‘Ndomble

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Menjelang petang, saya membuka piranti media guna melihat kalau-kalau ada berita penting. Ternyata ada tampilan yang ‘superpenting;, karena ada pesan suwara dan gambar yang t...

‘Ndomble

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Menjelang petang, saya membuka piranti media guna melihat kalau-kalau ada berita penting. Ternyata ada tampilan yang ‘superpenting;, karena ada pesan suwara dan gambar yang tampil dan itu adalah pimpinan media yang sedang kita baca ini. Beliau menyuarakan kata hati dengan mengambil diksi seperti judul tulisan ini. Saya tergelitik untuk menelisik makna kata itu yang pernah diucapkan oleh almarhumah ibu saat beliau memarahi kami anak-anaknya jika hanya bengong melihat orang tua bekerja.

Berdasarkan penelusuran kata ndomble adalah berasal dari bahasa Jawa yang artinya dalam Kamus Bahasa Jawa – Indonesia adalah tebal dan menggantung. Pada umumnya ini untuk menggambarkan bibir orang yang besar dan kelihatan menggantung. Namun bisa juga benda lain atau hal lain yang sifat besar dan menggantung, tinggal melihat konteksnya.

Persoalan ndomble ini juga sering disandingkan dengan pengertian lain semisal “lambe turah”, hanya perbedaannya adalah jika ndomble itu untuk makna fisik, sementara lambe turah lebih pada makna abstrak, sementara makna tulisnya adalah “bibir lebih”. Namun perkembangan akhir keduanya masuk pada wiayah abstrak, yang cenderung lebih menjurus pada makna negative. Ndomble mewakili mereka yang tidak berbuat apa apa cenderung pasarah dan atau apatis, sementara lambe turah lebih pada nyinyir, atau cerewet. Lambe turah sekarang justru dijadikan nama media pada jagad maya negeri ini.

Tidak salah jika banyak orang menggunakan keduanya sebagai lambang satir untuk memberi makna lain pada suatu peristiwa atau perilaku orang perorang. Sebagai contoh pemimpin yang ndomble bisa bermakna pemimpin yang tidak bisa berbuat apa apa; padahal itu dalam genggaman kekuasaannya. Jadi jika ada yang mengatakan “Negeri Sawit, tetapi minyak goreng langka, berarti pemimpinnya ndomble”.

Satir ini sangat menohok perasaan para pemimpin seharusnya. Jika di lambe turah akan lebih seru lagi dengan kalimat “pemimpin nggak bisa kerja”. Lambe turah lebih tajam lagi menyampaikannya. Biasanya dengan kalimat atau kata menohok; tidak jarang kritik pedas, seperti di atas, bahkan tidak jarang cenderung keras.

Tampaknya masyarakat sudah mulai frustrasi melihat negeri ini, karena diksi yang selama ini agak kurang diminati untuk dipakai mengkritik, justru karena “tebal telinganya” para pengambil keputusan, akibatnya masyarakat memilih diksi yang menohok tadi. Sesuatu yang disampaikan secara humor atau satir ini di negeri kita sudah lama ada. Pada kerajaan jawa masa lalu, ada raja yang memiliki kebiasaan tidur, beristri banyak, berbadan gemuk, berperilaku tidak patut dicontoh; maka para seniman waktu itu mengritiknya menggunakan lagu/tembang dolanan “Mentok Mentok”. Mentok adalah sejenis itik yang jika berjalan patatnya bergoyang dan tampak sulit, serta pekerjaannya makan tidur saja. Di Palembang ada kesenian berbentuk teater bernama “Dul Muluk” yang  lakonnya dibuat untuk mengkritik kondisi masyarakat saat itu.

Bentuk perwujudan dari ndomble dan lambe turah ini adalah media untuk menyampaikan unek unek secara sarkastis, dan juga merupakan upaya menghindar dari pelanggaran undang-undang yang ada.

Persoalannya bukan lagi pada ndomble dan lambe turah, akan tetapi pada apakah mereka yang dikritik paham dengan maksud dan tujuan kritikan tadi. Karena kebanyakan di negeri ini bak pepatah mengatakan “Biduk lalu, kiambang bertaut”. Jadi memang susah sekali mau berubah, apalagi  mereka yang merasa sudah di zona nyaman. Soal kritik di negeri ini sudah tidak kurang kurang, baik dari level yang vulger, sampai yang sangat halus. Dari yang kasat mata, sampai dengan yang bak bayang bayang. Namun, selesai berlalunya kritik, maka ramai ramai kembali ke perilaku semula.

Bagaimana negeri ini akan baik manakala setiap akhir periodesasi kepemimpinan nasional selalu ditutup dengan peristiwa yang menyedihkan. Bahkan ada pemimpin yang semula digadang gadang untuk meneruskan kepemimpinannya oleh tokoh pemegang tampuk lembaga tertinggi; namun empat bulan kemudian beliau sendiri yang meminta sang pemimpin mundur, dengan alasan penyelamatan bangsa.
Ternyata ending dari periodesasi kepemimpinan negeri ini hampir semua memilukan; akankah sejarah berulang dengan later cerita yang berbeda. Di sana lambe ndomble mengingatkan dengan caranya, dan lambe turah mengkritisinya dengan kebiasaannya. Hanya Keledai yang terperosok pada lubang yang sama.

Selamat ngopi pagi…