Hening yang Menyempurna

Hening yang Menyempurna

Oleh: Sudjarwo

Dalam adegan terakhir Perang Baratayuda ada momen luar biasa. Peristiwa ini sering diberi muatan dakwah oleh para pendahulu melalui sikap berkesenian.  Lengkap adegannya sebagai berikut: di Padang Kurusetra yang sunyi, Bima dan  Yudistira berdiri menatap medan perang. Keduanya terlibat pembicaraan.

Bima: Kakanda, perang telah usai. Kita menang

Yudistira: Menang? Lihatlah, Bima. Kemenangan di atas kematian bukanlah kebahagiaan. Semua yang hidup kini terdiam tanpa napas.

Bima: Itulah hukum alam. Yang lahir pasti akan mati.

Yudistira: Benar. Tak ada yang abadi. Hidup hanyalah titipan singkat sebelum Allah menjemput kita pulang melalui suruhan-Nya.

Bima: Maka, jalani hidup dengan ketaatan, agar kematian datang tanpa penyesalan.

Yudistira: Engkau benar, Bima. Hidup berakhir, namun amal shalih tak akan hilang.

Mereka berdua menatap matahari tenggelam berwarna jingga. Apa pesan semua itu? Mari jelajahi dengan kedalaman hati.

Ada sebuah momen yang tidak pernah datang dengan tergesa, namun selalu pasti. Ia mendekat seperti senja yang menelan cahaya, pelan tapi tak terhindarkan. Manusia tahu tentangnya, namun jarang mau menatapnya. Bukan karena ia mengerikan, melainkan karena ia terlalu murni untuk dipahami oleh hati yang masih melekat pada dunia.

Dalam hening yang menyertai akhir dari segala gerak, tersimpan rahasia tertinggi tentang makna keberadaan. Di sanalah, segala bentuk kehilangan berubah menjadi kebebasan, dan segala yang tampak fana menemukan kepulangannya yang sejati.

Hidup adalah perjalanan yang tidak lain adalah serangkaian penyingkapan. Setiap langkah membawa manusia pada pemahaman baru tentang siapa dirinya. Dalam pencarian itu, ia terus berhadapan dengan batas: batas tubuh, waktu, dan makna. Ia berupaya melampaui semuanya, namun semakin jauh ia berjalan, semakin ia menyadari bahwa segala batas bukan untuk dilawan, melainkan untuk dimengerti. Karena justru di dalam keterbatasan itulah keabadian memperlihatkan dirinya secara halus, bukan sebagai sesuatu yang terpisah, melainkan sebagai napas yang menghidupi setiap detik yang berlalu.

Manusia hidup dalam gerak antara menahan dan melepaskan. Ia mencintai, namun sekaligus takut kehilangan. Ia berharap, etapi gentar terhadap perubahan. Dalam pertentangan itu, lahirlah penderitaan yang lembut namun abadi: keengganan untuk menerima bahwa segala sesuatu yang indah pada akhirnya harus pulang. Namun, bukankah keindahan justru lahir dari kefanaannya? Bukankah setiap bunga tampak lebih sempurna karena ia tidak mekar selamanya? Manusia yang memahami ini akan mulai melihat bahwa segala yang berlalu tidak pernah benar-benar hilang, akan tetapi dia hanya berganti wujud, berpindah dari yang kasat mata ke yang lebih dalam, dari bentuk menuju makna.

Kepulangan adalah hukum yang diam-diam mengatur semesta. Segala yang datang akan kembali, dan di dalam kembali itu tidak ada kehancuran, hanya penyempurnaan. Laksana sungai yang tidak kehilangan airnya ketika menyatu dengan laut, segala yang hidup tidak kehilangan dirinya ketika kembali kepada asalnya. Yang lenyap hanyalah batas-batas yang memisahkan, sedangkan yang sejati tetap berlangsung dalam keutuhan yang tak terbagi. Maka, apa yang tampak sebagai berakhir, sejatinya hanyalah bentuk tertinggi dari keberlangsungan; sebuah peralihan dari kepemilikan menuju kebebasan.

Manusia sering mengira bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memiliki, memilih, atau menguasai. Namun, kebebasan yang sejati justru terletak pada kemampuan untuk melepaskan. Selama manusia masih menggenggam, ia terikat; selama ia menolak berpisah, ia belum bebas. Hanya dalam pelepasanlah manusia menemukan dirinya sebagai bagian dari sesuatu yang lebih luas, sesuatu yang tidak lagi tunduk pada waktu dan bentuk. Dan ketika segala keterikatan itu luruh satu per satu, tersisa hanya kesadaran murni yang menatap keberadaan tanpa nama, tanpa jarak, tanpa keinginan untuk menjadi apa pun selain ada.

Dalam keheningan yang paling dalam, manusia mungkin akan mengerti bahwa perjalanan ini bukan tentang menambah, tetapi tentang mengurangi. Segala hal yang ia kumpulkan sepanjang hidup berupa ambisi, gelar, bahkan kenangan semua pada akhirnya hanyalah lapisan-lapisan yang menutupi inti dirinya. Ia menumpuk demi merasa utuh, namun justru kehilangan keutuhan sejatinya. Maka, proses pulang bukanlah kehilangan, melainkan penyingkapan. Ia seperti angin yang perlahan meniup debu dari cermin, hingga akhirnya bayangan diri yang sejati tampak dengan jernih.

Hening yang menyertai kepulangan bukan kehampaan, melainkan ruang bagi kebebasan untuk bernapas. Di sana tidak ada lagi waktu yang mendesak, tidak ada lagi keharusan untuk menjadi. Segala hal berada dalam keseimbangan yang sempurna, seperti embun yang menggantung di ujung daun sebelum jatuh menyatu dengan tanah. Dalam momen itu, keberadaan mencapai bentuk paling utuhnya; tidak lagi terpisah antara ada dan tiada, antara subjek dan objek. Segalanya menyatu dalam kesadaran yang tenang, seperti nada terakhir dari lagu yang indah: diam, tetapi bergema di kedalaman yang tak bertepi.

Barangkali inilah puncak dari seluruh pencarian manusia: bukan untuk memahami segalanya, melainkan untuk berdamai dengan yang tak terjelaskan. Sebab, ada hal-hal yang hanya dapat dipahami dengan diam. Dalam diam itu, manusia menemukan bahwa keberadaan tidak pernah berakhir, hanya bertransformasi. Ia tidak lenyap, melainkan kembali menjadi bagian dari irama besar yang dahulu melahirkannya. Di sanalah kebebasan sejati berdiam; bukan dalam teriakan kemenangan, melainkan dalam keheningan yang menyempurna.

Akhirnya, segala perjalanan manusia bermuara pada satu titik di mana kata-kata berhenti dan hanya pengertian yang tersisa. Tidak ada lagi “aku” dan “milikku”, tidak ada lagi “datang” dan “pergi”. Yang ada hanyalah keberlanjutan yang lembut, seperti napas yang berpindah dari dada manusia ke langit luas tanpa batas. Di sanalah, kebebasan mencapai makna tertingginya: bukan lagi sekadar kemampuan untuk memilih, tetapi keberanian untuk kembali, dengan hati yang telah mengerti bahwa tidak ada yang benar-benar berakhir. Dan, tidak ada satupun mahluk yang tidak akan “kembali” (Kullu nafsin dzaa’iqul maut).***

*Guru Besar Universitas Malahayati Lampung