Bolehkah Ayah Menangis?

Dahta Gautama * Ternyata kita tidak pernah benar-benar merdeka. Ketika saban malam dapur rumah kita diserbu tikus-tikus. Mereka mencuri makanan, kemudian menanggalkan bulu dan ujung buntutnya tertinggal di centong nasi. Minggu-minggu kemarin,...

Bolehkah Ayah Menangis?
Dahta
Gautama *
Ternyata kita tidak pernah benar-benar
merdeka. Ketika saban malam dapur rumah kita diserbu tikus-tikus. Mereka
mencuri makanan, kemudian menanggalkan bulu dan ujung buntutnya tertinggal di
centong nasi.
Minggu-minggu kemarin, di kota saya ada gerimis, dan angin basah perputar di
trotoar. Menerbangkan bau keringat kuli penggali lubang kabel telepon.
Minggu-minggu kemarin, begitu menyesakkan, barangkali akan ada kiamat besar.
Artis-artis di teve memamerkan jilbab dan perceraian. Banci dan potongan rambut
gundul pinggir. Berita-berita di koran dan televisi, isi perselisihan: ada
Cecak vs Buaya Jilid 2. Ada kuis juga. Dan orang-orang yang bakal di tembak
lagi jantungnya di Nusakambangan.
Saya melihat bayi-bayi menggeliat dipelukan
ibu, pingin susu sapi. Tangis lelaki melengking serupa lolong anjing. Betapa
payah, seorang ayah, ketika mendapati bahwa sesungguhnya dunia ini seperti
terminal bus. Sepi penumpang, namun bising suara.
Pergulatan yang menggemaskan. Karena itu,
air mata tidak lagi menjadi sebagai simbol kemelaratan. Tetapi bentuk gembira
juga. Sebab sesekali, kita harus bergembira, agar tak kesepian dan bisu.
Betapa susah ketika harus selalu
beramah-tamah dengan tetangga. Ketika alasan untuk bersapa-ria cuma semacam
kewajiban karena persoalan tata kerama. Betapa sulit menjadi seorang ayah yang
saban malam mesti menahan derita, atas air mata yang medesak ingin pecah. Maka
atas nama perasaan, izinkan moral “ke-ayahan” saya menggauli dunia air mata.
Air mata yang sebenar-benarnya.

Saya adalah ayah yang luka karena pemilu. Kemelaratan tidak pernah menjadikan
saya lebih teliti terhadap bahaya para pembual. Orang-orang yang terlihat di
hadapan pada hari ini, serupa boneka-boneka kain bekas di pematang sawah.
Mengeluarkan suara gemerincing, namun tak kuasa atas kehendak hidup.

Aih.. anak lelaki saya, sudah 10 tahun, kelaminnya mesti di sunat. Saya juga
harus membeli gaun untuk anak gadis. Sebab setiap bulan, teman-temannya pesta
ulang tahun. Saya harus beli beras untuk lima hari kedepan. Beli gas 3
kilogram. Istri juga mesti dibelikan lipstiks dan bedak agar kelihatan rapih
dan normal-normal saja. Paling tidak untuk membohongi orangtuanya, bila Sabtu
ini, ia kunjung ke rumah kami.
Sebagai ayah saya telah gagal, sebab tak mampu menyembunyikan mata yang
digelinangi basah.
Bolehkah, ayah menangis, nak?
* Orang biasa