Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Jasa atau Kontroversi?
Oleh Syarief Makhya
Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Namun, hampir setiap tahun pula muncul kembali pro dan kontra terkait wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Mereka yang setuju Soeharto diberi gelar pahlawan nasional beralasan bahwa ia memiliki jasa besar dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi Indonesia, terutama pada masa awal Orde Baru. Soeharto dinilai berperan penting dalam menumpas G30S/PKI, memulihkan keamanan negara pasca-1965, serta mendorong pembangunan nasional yang melahirkan kemajuan infrastruktur dan swasembada pangan di era 1980-an.
Sementara itu, mereka yang tidak setuju menolak dengan alasan bahwa masa pemerintahannya juga diwarnai oleh pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman kebebasan politik, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang meninggalkan luka sejarah bagi banyak rakyat Indonesia.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap figur sejarah seperti Soeharto tidak pernah hitam putih, melainkan tergantung dari sudut pandang dan nilai-nilai yang digunakan dalam menilai sejarah bangsa.
Kendati dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 diatur tentang persyaratan pemberian gelar Pahlawan Nasional seperti memiliki jasa luar biasa bagi bangsa dan negara, tidak pernah menyerah kepada musuh, menjunjung tinggi nilai kebangsaan, serta tidak pernah tercela karena perbuatan yang mengkhianati negara namun ada aspek etis yang juga perlu dipertimbangkan.
Aspek etis tersebut mencakup bagaimana warisan moral dan sosial seorang tokoh dirasakan oleh masyarakat, apakah tindakan dan kebijakannya semasa hidup meninggalkan jejak kebaikan atau justru luka sejarah bagi sebagian rakyat. Pemberian gelar pahlawan bukan hanya soal pencapaian politik atau pembangunan, tetapi juga tentang keteladanan nilai kemanusiaan dan integritas moral yang dapat diwariskan kepada generasi penerus.
Dengan mempertimbangkan aspek etis dalam pemberian gelar pahlawan, maka pilihan yang dihadapi merupakan dilema antara menghargai jasa seorang tokoh dan mempertahankan integritas nilai kemanusiaan.
Bagaimana Soeharto ?
Dalam konteks Soeharto, pemberian gelar pahlawan menghadirkan dilema moral: di satu sisi, bangsa ini tak bisa menutup mata terhadap jasanya dalam membangun dan menjaga stabilitas negara; namun di sisi lain, kita juga tidak boleh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang terciderai selama masa kekuasaannya.
Dalam perspektif struktur argumen, perdebatan mengenai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto terdiri dari dua premis utama: pihak yang pro menekankan pada kontribusi konkret terhadap pembangunan dan stabilitas nasional, sedangkan pihak yang kontra menyoroti pelanggaran hak asasi manusia serta penyalahgunaan kekuasaan selama masa pemerintahannya. Dari dua premis ini, muncul kesimpulan bahwa penilaian terhadap Soeharto bukan sekadar soal jasa, melainkan juga soal nilai moral yang diwariskan kepada bangsa.











