Ahok dan Malin Kundang

Oleh Hikmat Gumelar Demi menambah daya retorika, politisi doyan mencomot tokoh-tokoh legenda. Penamaan dengan tokoh-tokoh legenda diharapkan mudah dan kuat menggugah halayak. Mudah dan kuat membuat halayak jatuh percaya pada si politisi dan golonga...

Ahok dan Malin Kundang

Oleh Hikmat Gumelar

Demi menambah daya retorika, politisi doyan mencomot tokoh-tokoh legenda. Penamaan dengan tokoh-tokoh legenda diharapkan mudah dan kuat menggugah halayak. Mudah dan kuat membuat halayak jatuh percaya pada si politisi dan golongannya.

Sampai sekarang, alhamdulillah, belum ada fatwa yang mengharamkan modus penamaan demikian. Pun belum ada satu pun pemerintah daerah yang mematenkan nama tokoh-tokoh legenda di daerahnya.Soalnya, memang, terletak pada untuk apa itu dilakukan. Kalau untuk kemaslahatan, apalagi kemaslahatan bersama, lembaga negara apa pun sepatutnya meberi ijin, bahkan berterima kasih. Tapi jika sebaliknya, bahkan kaum jelata seperti sahaya pun selayaknya sedikitnya mengajak untuk membincangkannya.

Bertaut dengannya, mari kita tengok pencomotan Malin Kundang oleh politisi Gerindra Desmon Junaidi. Dia mencomotnya untuk dirajahkan pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jelasnya, begini Desmon berkata, “Dia jadi Wakil Gubernur DKI kan diusung partai. Ini kan berarti dia melupakan ibunya seperti Malin Kundang.”

Kita ingat, Malin Kundang itu datang dari satu kisah legendaris Minang. Ketika kembali ke kampung halamannya, si Malin yang dikisahkan meraup sukses di perantauan, tak mau mengakui ibu kandungnya. Karena itu, sang ibu mengutuk si malin jadi batu.

Tapi haruskah Ahok dikutuk jadi batu? Dia memang mengundurkan diri dari Gerindra. Tapi, dia mengundurkan diri karena fraksi Gerindra di DPR adalah pendukung utama RUU Pilkada yang meniadakan hak rakyat untuk memilih kepala daerah dan wakilnya, dan menghadiahkan hak memilih itu kepada DPRD. Bagi Ahok, itu menghianati reformasi dan demokrasi, dan sekaligus membetot lagi ke era otoriter Orde Baru.

“Bagi saya, Partai Gerindra sudah tidak sesuai dengan perjuangan saya, untuk memberikan rakyat sebuah pilihan terbaik,” tambah Ahok.

Karena itu, hemat saya, yang dipandang sebagai ibu oleh Ahok adalah rakyat. Kepada rakyat lah, Ahok berusaha memberikan sebuah pilihan terbaik. Kepada rakyat lah, Ahok berusaha memberikan sebuah pengabdian terbaik. Partai hanya semacam perahu. Jika perahu ini malah membawa luncur menjauhi kewajiban luhur itu, lompat meninggalkannya memang patut. Terlebih jika mengingat bahwa yang disebut partai politik dasar ada dan tujuannya tidak lain adalah pengabdian pada rakyat, pengabdian pada Ibu Pertiwi.

Kalau begitu, Puan dan Tuan, siapa gerangan yang lebih tepat dirajah sebagai si Malin Kundang? Dan bagaimana gerangan sepantasnya si Malin Kundang itu kita perlakukan?