Disfungsi Pemerintahan di Level Terdekat dengan Warga

Disfungsi Pemerintahan di Level Terdekat dengan Warga

Oleh Syarief Makhya

Perkembangan kota semakin maju dan berkembang pesat dari hari ke hari. Meningkatnya jumlah penduduk, arus migrasi, dan bertambahnya pemukiman menjadi ciri khas perkembangan kota saat ini. Fenomena seperti kemacetan lalu lintas, terutama pada pagi dan sore hari, serta semakin banyaknya ruko yang dibangun juga menjadi bagian dari dinamika tersebut.

Dampak dari perkembangan kota ini tidak hanya dirasakan pada kemacetan, tetapi juga pada minimnya fasilitas parkir, sering terjadinya banjir, serta pengelolaan sampah yang belum maksimal. Kesemrawutan kota semakin nyata dan sering kali tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas berbagai permasalahan ini.

Misalnya, ketika terjadi genangan air akibat saluran yang tersumbat, atau muncul konflik penggunaan lahan antara fasilitas umum dan kawasan komersial, sering kali tidak ada koordinasi yang efektif antar pihak terkait. Akibatnya, masalah-masalah tersebut terus berulang tanpa solusi yang tuntas.

Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa jika terdapat trotoar di pusat keramaian, hampir dapat dipastikan akan muncul pedagang di sekitar area tersebut. Tidak jelas siapa yang memberikan izin, bahkan ada trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki justru digunakan sebagai area parkir.

Jika diamati, organisasi perangkat daerah (OPD) yang berhubungan langsung dengan persoalan masyarakat di tingkat bawah jarang melakukan inspeksi mendadak (sidak) atau kunjungan lapangan.

Camat maupun lurah karena keterbatasan kewenangan sering kali tidak turun langsung untuk mengidentifikasi permasalahan dan mengambil tindakan cepat untuk mengatasinya. Mereka hanya sebatas melporkan pada OPD terkait. Akibatnya, problem ketidaktertiban, kesemrawutan, dan kemacetan tidak pernah tersentuh oleh respons cepat dari pemerintah kota.

Mengapa? 

 Pertanyaannya, mengapa problem kesemrawutan, ketidaknyamanan, dan ketidaktertiban di perkotaan cenderung dibiarkan tanpa adanya respons yang memadai dari pemerintah kota? Secara hipotesis, fenomena tersebut terjadi akibat adanya disfungsi pemerintahan, terutama pada level bawah yang berhubungan langsung dengan warga.

Dari perspektif kelembagaan, di tingkat bawah sebenarnya terdapat struktur pemerintahan seperti kecamatan dan kelurahan. Namun, kewenangan lembaga-lembaga ini sangat terbatas. Hampir seluruh kewenangan strategis ditarik ke tingkat organisasi perangkat daerah (OPD), sehingga peran camat dan lurah lebih banyak bersifat administratif, yakni sekadar melaporkan apabila terjadi masalah publik di wilayahnya.

Sementara itu, berbagai persoalan seperti kesemrawutan lingkungan dan kemacetan lalu lintas, terutama di ruas-ruas jalan penghubung antara kawasan perumahan dan jalan utama, sering kali tidak tertangani dengan baik. Di lokasi-lokasi tersebut, aparat pemerintah hampir tidak pernah hadir untuk melakukan pengawasan, penataan, ataupun penegakan aturan. Akibatnya, masalah-masalah tersebut terus berulang tanpa adanya solusi yang nyata dan berkelanjutan.

Dalam perspektif tata kelola pemerintahan daerah, seharusnya kewenangan didistribusikan secara proporsional agar tercipta efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Misalnya, pengaturan ketertiban dan kenyamanan dapat didelegasikan kepada pemerintah kelurahan, termasuk juga urusan pengaturan parkir, penanganan masalah banjir, kebersihan lingkungan, serta pengawasan kegiatan masyarakat sehari-hari. Berbagai urusan tersebut seharusnya dapat diselesaikan di level pemerintahan paling bawah sehingga dapat ditangani dengan cepat tanpa harus menunggu instruksi atau persetujuan dari pemerintah di atasnya.

Dalam perspektif tata kelola pemerintahan daerah, pendelegasian seperti ini mencerminkan prinsip desentralisasi yang sesungguhnya, yaitu kewenangan diberikan secara proporsional sesuai kapasitas dan kebutuhan wilayah. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi lebih responsif, efisien, dan mendekatkan pemerintah kepada masyarakat.

Contoh best practices di Kota Bandung pada era Wali Kota Ridwan Kamil menunjukkan bagaimana pendelegasian tugas dan penguatan peran masyarakat dapat membantu penyelesaian masalah perkotaan.

Pendekatan yang ditempuh bukan dalam bentuk perubahan kewenangan struktural kelurahan, tetapi melalui desentralisasi operasional, yaitu distribusi penugasan dan pelibatan aktif Lurah, RT/RW, Karang Taruna, PKK, serta berbagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Menurut beliau, banyak persoalan rutin di perkotaan—seperti kemacetan, banjir, dan penertiban pedagang kaki lima—muncul karena manajemen kota yang terlalu terpusat, sehingga diperlukan pelimpahan tugas dan penguatan kapasitas pada level terdekat dengan warga untuk merespons masalah secara cepat dan efektif.

Selain itu, Kota Bandung juga menerapkan berbagai inovasi sosial yang bertujuan mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat agar lebih tertib, peduli lingkungan, dan berorientasi pada kebahagiaan warga. Inovasi tersebut antara lain Gerakan Pungut Sampah setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat; Gerakan Sejuta Biopori; penyediaan ruang-ruang publik seperti taman kota untuk meningkatkan interaksi sosial; serta transformasi ruang-ruang negatif—misalnya kolong jembatan—menjadi tempat kegiatan positif, seperti Taman Film di Bandung.

Catatan 

 Beberapa isu pokok yang saat ini dirasakan masyarakat di tingkat kelurahan, dan diperkirakan akan semakin menonjol di masa mendatang, yaitu kesemrawutan aktivitas pasar, kemacetan pada pagi dan sore hari, ketidaktertiban parkir, munculnya banjir akibat drainase yang kurang memadai, meningkatnya kepadatan lalu lintas, serta penyerobotan lokasi-lokasi strategis untuk berjualan, yang semuanya diperparah oleh minimnya penataan ruang publik dan lemahnya pengawasan sehingga kebersihan serta ketertiban lingkungan kerap terabaikan.

Salah satu solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut adalah meningkatkan fungsi kelurahan sebagai garda terdepan pelayanan publik, terutama dalam hal koordinasi, fasilitasi, dan penyampaian aspirasi masyarakat kepada perangkat daerah terkait.

Dari aspek tata kelola pemerintahan, pemerintah kota dapat melakukan penguatan peran kelurahan melalui mekanisme yang dibenarkan oleh regulasi, seperti penugasan khusus (delegasi tugas), pendelegasian sebagian kewenangan yang diperbolehkan, atau pembentukan unit kerja pendukung di bawah organisasi perangkat daerah yang dapat bekerja lebih dekat dengan wilayah kelurahan, tanpa mengubah kedudukan kelurahan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Namun apabila model pemerintahan tetap sepenuhnya tersentralisasi pada organisasi perangkat daerah dan kelurahan tidak memperoleh penguatan peran operasional sesuai ruang kewenangan yang memungkinkan, maka keberadaan pemerintahan di level terdekat dengan warga akan sulit berfungsi optimal sebagai penjembatan kebutuhan masyarakat sehari-hari, sehingga respons terhadap persoalan lokal menjadi kurang efektif.***

Dr. Syarief Maknya, staf pengajar FISIP Unila