"Nggampangke"
Oleh: Sudjarwo
Komunitas tenaga pengajar di lantai lima tempat penulis berkantor saat tiba waktu sholat selalu mendirikan sholat berjamaah. Siang itu sebelum dhuhur ada diskusi kecil diantara jamaah yang menengarai saat ini munculnya sikap “nggampangke” di semua lapisan masyarakat, dari pejabat sampai rakyat; tidak terkecuali juga mahasiswa. Beliau yang berlatar belakang budaya Jawa sangat gamblang menjelaskan ini. Selesai sholat justru diksi itu mengganggu pikiran untuk ditelusuri makna hakikinya; sebab fenomena itu ternyata banyak terjadi di tengah masyarakat, tidak terkecuali para petinggi negeri ini.
Dalam bahasa Jawa, “nggampangke” berarti menganggap sesuatu mudah, atau memudahkan semua hal, seolah semua bisa diselesaikan tanpa usaha mendalam, tanpa refleksi, tanpa proses yang sungguh-sungguh. Sikap ini sekilas tampak positif, seolah-olah penuh rasa optimis, tidak mau ribet, dan selalu mencari jalan cepat. Namun di balik kesan ringan itu, tersembunyi krisis yang lebih dalam: hilangnya kesadaran terhadap nilai proses, tanggung jawab, dan makna mendalam dari tindakan manusia.
Fenomena “nggampangke” ini menjadi cerminan cara berpikir manusia kontemporer yang hidup di tengah budaya instan. Segala sesuatu dituntut serba cepat, efisien, dan praktis. Masyarakat tidak lagi menghargai waktu yang dibutuhkan untuk memahami, meneliti, atau merenungi sesuatu secara utuh. Ketika setiap hal bisa diakses hanya dengan sentuhan jari, manusia pun mulai kehilangan kesabaran terhadap proses yang memerlukan ketekunan. Sikap “nggampangke” menjadi kebiasaan yang membentuk cara pandang baru: bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan cepat, tanpa kedalaman. Inilah wajah baru dari krisis kesadaran manusia modern.
Pandangan filsafat kontemporer, sikap “nggampangke” dapat dipahami sebagai gejala kehilangan keterhubungan manusia dengan realitas yang sejati. Manusia kini lebih sibuk mengejar hasil dibanding memahami makna dari apa yang dikerjakan. Segalanya direduksi menjadi fungsi, efisiensi, dan manfaat jangka pendek. Akibatnya, tindakan manusia menjadi dangkal. Nilai pengetahuan direduksi menjadi informasi, nilai moral direduksi menjadi opini, dan nilai karya direduksi menjadi konten. Ketika manusia hanya melihat permukaan, ia berhenti berelasi dengan kedalaman hidup. Ia hidup di ruang datar yang penuh kesibukan, namun kosong dari refleksi.
Sikap “nggampangke” lahir dari rasa puas yang prematur. Ia menolak kompleksitas dan cenderung menghindari kesulitan. Dalam masyarakat yang dibanjiri kemudahan digital, manusia semakin terbiasa untuk mendapatkan segalanya secara instan. Belajar bisa dari potongan video singkat, bekerja cukup dengan aplikasi, bahkan berpikir pun sering digantikan oleh mesin pencarian. Semua tampak mudah, hingga akhirnya manusia tidak lagi terbiasa menghadapi tantangan yang memerlukan ketekunan. Ketika muncul masalah yang menuntut keseriusan, sikap yang lahir bukan semangat untuk memahami, melainkan keinginan untuk segera melepas atau menunda. Maka, “gampangke” menjadi jalan pintas menuju kemalasan intelektual dan emosional.
Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang harus terus berproses. Makna hidup tidak terletak pada hasil akhir, melainkan pada keterlibatan yang mendalam dalam setiap proses. Namun, budaya “nggampangke” justru mengikis kesadaran ini. Proses dianggap membuang waktu, refleksi dianggap tidak produktif, dan kesulitan dianggap hambatan yang harus dihindari. Padahal, tanpa melalui kesulitan, manusia tidak mungkin tumbuh secara autentik. Ketika semua dianggap mudah, manusia berhenti menjadi pembelajar. Ia hanya menjadi penikmat hasil, bukan pencipta makna.
Sikap “nggampangke” bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga gejala sosial. Ia menciptakan budaya kolektif yang rapuh. Dalam masyarakat yang terbiasa dengan kemudahan, daya tahan terhadap tekanan menjadi lemah. Ketika krisis datang, baik ekonomi, sosial, maupun spiritual; masyarakat semacam ini mudah panik dan kehilangan arah. Mereka tidak terbiasa berpikir mendalam, sehingga tidak mampu membangun solusi yang berkelanjutan. Semua hal diselesaikan dengan tambal sulam, tanpa akar yang kuat. Akibatnya, masalah yang sama terus berulang, hanya berganti bentuk.
Sikap “nggampangke” juga menunjukkan krisis makna kerja dan usaha. Dalam budaya tradisional Jawa, kerja memiliki dimensi spiritual dan moral: kerja adalah laku, bagian dari perjalanan batin menuju kesempurnaan hidup. Namun dalam budaya kontemporer yang serba cepat, kerja direduksi menjadi alat mencapai hasil instan. Ketika sesuatu tidak segera membuahkan hasil, ia ditinggalkan. Nilai kesabaran dan ketekunan pun luntur. Di sini, “nggampangke” tidak hanya menjadi sikap praktis, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap nilai luhur kerja sebagai jalan pembentukan diri.
Pada akhirnya, “nggampangke” bukan hanya kata, tetapi cermin dari cara berpikir. Ia menunjukkan bagaimana manusia modern memandang dirinya dan dunianya. Apabila kita terus memelihara sikap ini, kita berisiko menjadi generasi yang kehilangan kedalaman berpikir dan kepekaan moral. Sebaliknya, bila kita mampu mengubahnya menjadi kesadaran baru; kesadaran bahwa setiap hal bernilai karena prosesnya, maka kita sedang menata kembali relasi kita dengan kehidupan.
Di tengah dunia yang serba cepat, mungkin justru yang paling revolusioner adalah keberanian untuk berjalan secara perlahan. Untuk tidak tergoda menganggap segala hal mudah, untuk tidak menertawakan kesulitan, dan untuk tetap menghormati perjalanan panjang menuju pemahaman sejati. Dalam kesadaran itu, manusia kembali menjadi subjek yang utuh: yang berpikir, merasakan, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, melampaui “nggampangke” bukan hanya soal mengubah perilaku, tetapi juga soal memulihkan kemanusiaan kita di tengah dunia yang nyaris kehilangan jiwa.***
*Guru Besar Universitas Malahayati Lampung







