Kekuasaan yang Melampaui Batas
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Angin kencang berembus berisi warta bahwa Pemerintah Kota Bandarlampung akan memberikan bantuan kepada Kejati Lampung senilai puluhan miliar rupiah untuk membangun gedung baru. Niat itu sepinta...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Angin kencang berembus berisi warta bahwa Pemerintah Kota Bandarlampung akan memberikan bantuan kepada Kejati Lampung senilai puluhan miliar rupiah untuk membangun gedung baru. Niat itu sepintas tampak “baik” dan tampak sekilas walikota juga “demawan”. Namun perlu diingat uang itu bukan milik pribadi, akan tetapi dihimpun serupiah demi rupiah dari keringat warga kota ini melalui pajak.
Ada warga yang dengan tulus memberikan ingatan dan masukan, tentu dengan caranya, agar walikota tidak meneruskan “niat baik” itu karena ada sejumlah hal menjadi pertimbangan.
Tulisan ini mencoba “mengingatkan” juga dari hati yang paling dalam dan rasa tulus, bahwa hal itu dari kacamata filsafat etika kurang pada tempatnya.
Dalam kerangka otonomi daerah, kewenangan pemerintah daerah telah diatur secara tegas oleh perundang-undangan. Prinsip desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk mengelola urusan pemerintahan berdasarkan asas subsidiaritas, efisiensi, dan akuntabilitas. Namun, ketika kepala daerah memberikan bantuan kepada instansi vertical, yang sejatinya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, terjadi pelanggaran bukan hanya pada aspek hukum administratif, tetapi juga pada dimensi etika dan moral kebijakan publik.
Fenomena ini sering dibungkus dengan narasi “kerja sama” dan “sinergi antarlembaga”. Namun, dalam tinjauan etika kebijakan, niat baik tidak pernah cukup untuk membenarkan sebuah tindakan, apalagi yang secara substansial bertentangan dengan prinsip keadilan fiskal dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
Setiap kebijakan publik, sekecil apapun, harus tunduk pada tiga pilar utama: legalitas, legitimasi moral, dan efektivitas. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Ketika satu pilar diabaikan, maka kebijakan itu menjadi cacat, bahkan jika ia tidak serta-merta menimbulkan kerugian yang nyata.
Secara legal, bantuan kepala daerah kepada instansi vertikal tanpa dasar hukum yang sah melanggar Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan prinsip pengelolaan keuangan negara. Instansi vertikal seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau kementerian di daerah memiliki alokasi anggaran dari APBN, bukan APBD. Ketika dana daerah, yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat local, dialihkan untuk membiayai lembaga vertikal, maka terjadi penyimpangan wewenang. Kepala daerah, secara sadar atau tidak, telah keluar dari domain tanggung jawabnya dan memasuki wilayah yang bukan menjadi haknya untuk dikelola.
Dalam etika kebijakan, tindakan semacam ini menciptakan distorsi dalam prioritas publik. Kebijakan publik yang etis selalu dimulai dari penentuan prioritas berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan atas dasar kepentingan politis atau relasi kekuasaan. Ketika kepala daerah memilih untuk membantu lembaga vertikal daripada memperbaiki layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur lokal, maka ia sedang memperdagangkan keadilan demi keuntungan simbolik atau politik jangka pendek. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keutamaan etis dalam penyusunan kebijakan.
Jika ditinjau dari sudut pandang etika tanggung jawab, kebijakan seperti ini mencerminkan kepemimpinan yang mengabaikan dampak jangka panjang. Bantuan kepada instansi vertikal seringkali tidak dilandasi kebutuhan objektif, melainkan lebih sebagai bentuk “investasi politik”.
Dalam praktiknya, relasi semacam ini bisa menciptakan ketergantungan, barter kekuasaan, bahkan konflik kepentingan yang merusak independensi lembaga-lembaga negara. Dalam hal ini, kebijakan bukan lagi menjadi alat untuk mencapai keadilan, tetapi telah berubah menjadi instrumen pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan.
Dari sudut pandang desain kebijakan, tindakan ini juga mencerminkan cacat perencanaan publik. Tidak adanya mekanisme formal, tidak adanya akuntabilitas transparan, serta kaburnya indikator kinerja dari “bantuan” yang diberikan menunjukkan bahwa ini bukan kebijakan publik yang dirancang berdasarkan analisis rasional, partisipatif, dan berbasis bukti.
Kebijakan yang etis dan efektif menuntut proses deliberasi, konsultasi dengan pemangku kepentingan, serta pengukuran dampak yang dapat diuji. Bantuan kepada instansi vertikal yang diberikan secara sepihak tanpa mekanisme pertanggungjawaban mencederai seluruh prinsip ini.
Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan, praktik ini juga menciptakan ambiguitas kelembagaan. Bantuan ke instansi vertikal menciptakan kaburnya batas tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal salah satu prinsip utama dalam good governance adalah kejelasan peran dan fungsi. Ketika peran dan fungsi ini dikacaukan atas nama “koordinasi”, maka ruang abu-abu yang terbentuk menjadi sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah daerah mulai memasuki area yang bukan wewenangnya, dan instansi vertikal menjadi kurang independen karena merasa memiliki “utang” terhadap bantuan yang mereka terima.
Maka, dalam konteks etika kebijakan, penting ditegaskan bahwa sebuah kebijakan tidak dapat dinilai hanya dari niat atau hasil pragmatisnya. Harus ada pertanggungjawaban moral atas proses, aktor, dan dampak yang ditimbulkan. Kepala daerah tidak bisa berlindung di balik argumentasi efektivitas jangka pendek atau hubungan baik antar-lembaga. Kebijakan publik harus dilandasi oleh pertimbangan normatif, bukan sekadar kepentingan politis.
Rekomendasi kebijakan atas praktik ini sangat jelas: pertama, perlunya revisi regulasi dan pengawasan ketat terhadap interaksi keuangan antara pemerintah daerah dan instansi vertikal. Bantuan hanya bisa dilakukan melalui mekanisme resmi dan persetujuan antarlembaga yang sah. Kedua, penguatan kapasitas etik kepala daerah dalam pengambilan keputusan. Ketiga, perluasan ruang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengawasan anggaran daerah, sehingga tidak ada lagi kebijakan yang diputuskan secara elitis dan tertutup.
Etika kebijakan mengajarkan bahwa kekuasaan yang dijalankan tanpa moral adalah kekuasaan yang akan melahirkan ketidakadilan, bahkan ketika hukum belum mampu menyentuhnya. Bantuan kepala daerah kepada instansi vertikal, jika dilakukan di luar kerangka hukum dan keadilan, adalah bentuk penyimpangan etis yang tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun.
Negara ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin yang pintar menyusun program; ia membutuhkan pemimpin yang berani berjalan dalam koridor moral yang benar, meski harus melawan arus. Karena hanya dari sana, kebijakan publik akan menjadi alat perubahan, bukan alat pelanggengan kekuasaan.