Tidak Harus Perguruan Tinggi Negeri
Gunawan Handoko* ”Untuk apa sekolah tinggi-tinggi Nduk, yang penting sudah bisa baca tulis. Supaya kalau pergi ke kota tidak kesasar atau ditipu orang.” Begitu kira-kira nasihat orang tua kepada anaknya pada zaman dulu. Begitulah kira-kira cara b...
tinggi-tinggi Nduk, yang penting
sudah bisa baca tulis. Supaya kalau pergi ke kota tidak kesasar atau ditipu
orang.” Begitu kira-kira nasihat orang tua kepada anaknya pada zaman dulu. Begitulah kira-kira cara berpikir para orang tua kita tempo doeloe
dalam mematahkan semangat anaknya yang ingin melanjutkan sekolah setelah lulus
tingkat sekolah rakyat (SR).
masalah pendidikan memang belum menjadi prioritas Pemerintah waktu itu. Pemerintah
masih fokus pada upaya mencukupi pangan dan sandang. Melanjutkan
pendidikan anak ke kota merupakan porsinya kaum priyayi dan ningrat yang
rata-rata memiliki kelebihan finansial. Sementara anak-anak yang lain
langsung di giring orang tuanya untuk terjun ke sawah atau ladang.
wajib untuk mendorong putra-putrinya agar mendapatkan pendidikan yang mumpuni
dan menjadi generasi unggul serta mampu bersaing di tengah kompetisi persaingan
global Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah di mulai tahun 2015 lalu.
sebagai status sosial, maka untuk kondisi saat ini dan di masa mendatang sudah
menjadi sebuah kebutuhan agar generasi muda bangsa kita tidak hanya menjadi
penonton di tengah arena laga MEA,
tapi mampu menjadi pemain. Orang tua yang bijak dan memiliki penghasilan tetap
serta cukup tentu tidak akan memaksa putra-putrinya untuk memasuki dunia kerja
dengan hanya bermodalkan ijazah pas-pasan,
karena hal tersebut hanya akan menunda saatnya frustrasi bagi mereka yang
seharusnya masih punya waktu dan kesempatan untuk menambah ilmunya.
bahkan ratusan ribu putra-putri bangsa lulusan SLTA sedang mempersiapkan diri
untuk bisa menembus benteng Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Nampaknya PTN tetap menjadi alternatif pertama bagi sebagian besar
putra bangsa, termasuk para orang tua. Ternyata untuk belajar di perguruan tinggi
swasta (PTS) seringkali masih muncul sikap keragu-raguan akan kualitas, biaya
dan tentu saja masa depannya.
dikotomi antara PTN dan PTS selalu saja muncul dan menjadi realitas yang sulit
dihapuskan. Anggapan masyarakat bahwa PTN lebih unggul, lebih berkualitas dan
‘lebih murah’ masih melekat dan menjadi pandangan umum. Sementara PTS selalu dipandang sebagai ‘nomor dua’, selain mahal biayanya.
mengikuti seleksi ke PTS menjadi alternatif kedua setelah gagal menembus PTN.
Ini semua merupakan realita yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah, bahwa PTN
itu didukung oleh negara. Mulai infrastuktur, sumberdaya manusia (SDM) dan
pendukung lainnya di masa lalu di dukung penuh melalui dana APBN. Sementara
bagi PTS semuanya harus di gali sendiri.
saja sangat jelas bila PTN bisa meningkatkan kualitas pendidikannya tanpa harus
memikirkan dana, sementara untuk PTS sebaliknya. Sangat wajar apabila selama
ini terjadi kesenjangan. Bahkan PTS terkesan terpinggirkan dari PTN karena
sejarahnya memang demikian. Ibarat lomba lari, maka peserta yang satu
sudah sangat siap, yang lain setengah siap, bahkan sisanya nyaris tidak siap.
Mengapa? Karena awal dari langkah yang dimiliki antara PTN dan PTS sudah berbeda.
ini menjadi sebuah tantangan bagi PTS untuk menghapus segala keragu-raguan yang
ada di masyarakat. Apa yang diharapkan oleh masyarakat sudah amat jelas, yakni
lulusan perguruan tinggi yang berkualitas sejalan dengan kompetisi yang semakin
ketat untuk mendapatkan pekerjaan di waktu mendatang.
dan pasar terbuka, lulusan S1 Indonesia mau tidak mau harus berkompetisi dengan
lulusan mancanegara. Secara jujur harus diakui bahwa lulusan S1 Indonesia pada
umumnya masih dibawah peringkat internasional, sehingga sulit untuk
berkompetisi karena kurang kompetensi dalam bidangnya. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kualitas proses pendidikan yang dialami mahasiswa S1.
bahwa Human Development Index (HDI)
Indonesia masih di bawah peringat semua negara di ASEAN. Pihak Pemerintah memang tidak pernah berhenti dalam mengupayakan peningkatan
pendidikan di negeri ini. Salah satunya upaya pengembangan pendidikan S-1 pada
PTN yang diseleksi berdasarkan komitmen yang ditunjukkan oleh PTN tersebut dan track record yang telah dicapainya. Tujuan utamanya adalah membantu PTN
untuk dapat meningkatan kualitas
pendidikan S-1 sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan meningkatkan kapasitas perguruan tinggi
tersebut untuk dapat melakukan upaya perbaikan yang berkesinambungan.
kita memang benar-benar commit terhadap peningkatan kualitas pendidikan dan
SDM, maka bicara tentang pendidikan menjadi sangat strategis dan harus menjadi
perhatian nomor satu. Dalam konteks Indonesia saat ini, dimana sebagian masyarakat
menjerit akibat tingginya biaya pendidikan, terutama untuk jenjang perguruan
tinggi, maka sudah saatnya pendidikan membuka akses yang maksimal untuk rakyat.
memperhatikan kualitas inilah secara otomatis para konsumen pendidikan (calon
mahasiswa dan orang tua) yang akan memilih sendiri perguruan tinggi yang
akan dimasukinya. Jangan sampai mereka
memasuki perguruan tinggi hanya karena ikut-ikutan teman, bukan didasari bakat
dan minat yang dimilikinya. Sebagian lagi karena korban iklan yang dikemas
sedemikian rupa untuk menarik calon konsumen agar memasuki perguruan tinggi
tersebut.
diserahkan pada pasar, maka dipastikan yang kuatlah sebagai pemenangnya.
Sementara yang tidak punya uang walaupun otaknya cerdas dan pintar, harus
mengubur harapan dan cita-citanya belajar di perguruan tinggi. Jika ini yang
terus terjadi, bagaimana upaya memperbaiki kualitas SDM kita? Sudah saatnya kita belajar melupakan mitos
yang tidak sepenuhnya benar bahwa PTN lebih murah ketimbang PTS.
berarti bahwa masa depan suram. Masih banyak PTS di Indonesia yang memiliki
kualitas sama dengan PTN dengan biaya relatif lebih murah atau terjangkau
masyarakat. Anggapan bahwa PTN lebih murah dan bergengsi sudah saatnya
dihapuskan, karena faktanya tidak demikian. Yang terpenting adalah bagaimana
menentukan program studi sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki, bukan
karena faktor pengaruh teman, apalagi hanya karena iklan dan pamflet. Di tengah
persaingan dunia pendidikan, sudah seharusnya para pengelola perguruan tinggi
lebih mengedepankan kualitas lulusan daripada penyebaran brosur dan pamflet.
memilih, bila ingin memanen hasil dalam waktu 2 atau 3 bulan, maka tanamlah
sayur mayur. Bila ingin memanen hasil dalam 1 atau 2 tahun, maka tanamlah
ketela. Bila ingin memanen hasil dalam 5 sampai 10 tahun, tanamlah mangga atau
kelapa. Namun jika ingin mendapatkan hasil dalam 50 sampai ratusan tahun
lamanya, maka tanamlah pendidikan pada anak-anak sebagai generasi penerus kita.***
*Ketua Harian KMBI (Komunitas Minat Baca Indonesia) Provinsi Lampung



