Catatan Akhir Tahun 2025: Korupsi, Jalan Rusak, dan Stunting
Oleh Syarief Makhya*
Banyak persoalan publik yang perlu dievaluasi sepanjang tahun 2025. Namun, adat tiga masalah besar yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, praktik korupsi yang cenderung meningkat. Kedua, kondisi infrastruktur jalan yang hampir di setiap daerahterutama jalan-jalan di kabupaten dan jalan desa semakin memburuk. Ketiga, angka stunting yang hingga kini belum berhasil ditekan di bawah 15 persen.
Ketiga isu tersebut merupakan persoalan mendasar yang berdampak langsung pada kualitas pelayanan publik, pembangunan daerah, serta masa depan generasi yang akan datang. Harus diakui dari tahun ke tahun terdapat kemajuan yang cukup nyata di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta pelayanan administrasi publik. Pembangunan sarana dan prasarana yang semakin merata, peningkatan akses masyarakat terhadap layanan dasar, serta pemanfaatan teknologi dalam sistem pemerintahan menjadi bukti adanya upaya perbaikan yang berkelanjutan.
Namun demikian, kemajuan tersebut masih perlu diiringi dengan pemerataan kualitas layanan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta penguatan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Tanpa upaya tersebut, berbagai capaian yang telah diraih berpotensi belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat secara menyeluruh.
Beberapa masalah mendasar seperti korupsi, jalan rusak, dan belum tercapainya penurunan angka stunting membuktikan bahwa upaya pembangunan dan reformasi pelayanan publik masih menghadapi tantangan serius.
Kondisi jalan rusak terutama jalan-jalan di kabupetn dan jalan desa hampir merata dalam kategori rusak berat sementara jalan-jalan di kota menunjukkan sebaliknya atau relatif lebih baik atau mulus dan sedikit yang dikategorikan rysak.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan yang bias urban masih menjadi akar persoalan, sehingga fasilitas publik termasuk jalan belum didistribusikan secara adil dan merata antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Akibatnya, masyarakat desa dan wilayah kabupaten masih menghadapi keterbatasan akses, hambatan mobilitas, serta meningkatnya biaya ekonomi, yang pada akhirnya memperlebar kesenjangan pembangunan dan kualitas hidup antarwilayah.
Fenomena lain yaitu korupsi. Korupsi dari tahun ke tahun bukannya menurun, malah cenderung semakin bertambah. Para kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) maupun yang dilaporkan ke kejaksaan tinggi seolah tidak memberikan pembelajaran dan efek jera. Bahkan, praktik korupsi terkesan semakin terbuka dan berani; ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan, penegakan hukum, serta rendahnya komitmen integritas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Motif korupsi yang dilakukan oleh beberapa bupati antara lain karena beban utang pasca terpilih sebagai kepala daerah, akibat biaya kampanye pilkada yang menghabiskan uang miliaran rupiah. Selain itu, ada juga kepentingan untuk memperkaya diri demi menampilkan simbol kemewahan yang dipaksakan, seperti membangun rumah besar, luas, dan megah, memiliki koleksi mobil mewah, serta memenuhi gaya hidup istri atau keluarga pejabat dengan barang-barang bermerek.
Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya didorong oleh kebutuhan finansial, tetapi juga oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial tinggi, yang pada akhirnya berdampak buruk terhadap kepercayaan publik dan keberlanjutan pembangunan daerah.
Di sektor kesehatan, yaitu belum menurunnya angka stunting secara signifikan, menjadi salah satu indikator penting bahwa kualitas layanan dasar bagi masyarakat, terutama anak-anak dan ibu hamil, masih belum optimal. Angka stunting yang tetap tinggi menunjukkan adanya permasalahan ganda, mulai dari keterbatasan akses pangan bergizi, kurangnya edukasi gizi, hingga pelayanan kesehatan yang belum merata.
Kondisi ini menuntut intervensi yang lebih terintegrasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat, agar pertumbuhan dan perkembangan generasi muda dapat terjamin secara menyeluruh.
Akar Persoalan?
Akar persoalan dari ketiga isu tersebut terletak pada pejabat pemerintah dan politisi yang memiliki integritas moral rendah, bersikap serakah, serta memanfaatkan kekuasaan untuk meraup uang negara melalui praktik korupsi..
Uang yang dikorupsi bisa mencapai triliunan rupiah, padahal dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang merata, memperbaiki kualitas fasilitas publik, serta mempercepat penurunan angka stunting.
Akibatnya, masyarakat terutama di wilayah pedesaan dan terpencil masih menghadapi keterbatasan akses dasar, sementara kesenjangan pembangunan antarwilayah terus melebar, menimbulkan ketidakadilan sosial, dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Secara hipotesis, jika dalam mengelola pemerintahan, fenomena kekuasaan masih tidak diawasi atau pengawasannya tidak efektif, maka persoalan korupsi, jalan rusak, dan stunting kemungkinan besar akan tetap berlanjut atau bahkan memburuk.
Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, akuntabilitas pejabat publik menjadi rendah, dana pembangunan berpotensi disalahgunakan, dan program-program penting bagi kesejahteraan masyarakat tidak mencapai sasaran. Kondisi ini menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan sangat bergantung pada transparansi, pengawasan yang efektif, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menuntut pertanggungjawaban.
Selain itu, program pembangunan harus dirancang secara merata, berbasis data, dan fokus pada intervensi yang tepat sasaran, seperti perbaikan infrastruktur pedesaan, penguatan sistem pengawasan anggaran, serta peningkatan layanan kesehatan dan gizi untuk menurunkan angka stunting secara signifikan.
Akhirnya, fenomena kekuasaan yang disalahgunakan akan tetap menjadi persoalan serius sebagai akar masalah, yang bersumber dari model kepolitikan yang kompromistis antar-elite, struktur politik yang dikuasai oleh dominasi kekuatan politik mayoritas, serta lemahnya pengawasan dari lembaga independen dan partisipasi masyarakat. Kondisi ini memungkinkan terjadinya praktik korupsi, ketimpangan pembangunan, dan kegagalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
Jika tidak ada perubahan struktural, prediksi di tahun 2026 potensi terjadinya krisis kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat dan meluas, serta berdampak pada menurunnya partisipasi publik dalam proses pemerintahan dan berkurangnya legitimasi pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan pelayanan publik.***
*Guru Besar FISIP Universitas Lampung (Unila)



