Jatuh tanpa Langit, Naik tanpa Tangga
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Di tengah malam sunyi dinihari gawai penulis berdering. Ada pemberitahuan dari seorang rekan bahwa ada seorang sohib yang tertimpa musibah kehidupan. Tentu saja berita itu membuat syok. Hanya l...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Di tengah malam sunyi dinihari gawai penulis berdering. Ada pemberitahuan dari seorang rekan bahwa ada seorang sohib yang tertimpa musibah kehidupan. Tentu saja berita itu membuat syok. Hanya ldoa yang keluar dari mulut. Semoga dimudahkan segala persoalannya.
Di tengah arus kehidupan yang deras, manusia seringkali terlempar ke dalam keadaan yang tidak pernah dia duga. Dia bisa jatuh tanpa sebab yang jelas, tanpa langit untuk menyaksikan runtuhnya diri; dia pun bisa naik tanpa usaha nyata, tanpa tangga untuk dipijak. Fenomena ini bukan hanya paradoks eksistensial, melainkan cerminan dari suatu kenyataan yang lebih dalam: manusia hidup dalam suatu ruang di mana logika kadang kalah oleh absurditas, dan perjuangan tidak selalu berjalan linier menuju hasil.
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya, sadar akan tempatnya di dunia, serta sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang terbentang di hadapannya. Kesadaran ini menjadikannya mampu merancang hidup, menata langkah, dan mengejar tujuan. Namun, justru karena dia sadar, dia juga tahu bahwa banyak hal di luar kendalinya.
Dalam ruang antara harapan dan kenyataan, terdapat jurang yang kadang-kadang tak dapat dijembatani oleh nalar ataupun kerja keras. Di situlah jatuh yang tak terlihat langitnya dan naik yang tak memiliki tangga menjadi simbol realitas manusia.
Jatuh tanpa langit berarti runtuhnya eksistensi tanpa sebab yang dapat dimengerti. Tidak ada “penyebab utama”, tidak ada narasi besar yang menjustifikasi mengapa seseorang kehilangan segalanya dalam sekejap. Dunia tidak memberi peringatan ketika gempa batin itu datang.
Manusia bisa terlempar dari tempat yang tinggi, dari kedudukan, dari harga diri, dari makna hidup yang ia yakini, dan tidak ada yang menyaksikan atau mencatat momen itu. Langit yang biasanya menjadi simbol pengawasan, saksi spiritual, atau bahkan tempat pengaduan, kini absen. Kejatuhan itu sunyi, tak terlihat, seolah tak penting. Dan justru di situlah kepedihan manusia mencapai puncaknya: dia jatuh, dan tak ada yang tahu.
Sebaliknya, naik tanpa tangga menggambarkan absurditas keberhasilan yang datang tanpa usaha nyata, tanpa peta jalan yang dapat ditiru. Ada yang menemukan dirinya di puncak; diakui, dimuliakan, diberi tempat tinggi, tanpa tahu jalan yang ia lewati. Atau, bahkan lebih tragis, ketika dia tahu bahwa jalan itu bukan miliknya. Dia naik, bukan karena layak, tapi karena kebetulan.
Dunia kadang memberinya keberuntungan, atau sistem yang kacau mengangkatnya tanpa dasar. Dan naik seperti itu menimbulkan kekosongan lain dalam jiwa manusia: dia berada di tempat tinggi, namun tak tahu siapa dirinya sebenarnya.
Fenomena semacam ini bukan hanya peristiwa sosial atau psikologis, melainkan pengalaman eksistensial. Dia menyentuh inti dari makna manusia sebagai makhluk yang mencari tujuan, mencari alasan di balik segala hal. Dalam dunia yang tak terduga, manusia berhadapan dengan absurditas, yaitu ketidaksesuaian antara kebutuhan akan makna dan keheningan dunia. Ketika dia jatuh tanpa langit, dunia tidak menjawab tangisannya.
Ketika dia naik tanpa tangga, dunia tidak memberi peta untuk memahami posisi itu. Dia sendirian, terjebak antara kehampaan dan harapan. Namun justru dalam kejatuhan yang sunyi dan keberhasilan yang absurd itulah, manusia diuji dan dibentuk. Dia dihadapkan pada pertanyaan paling kuno: siapa aku, bila semua yang kukenal hancur? Siapa aku, bila semua yang kumiliki bukan hasil usahaku? Dia tidak lagi bisa mengandalkan dunia untuk menjelaskan dirinya. Maka satu-satunya tempat dia bisa berpaling adalah ke dalam: ke dalam dirinya sendiri, ke dalam ruang sunyi kesadaran, tempat dia bisa menggali ulang dasar dari eksistensinya.
Dalam kesunyian inilah manusia menemukan bahwa nilai dirinya tidak dapat sepenuhnya ditentukan oleh pencapaian maupun kehancuran. Dia mulai menyadari bahwa jatuh dan naik adalah bagian dari siklus yang tidak selalu adil, tidak selalu logis, dan tidak selalu memberi penjelasan. Maka, nilai hidup tidak bisa hanya diletakkan pada hasil, tapi pada keberadaan itu sendiri yaitu; pada bagaimana manusia menyikapi kejatuhan dan keberhasilan.
Dunia memang tak selalu adil. Tidak semua kerja keras membuahkan hasil. Tidak semua kegagalan berakar pada kesalahan. Namun, justru karena itulah manusia tidak hidup semata untuk hasil. Dia hidup untuk menjadi. Menjadi pribadi yang utuh, sadar, dan merdeka dalam berpikir. Bahkan ketika dia tak memiliki langit untuk bersandar atau tangga untuk berpijak.
Kita tidak bisa mengendalikan arah angin zaman. Kita tidak bisa memprediksi kapan kita akan jatuh atau naik. Tapi kita bisa mempersiapkan jiwa kita. Kita bisa melatih kesadaran, memperdalam pemahaman, dan memperkuat nilai. Kita bisa hidup dengan integritas, meskipun dunia tampak tidak peduli. Kita bisa menjadi manusia yang berdiri tegak, bahkan di tengah badai yang membingungkan.
Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa tinggi kita bisa naik atau seberapa parah kita bisa jatuh. Hidup adalah tentang bagaimana kita hadir dalam setiap kondisi itu; dengan kejujuran, dengan keberanian, dan dengan cinta. Dunia boleh kacau, tetapi manusia masih bisa memilih untuk tidak ikut menjadi kacau. Dunia boleh absurd, tapi manusia masih bisa memilih untuk menjadi makna di tengah absurditas itu.
Maka ketika kita jatuh, dan langit pun tak terlihat, mari tetap memilih untuk bangkit. Dan ketika kita naik, dan tak ada tangga yang menopang, mari tetap memilih untuk bersyukur dan membumi. Karena hidup bukanlah perhitungan untung-rugi, tapi perjalanan menjadi manusia yang utuh, yang mampu melihat jauh ke dalam dirinya sendiri dan tetap menemukan alasan untuk bertahan, mencinta, dan memberi arti. Semoga sahabat yang sedang ditimpa musibah kehidupan tetap mampu mencerna makna di balik peristiwa.