Api yang Membakar Diri Sendiri

Api yang Membakar Diri Sendiri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Beberapa hari lalu mendapat kiriman keluhan dari sahabat lama tentang kondisi saat ini, melalui media sosialnya. Beliau mengeluh penggunaan media sosial yang sangat vulgar saat ini oleh banyak kalangan, dan beliau mempertanyakan bagaimana pendidikan etika saat ini yang sudah tergerus oleh teknologi. Rasa malu yang sudah entah minggat kemana, sehingga banyak orang sudah tidak memilikinya. Bisa dibayangkan ucapan bahkan aibnya sendiri diumbar tanpa rasa sungkan, apalagi risi. Keluhan sahabat tadi memicu dawai rasa untuk menuliskan apa yang sedang terjadi dari kacamata filsafat kontemporer.

Dunia maya kini telah menjadi panggung besar tempat manusia menampilkan segala sisi dirinya tanpa batas. Di sana, segala hal mengalir begitu cepat; pikiran, perasaan, bahkan hasrat yang paling pribadi sekalipun. Media sosial yang dahulu digadang sebagai alat untuk memperluas wawasan dan mempererat koneksi antarmanusia, kini tampak seperti ruang yang berisik, vulgar, dan sering kali kehilangan arah moral. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah ini merupakan kegagalan pendidikan? Ataukah justru ini adalah cermin jujur dari wajah pendidikan itu sendiri, yang sejak awal mungkin telah kehilangan jiwanya?

Jika kita menelusuri akar persoalannya, tampak bahwa media sosial bukanlah penyebab tunggal dari lunturnya moralitas. Ia hanyalah media, bagai cermin besar tempat manusia menatap pantulan dirinya sendiri. Namun ketika pantulan itu tampak kabur, penuh dengan ekspresi syahwat, ego, dan narsisisme, maka yang patut disalahkan bukan cerminnya, melainkan wajah yang dipantulkan di dalamnya. Media sosial, dalam hal ini, hanya memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi nilai yang ditanamkan oleh sistem pendidikan dan kebudayaan kita. Ketika seseorang dengan mudah menayangkan tubuhnya, amarahnya, bahkan kehinaannya kepada dunia tanpa rasa malu, maka sesungguhnya ia sedang menegaskan bahwa nilai-nilai tentang rasa hormat, batas, dan tanggung jawab tidak lagi menjadi bagian dari kesadarannya.

Pendidikan yang sejati seharusnya tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan. Namun yang terjadi kini, pendidikan lebih sering berperan sebagai pabrik pengetahuan, yaitu mengajarkan manusia untuk memahami rumus, teori, dan konsep, tapi tidak untuk memahami dirinya sendiri. Manusia didorong untuk menjadi cerdas, produktif, dan kompetitif, tetapi tidak diarahkan untuk menjadi arif, sadar, dan beradab. Maka tak heran jika hasilnya adalah generasi yang pandai memanfaatkan teknologi, namun kehilangan arah dalam menggunakannya. Mereka mampu mengolah gambar, kata, dan algoritma, tetapi tak mampu mengolah makna, rasa, dan tanggung jawab.

Dari sudut pandang filsafat kontemporer, krisis moral di media sosial bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah gejala dari krisis yang lebih dalam: hilangnya pusat nilai dalam kehidupan manusia modern. Dunia digital hidup dalam logika yang serba cepat, instan, dan visual. Nilai-nilai moral yang sejatinya tumbuh dalam permenungan dan refleksi menjadi tidak kompatibel dengan ritme digital yang tak memberi ruang bagi jeda. Segalanya harus segera: berpikir cepat, bereaksi cepat, menilai cepat. Dalam situasi seperti itu, moralitas yang membutuhkan kedalaman justru dianggap tidak relevan. Manusia menjadi seperti bayangan yang bergerak cepat tanpa arah, mengikuti arus data dan tren tanpa sempat bertanya: untuk apa semua ini?

Pendidikan moral yang diajarkan di sekolah sering kali berhenti pada tataran normative, yaitu sekadar daftar larangan dan perintah. Ia tidak lagi berbicara kepada hati dan kesadaran manusia, melainkan hanya kepada kepatuhan formal. Maka ketika individu masuk ke dunia yang tidak memiliki pengawasan langsung, seperti media sosial, ia kehilangan orientasi. Tanpa rasa takut pada otoritas eksternal, ia menunjukkan siapa dirinya sebenarnya: produk dari pendidikan yang gagal menanamkan kesadaran moral intrinsik. Dalam arti itu, benar bahwa kebobrokan moral di media sosial adalah kegagalan pendidikan, tetapi bukan kegagalan yang terjadi di ruang kelas belaka. Ia adalah kegagalan kolektif; kegagalan keluarga, masyarakat, bahkan sistem nilai yang menopang kehidupan bersama kita.

Menyalahkan pendidikan semata juga tidak cukup. Ada dimensi lain yang harus disadari: teknologi digital sendiri dibangun di atas logika kapitalisme global yang memonetisasi perhatian. Setiap klik, setiap gambar vulgar, setiap ekspresi emosi ekstrem memiliki nilai ekonomi. Platform digital dirancang untuk menstimulasi bagian otak yang haus akan penghargaan instan. Dalam ekosistem semacam ini, nilai moral tidak memiliki tempat yang menguntungkan secara finansial. Maka tidak mengherankan bila yang paling cepat menyebar adalah yang paling sensasional, bukan yang paling bernilai. Dalam arus itu, individu yang telah kehilangan kesadaran etis akan mudah terseret, mengira bahwa popularitas adalah ukuran kebermaknaan.

Ironisnya, di tengah kebisingan media sosial, manusia modern justru semakin kesepian. Ia mengumbar diri bukan karena percaya diri, tetapi karena haus pengakuan. Ia berteriak di ruang digital karena tak lagi mampu mendengar dirinya sendiri. Dalam kondisi ini, pendidikan moral seharusnya tidak lagi berbicara dengan bahasa hukuman dan dogma, melainkan dengan bahasa kesadaran dan empati. Ia harus mengajarkan manusia untuk menatap ke dalam, menyadari keterbatasannya, dan menghargai martabat dirinya sendiri.
Maka, pada akhirnya, apa yang kita saksikan di media sosial bukan hanya kegagalan pendidikan, melainkan juga kesempatan bagi manusia untuk memulai kembali. Dunia digital telah memperlihatkan betapa rapuhnya kita, dan kesadaran atas kerapuhan itu seharusnya menjadi titik tolak untuk membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi, pendidikan yang mengajarkan bagaimana menggunakan kebebasan dengan bijak, bagaimana menjaga kehormatan diri di tengah keterbukaan tanpa batas, dan bagaimana menjadi manusia yang utuh di tengah arus data yang melenakan.

Kebebasan yang sejati bukanlah kebebasan untuk menelanjangi diri, melainkan kebebasan untuk memilih tetap bermartabat ketika semua orang kehilangan rasa malu. Jika media sosial kini menjadi ruang yang vulgar, maka solusinya bukan dengan menutup ruang itu, melainkan dengan membuka kesadaran kita sendiri. Karena pada akhirnya, pendidikan moral yang paling hakiki tidak diajarkan di sekolah, melainkan dimulai dari keberanian untuk menatap diri dan bertanya: sudahkah aku benar-benar manusia di tengah dunia yang begitu bebas ini? Jawabannya kembali kepada hati nurani kita masing-masing yang paling dalam.