Literasi Keuangan Syariah Rendah: Kegagalan Edukasi atau Produk yang Terlalu Rumit?

Literasi Keuangan Syariah Rendah: Kegagalan Edukasi atau Produk yang Terlalu Rumit?

Oleh: Liana Tasa 
Mahasiswi Akuntansi Syariah Universitas Islam Tazkia, Sentul

Data terbaru dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2025 menjadi warning sign yang jelas. Pada tanggal 3 Mei 2025, berita resmi OJK mengungkapkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia hanya mencapai 43,42%. Persentase ini tergolong rendah, terlebih saat kita bandingkan dengan literasi keuangan konvensional yang angkanya jauh lebih tinggi. 

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 OJK menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam tingkat literasi antara keuangan syariah dan konvensional di Indonesia. Literasi syariah berada pada angka 43,42%, sedangkan literasi konvensional mencapai 66,45%. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi Indonesia (sekitar 56,58%) belum sepenuhnya memahami produk serta layanan keuangan berbasis syariah. Padahal, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, akan tetapi pemahaman akan produk keuangan yang sesuai  dengan prinsip agamanya sendiri justru rendah. Kenapa hal ini terjadi ? Apakah kita gagal dalam mengedukasi masyarakat atau produk yang kita tawarkan memang terlalu 'akademis' dan rumit untuk dipahami orang awam?

Kegagalan Edukasi

Sisi pertama dari masalah ini adalah kegagalan nyata dalam edukasi dan sosialisasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri mengakui bahwa salah satu tantangan utama adalah "Strategi edukasi dan promosi yang belum efektif" (OJK, 2025c). Hal ini terkonfirmasi jelas di lapangan. Sebuah studi kasus di Kelurahan Mungkajang, misalnya, menemukan fakta sosial yang blak-blakan: "tidak pernah ada sosialisasi, promosi dan edukasi yang dilaksanakan bank syariah" di tempat penelitian (Khodija, 2023). Di lokasi lain, "promosi dan sosialisasi tentang bank syariah belum terlalu gencar dilakukan" (Syahril, 2022), diperparah oleh "minimnya aksesibilitas terhadap program literasi" (Susanti, 2023).

Akibat minimnya informasi formal, masyarakat terpaksa bergantung pada sumber-sumber informal yang tidak terverifikasi. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa masyarakat seringkali hanya mengetahui informasi "dari teman atau kerabat saja" atau sebatas "dari mulut ke mulut saja" (Khodija, 2023). Dalam kekosongan edukasi ini, wajar jika "persepsi masyarakat... masih tergolong rendah" (Khodija, 2023), dengan "hampir setengahnya, yang kurang tahu tentang sistem" yang diterapkan bank syariah (Syahril, 2022).

Ironisnya, masyarakat di level akar rumput sebenarnya menyadari kekurangan ini dan secara aktif meminta untuk diedukasi. Seorang informan (AT) mengungkapkan harapannya agar bank syariah "melakukan sosialisasi tentang bank syariah agar masyarakat bisa paham" (Khodija, 2023). Harapan ini diperkuat oleh informan lain (BY) yang merasa "peran media kurang... lebih bagus disampaikan secara langsung agar paham" (Khodija, 2023). Fakta bahwa masyarakat "masih banyak... yang belum mengerti" (Syahril, 2022) dan akhirnya "merasa enggan" (Syahril, 2022) untuk menggunakan produk, bukanlah sebuah penolakan. Sebaliknya, ini adalah bukti langsung dari kegagalan industri dalam menjangkau dan mencerahkan pasarnya.

Produk yang Terlalu Rumit 

Di sisi lain, argumen tandingan—dan mungkin lebih krusial—adalah bahwa masalah utamanya terletak pada produk itu sendiri. Edukasi menjadi gagal justru karena materi yang hendak disampaikan terlalu sarat dengan "informasi [yang]... kurang jelas atau kompleks" (Susanti, 2023).

Hambatan pertama dan yang paling jelas adalah terminologi. Istilah-istilah ini menciptakan dinding psikologis bagi konsumen awam. Seorang informan (HJ) dalam sebuah studi mengaku "tidak mengerti dengan produk disebabkan nama yang asing" (Khodija, 2023). Informan lain (HN) mengamini hal ini, menyatakan bahwa nama produk "susah untuk diingat... karna asing" (Khodija, 2023), sementara yang lain (AR) menyebutnya "asing ku dengar" (Khodija, 2023). Sebuah studi tentang sosialisasi perbankan syariah juga menyimpulkan bahwa "Banyak istilah dalam perbankan syariah yang dianggap sulit dipahami" oleh masyarakat non-akademisi (Harahap et al., 2025).

Di luar bahasa, mekanisme produknya sendiri membingungkan. Masyarakat seringkali "merasa sulit untuk memahami produk dan layanan yang tersedia" (Syahril, 2022). Seorang informan (BY) bahkan blak-blakan menyatakan ia "tidak tau cara pakainya dan merasa rumit" (Khodija, 2023). Pada akhirnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui "apa saja yang terdapat di dalam Bank Syariah baik dari produk-produk, sistem bank syariah, [atau] keuntungan yang diperoleh" (Khodija, 2023).

Kebingungan fundamental inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya stigma "bank syariah sama saja". Ketika masyarakat gagal memahami mekanisme perbedaannya, mereka mengambil kesimpulan berdasarkan hasil akhir yang mereka rasakan. Mereka "menganggapnya sama saja dengan dengan bank konvensional" (Syahril, 2022), bahkan berpendapat bahwa produk spesifik seperti pembiayaan Murabahah "sama seperti sistem kredit pada bank konvensional" (Khodija, 2023). Kerumitan inilah yang "menimbulkan kebingungan dalam membedakan" (Harahap et al., 2025) dan membuat masyarakat "merasa enggan untuk menggunakan produk bank syariah" (Syahril, 2022).

Lalu, manakah biang keladi sesungguhnya? Apakah murni "kegagalan edukasi", ataukah "produk yang terlalu rumit"?

Opini saya, ini bukanlah pilihan "atau", melainkan hubungan sebab-akibat. Kegagalan edukasi yang kita saksikan hari ini terjadi justru karena industri perbankan syariah sendiri kesulitan menyederhanakan produknya yang secara inheren rumit dan sarat terminologi. Keduanya menciptakan sebuah lingkaran setan (vicious cycle) yang menghambat pertumbuhan.

Lingkaran ini dimulai dari produk. Industri menawarkan produk dengan istilah "asing" dan mekanisme yang "rumit" (Khodija, 2023). Karena rumit, tim edukator, pemasar, dan frontliner bank gagal menyampaikannya secara efektif. Alhasil, strategi promosi menjadi "belum efektif" (OJK, 2025c) atau bahkan "tidak pernah ada sosialisasi" sama sekali di banyak wilayah (Khodija, 2023).

Masyarakat yang tidak teredukasi dengan baik—atau hanya mendengar "dari mulut ke mulut saja" (Khodija, 2023)—menjadi bingung. Kebingungan ini, seperti dicatat dalam sebuah studi, "menimbulkan kebingungan dalam membedakan" (Harahap et al., 2025). Pada akhirnya, mereka mengambil kesimpulan paling sederhana: bank syariah "sama saja" dengan konvensional (Syahril, 2022).

Inilah yang menjelaskan dengan sempurna data paradoks OJK 2025. Angka literasi 43,42% (OJK, 2025a) kemungkinan besar hanya mencerminkan kesadaran pasif—masyarakat "tahu" ada lembaga bernama bank syariah. Namun, angka inklusi 13% (OJK, 2025a) yang stagnan membuktikan bahwa edukasi telah gagal total dalam meyakinkan mereka untuk hijrah dan menggunakan produk tersebut.

Dampak dan Konsekuensi

Jika lingkaran setan yang mengikat edukasi dan kerumitan produk ini tidak segera diputus, dampaknya akan sangat merugikan industri keuangan syariah itu sendiri. Konsekuensi paling nyata adalah stagnasi pangsa pasar. Kita akan terus terjebak pada angka inklusi yang rendah, seperti temuan OJK 2025 yang mandek di 13% (OJK, 2025a). Pangsa pasar akan tetap "tergolong kecil dibandingkan dengan perbankan konvensional" (Harahap et al., 2025), dan "peluang tumbuhnya bank syariah di Indonesia" akan secara efektif "terhambat" (Khodija, 2023).

Lebih dalam dari sekadar angka, dampak psikologis di tengah masyarakat adalah erosi kepercayaan dan minat. Rendahnya pengetahuan ini secara langsung "menyebabkan menurunnya minat untuk mengadopsi bank syariah" (Khodija, 2023). Masyarakat menjadi "enggan untuk menggunakan jasa perbankan syariah" (Syahril, 2022) karena mereka "merasa tidak percaya" (Susanti, 2023) atau "kurang tertarik untuk beralih ke sistem keuangan berbasis syariah" (Harahap et al., 2025). Peluang bank syariah untuk mendapatkan nasabah baru pun "berpeluang kecil" (Khodija, 2023).

Pada akhirnya, kegagalan kolektif ini akan mengabadikan stigma "sama saja". Alih-alih dilihat sebagai solusi alternatif, masyarakat akan terus "meyakini bahwa bank syariah setara dengan bank konvensional" (Khodija, 2023). Tujuan luhur maqasid syariah—untuk menyediakan sistem yang adil dan transparan—akan gagal tersampaikan. Masyarakat pun kehilangan kesempatan untuk "mampu menghindari transaksi yang mengandung unsur riba, gharar, dan maysir" (Harahap et al., 2025), bukan karena mereka menolak, tetapi semata-mata karena mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa bedanya.

Solusi dan Ajakan Bertindak

Memutus lingkaran setan ini bukanlah hal yang mustahil, namun menuntut perubahan strategi yang radikal dari seluruh pemangku kepentingan, terutama industri perbankan syariah itu sendiri.

Pertama, industri harus merevolusi strategi edukasi. Mengandalkan iklan pasif di media massa terbukti gagal. Solusinya adalah "pendekatan yang lebih komunikatif dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami" (Harahap et al., 2025). Bank syariah harus proaktif "turun gunung" melakukan sosialisasi langsung, terutama ke "daerah-daerah terpencil" (Khodija, 2023) dan segmen masyarakat yang "tinggal di perdesaan" atau berpendidikan "rendah" (OJK, 2025b).

Strategi ini tidak bisa lagi formal, melainkan harus membumi: menyelenggarakan "seminar dan workshop", "demonstrasi", dan "simulasi... perhitungan bagi hasil" (Harahap et al., 2025). Selain itu, bank harus memanfaatkan infrastruktur sosial yang ada, seperti melibatkan "tokoh agama dan komunitas lokal" (Harahap et al., 2025) dan masuk ke ruang-ruang komunal seperti "pengajian, arisan, [dan] pertemuan sosial" (Khodija, 2023). Di level struktural, edukasi ini harus dimulai "sejak dini" dengan memasukkannya ke dalam "kurikulum pendidikan di berbagai tingkat" (Syahril, 2022).

Kedua, dan yang paling fundamental, industri harus menyederhanakan komunikasi produk. Mustahil mengedukasi masyarakat jika produknya dibungkus dalam bahasa yang "asing" (Khodija, 2023). Bank syariah memiliki tanggung jawab untuk "memperjelas konsep-konsep" (Susanti, 2023) yang selama ini membingungkan publik. Ini menuntut "peningkatan transparansi dalam operasional bank syariah" (Syahril, 2022), menjelaskan dengan jujur dan sederhana apa perbedaan akad mereka dari bunga konvensional, tanpa berlindung di balik terminologi yang rumit.

Pada akhirnya, ini adalah "pendekatan holistik yang melibatkan kolaborasi antara lembaga keuangan syariah, pemerintah, lembaga pendidikan, dan pihak swasta" (Susanti, 2023). Beban untuk berubah tidak terletak pada masyarakat yang bingung. Beban itu ada pada industri untuk membuat diri mereka dimengerti. Jika tidak, kesenjangan antara literasi (43,42%) (OJK, 2025a) dan inklusi (13%) (OJK, 2025a) akan tetap menganga, dan stigma "sama saja" akan selamanya menghantui.***