kau suka. Aku sibuk.
dibuatnya. Tapi aku masih ketus. Buat apa percaya ucapannya, pikirku. Setiap kali aku mulai percaya, seenaknya dia pergi tanpa meninggalkan jejak.
Pintu dapur dibuka.
hampir berjingkrak namun segera terpenggal hardikanku.
kau bawakan saja coklat buat anakku? Memangnya di surga tak ada coklat?? Atau, kenapa tidak kau ambilkan khuldi buat istriku?! Tak perlu lagilah kau bisiki aku. Lama-lama mulutmu bau asem tai kucing! Apa kau tak pernah dengar selentingan kalau tuhan sudah mati? Coba kau kabarkan itu sama orang-orang!
Kenapa musti aku terus yang kau jejali bisikan-bisikanmu?”Wajah angin pagi memerah, tapi sebentar pucat. Tersenyum kecut dia beringsut.
Semerbak air kencing menghampiri. Si kecil riang menyapa,
“Ayaaaah…”
besok…”Asap tembakau seketika berubah tombak. Menyumbat aliran napas di kerongkongan. Wajah dan mataku merah. Antara asap dan amarah. Kuberikan si kecil pada ibunya.
Segera melonjak mencari si angin surga. Akan kubunuh dia dengan cerita istriku!
Tapi dia sudah menghilang bersama siang. Napas tersengal. Pinggang dikacak.
Kutunggu kau esok, angin pagi! Ingin tahu, cerita apa lagi yang kau bawa dari surga…!