Dosa Ekologis Penguasa: Refleksi Bencana Lingkungan pada Akhir Tahun 2025
Oleh: Tisnanta
Sepanjang sejarah, kekuasaan kerap menjadi ujian terberat bagi integritas dan karakter manusia. Jabatan yang tinggi, wewenang yang luas, dan pengaruh yang besar bukanlah tujuan akhir. Amanah menuntut pertanggungjawaban di hadapan manusia, alam, dan Tuhan.
Realitas pahit bencana banjir di Sumatera, bukanlah semata musibah alam, melainkan juga buah dari kebijakan eksploitati. Realitas itu adalah cermin kelam bagi para penguasa yang harus melakukan pertobatan ekologis. Tulisan ini diilhami dari diskusi dengan seorang teman yang diperkenalkan pada saya dan kemudian memberikan sebuah refensi tulisan Al-Ghazali, yang mendorong untuk mengkaji pandangan Al-Ghazali dalam konteks kekinian yang terkait dengan krisis ekologis yang disebabkan oleh perilaku penguasa yang tidak amanah.
Kekuasaan adalah Amanah atas Manusia dan Alam
Konsep kekuasaan harus ditegakkan di atas prinsip amanah (kepercayaan). Amanah ini tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga lingkungan hidup (alamiyah) yang di dalamnya manusia hidup. Bencana banjir di Sumatera yang disebabkan oleh deforestasi, alih fungsi hutan lindung untuk perkebunan monokultur, danmpertambangan ilegal, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kelestarian alam. Penguasa yang membiarkan atau bahkan mengizinkan perusakan ini atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi semata, telah gagal memegang amanahnya untuk mewujudkan keadilan ekologis.
Keadilan Ekologis dan Kezaliman Ekologis
Keadilan (‘adl) adalah pilar utama negara sejahtera. Ketika kebijakan pengelolaan sumber daya alam hanya menguntungkan segelintir elite pemilik modal dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal, itulah kezaliman ekologis. Banjir di Sumatera telah melanda dan memiskinkan ribuan keluarga kecil yang tidak pernah menikmati keuntungan dari penebangan hutan. Keadilan mensyaratkan kebijakan yang memprioritaskan keberlanjutan ekosistem, menegakkan hukum terhadap perusak lingkungan, dan memastikan bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan keselamatan dan mata pencaharian rakyat banyak.
Pandangan Al-Ghazali: Ketamakan Penguasa adalah Akar Kerusakan Negara dan Alam
Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), dalam Ihya Ulumuddin dan Nasihat untuk Para Penguasa, memberikan kerangka moral yang tajam. Baginya, kebobrokan negara bermula dari kebobrokan moral penguasa, terutama penyakit hati seperti tamak (hirs), rakus, dan cinta dunia (hubb al-dunya). Ketamakan inilah yang mendorong penguasa atau para elit di sekitarnya untuk memperlakukan hutan, sungai, dan tanah sebagai komoditas yang bisa diperas habis-habisan untuk kekayaan pribadi atau keuntungan jangka pendek.
Al-Ghazali menegaskan bahwa penguasa yang adil (al-sultan al-‘adil) harus mampu mengendalikan hawa nafsunya sendiri sebelum mengatur negara. Krisis ekologis seperti banjir bandang adalah manifestasi langsung dari kegagalan ini. Ketika nafsu tamak berkuasa, kebijakan akan tunduk pada logika eksploitasi, mengabaikan prinsip kemaslahatan jangka panjang dan keseimbangan (mizan) alam. Dalam konteks Sumatera, ketamakan ini terwujud dalam pemberian izin-izin yang merusak, pembiaran terhadap praktik ilegal, dan ketiadaan penegakan hukum yang serius terhadap perusak lingkungan—semua demi rente ekonomi. Bencana banjir yang menyusul adalah akibat yang telah diprediksi, sebuah bentuk “keadilan ekologis” di mana alam memberikan respons atas keserakahan.
Mendengar Jeritan Korban
Penguasa yang bijak tidak boleh terisolasi dalam menara gading kemewahan dan laporan yang dipoles. Umar bin Khattab dikenal karena tradisi blusukan untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. Di era sekarang, blusukan juga berarti mendatangi langsung lokasi bencana, menyelami penderitaan korban banjir, dan mendengar keluhan masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena hilangnya hutan. Ketulian hati dan teinga terhadap jeritan alam yang dieksploitasi, adalah bibit kehancuran yang lebih besar. Blusukan yang dilakukan adalah pencitraan untuk menutupi dosa ekologis yang telah dilakukan. Blusukan bukanlah ketulusan hati seperti yang dilakukan oleh Umar bi Khattab.
Masa Depan yang Berkelanjutan
Tugas utama penguasa adalah melindungi yang lemah (mustad’afin), termasuk mereka yang menjadi korban kebijakan yang salah. Bencana banjir di Sumatera memperlihatkan dengan jelas siapa yang paling rentan: petani kecil, nelayan darat, dan masyarakat miskin di bantaran sungai. Kebijakan pemulihan dan pencegahan harus berpihak pada mereka, bukan pada korporasi perusak yang justru harus bertanggungjawab atas bencana yang terjadi. Ini berarti menghentikan dan meninjau ulang izin-izin yang merusak, melakukan rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai secara masif, serta bertransisi ke model pembangunan yang berkelanjutan.
Penasihat yang Peduli Lingkungan, Bukan Hanya Ekonomi
Kualitas kepemimpinan ditentukan oleh orang-orang di sekitarnya. Rasulullah SAW bersabda, “Agama itu nasihat.” Saat ini, para penguasa perlu dikelilingi oleh penasihat yang tidak hanya paham ekonomi makro, tetapi juga ekologi, keadilan iklim, dan hukum lingkungan. Al-Ghazali memperingatkan bahaya penasihat yang buruk, yang hanya menyenangkan nafsu penguasa. Penasihat yang baik harus berani mengatakan bahwa mengeksploitasi alam secara berlebihan adalah jalan menuju kehancuran bersama, sebagaimana telah terbukti.
Membangun Peradaban yang Harmonis dengan Alam
Kepemimpinan sejati adalah yang meninggalkan warisan peradaban yang lestari. Penguasa hari ini akan dikenang bukan hanya oleh manusia, tetapi oleh sejarah alam. Apakah mereka akan dikenang sebagai perusak atau sebagai pelindung? Visioner berarti memiliki pandangan jauh ke depan, mewariskan hutan yang hijau, sungai yang bersih, dan tanah yang subur untuk generasi mendatang, bukan warisan bencana dan kerusakan ekologis yang harus mereka tanggung.
Pertobatan Ekologis dari Kesalahan Kebijakan
Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini adalah hasil dari kebijakan penguasa yang merusak keseimbangan alamoleh karena itu dibutuhkan pertobatan ekologi dari pengusa. Pertobatan ekologi berkaitan dengan kesadaran akan kesalahan dalam memperlakukan alam, penyesalan atas kerusakan yang telah dilakukan, dan komitmen untuk mengubah kebijakan dan perilaku demi menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Ini berarti manusia harus mengakui bahwa tindakan mereka telah merusak ciptaan Allah dan berkomitmen untuk memperbaikinya.
Bencana banjir di Sumatera adalah sirene peringatan yang keras: kekuasaan yang lalai dan tamak akan menuai bencana. Melalui lensa Al-Ghazali, kita memahami bahwa ketamakan penguasa bukan hanya dosa personal, tetapi bencana struktural yang merusak tatanan alam dan sosial.
Kepemimpinan yang hakiki adalah pelayanan yang menyelamatkan, menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan batas daya dukung alam. Saatnya para penguasa bertaubat dari pola pikir ekstraktif, dan beralih menjadi khalifah fil ardh (pemimpin di bumi) yang memakmurkan, bukan merusak. Hanya dengan demikian, kekuasaan akan menjadi berkah, bukan malapetaka, bagi rakyat dan bumi pertiwi.***
*Prof. Dr. Tisnanta adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila)







