PDAM Way Bumi Unit Subik :Menjaga Aset atau Memperkaya Diri

Feaby Handana Perusahaan Daerah Air Minum Way Bumi, Lampung Utara telah mati suri sejak tahun 2011. Disebut mati suri karena sampai saat ini perusahaan pelat merah itu tak pernah dinyatakan ditutup oleh Pemkab Lampung Utara. Mati surinya PDAM itu mem...

PDAM Way Bumi Unit Subik :Menjaga Aset atau Memperkaya Diri
Kantor PDAM Way Bumi di Kotabumi (ilustrasi)

Feaby Handana

Perusahaan Daerah Air Minum Way Bumi, Lampung Utara telah mati suri sejak tahun 2011. Disebut mati suri karena sampai saat ini perusahaan pelat merah itu tak pernah dinyatakan ditutup oleh Pemkab Lampung Utara.

Mati surinya PDAM itu membuat para karyawan di sana mereka gigit jari. Sebab, tujuh belas bulanan gaji mereka tak diberikan oleh manajemen perusahaan. Padahal, itulah yang mereka harapkan untuk membuat dapur mereka tetap ngebul.

Mereka bukannya tanpa usaha agar hak itu dapat diberikan. Namun, pelbagai usaha yang telah dilakukan masih juga tak membuahkan hasil. Gaji yang diharapkan hingga kini tak kunjung m‎ereka dapatkan.

Lelah berharap, mereka pun terpaksa harus banting setir. Jika tidak, dapur mereka mungkin tak lagi dapat ngebul. Meski berat hati, namun mereka terpaksa berdamai dengan fakta yang ada. Fakta bahwa mereka tak bisa berharap banyak dengan pemkab selaku pemilik perusahaan.

Kesimpulan itu sangat berdasar. ‎Jangankan menyelesaikan urusan gaji, sekadar menutup perusahaan itu saja, pemkab masih belum punya cukup nyali. Padahal, sudah lebih dari satu dekade perusahaan tersebut tak beroperasi.

Jadilah, aset-aset berupa gedung, tanah, peralatan mesin, dan kendaraan operasional perusahaan banyak yang terbengkalai. ‎Belakangan diketahui jika banyak kendaraan roda dua dan empat yang pernah dimiliki tak lagi diketahui di mana rimbanya.

Kembali ke urusan para karyawan PDAM yang menderita akibat gaji mereka tak dibayar. Ternyata di saat rekan-rekannya sibuk mencari pekerjaan baru, dua rekan mereka yang ditugaskan di unit Desa Subik tak melakukan yang sama.

Dengan jelinya mereka berdua melihat peluang untuk bertahan hidup di tempat mereka bekerja. Berbekal surat keputusan pengangkatan dari perusahaan, keduanya mengolah peralatan di sana agar dapat menghasilkan pundi-pundi.

Usaha memang tak pernah mendustakan hasil. Dengan bermodalkan gaya gravitasi bumi, mereka sukses mengalirkan air ke rumah para pelanggan. Alhasil, tiap bulannya, mereka rutin menikmati retribusi dari para pelanggan yang ada.

Seluruh penghasilan tersebut melulu masuk ke kantong pribadi mereka. Perusahaan maupun pemkab yang menjadi pemilik aset yang mereka gunakan tak menerima retribusi tersebut. Dalih mereka, hasil retribusi itu hanya cukup untuk operasional dan biaya perawatan saja.

Selain itu, dalih lainnya ialah untuk menjaga aset-aset di sana. Jika dibiarkan begitu saja, mereka khawatir aset-aset tersebut akan rusak atau hilang. Sepintas, alasan-alasan itu terdengar sangat masuk akal dan sangat mulia bagi sebagian orang. Namun, mungkin tidak demikian bagi rekan-rekannya yan‎g lain.

Apa yang dilakukan oleh keduanya tentu melukai perasaan mereka. ‎Di saat mereka mungkin tak lagi memiliki penghasilan tetap tiap bulannya, di saat yang bersamaan kedua rekan mereka ternyata masih menikmati hidup dari PDAM. Apa yang dilakukan keduanya jauh dari peribahasa ‘senasib sepenanggungan’.

Ditinjau dari sisi mana pun, perbuatan mereka berdua mungkin sangat tidak elok. Semestinya, hasil retribusi yang didapat itu mereka setorkan pada perusahaan atau pemkab. Andaipun tidak mau menyetorkan seluruhnya, paling tidak mereka mau membaginya dengan perusahaan atau pemkab. Toh, peralatan atau aset yang digunakan bukan dibeli dari uang pribadi mereka. Aset-aset itu dibeli oleh perusahaan. Uangnya pun kebanyakan dari pemkab atau berutang dengan Pemerintah Pusat.

Sampai saat ini pun‎ Pemkab Lampung Utara masih menanggung utang warisan PDAM. Utang yang awalnya hanya sekitar Rp5-an miliar malah membengkak menjadi Rp20-an miliar. Untungnya, berkat lobi-lobi yang sukses, utang yang harus dibayar hanya Rp5-an miliar. Utang itu harus lunas dalam waktu lima tahun terhitung sejak kesepakatan penurunan utang dibuat. Tiap tahunnya, pemkab harus mencicil Rp1 miliar pada Pemerintah Pusat.

Berkaca dengan fakta di atas, sudah selayaknya pemkab mengambil langkah tegas terhadap perbuatan keduanya. Jangan ada lagi oknum-oknum yang memanfaatkan aset daerah untuk kepentingan pribadi. Andaipun khawatir dengan keberadaan aset di sana, aparat penegak hukum lebih dari mampu untuk melindunginya. Pun demikian dengan aparat pemerintah desa di sana. Mereka sudah pasti akan melakukan hal yang sama jika memang dimintakan bantuannya untuk itu.