Kekuasaan Kepala Daerah yang Terselubung (?)

Kekuasaan Kepala Daerah yang Terselubung (?)

Oleh Syarief Makhya

Secara formal, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tidak digunakan istilah "kekuasaan", melainkan istilah "kewenangan" yang merujuk pada kekuasaan formal yang diatur secara hukum dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara konseptual, yang dimaksud dengan kekuasaan kepala  daerah adalah kewenangan formal yang dimiliki oleh gubernur, bupati, atau wali kota dalam menjalankan fungsi pemerintahan  dan pembangunan di daerah.


Tulisan ini berangkat dari adanya fenomena  kekuasaan yang tersembunyi (hidden power) yang diperankan oleh kepala daerah untuk kepentingan pribadi, baik dalam bentuk perolehan keuntungan finansial maupun tujuan-tujuan politik tertentu. Berbagai kasus yang menimpa gubernur, bupati, atau wali kota baik yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, maupun yang gagal menunjukkan kemajuan signifikan selama masa kepemimpinannya menjadi bukti bahwa persoalannya i bersumber dari praktik kekuasaan yang korup, tidak terkendali, dan diperparah oleh hambatan-hambatan kultural serta lemahnya sistem pengawasan.


Namun, ada juga kepala daerah yang sukses yang diukur keberhasilannya  dalam memajukan daerahnya, tingkat kepercayaan masyarakat meningkat, tidak korup, bisa terpilih untuk keduakalinya sebagai kepala daerah, dan berbagai masalah publik bisa diatasi secara efektif.


Realitas keberhasilan atau kegagalan kepala daerah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan menunjukkan bahwa kewenangan formal yang melekat pada jabatan kepala daerah menjadi faktor yang sangat determinan. Namun, persoalannya bukan hanya pada seberapa besar kewenangan itu dimiliki, tetapi bagaimana kekuasaan tersebut dijalankan, serta siapa yang mengontrol penggunaannya.


Pertanyaan mengenai bagaimana kekuasaan kepala daerah dijalankan dan siapa yang mengontrolnya dapat dijawab dengan melihat praktik kekuasaan yang kerap kali berorientasi pada kepentingan pribadi, politik, dan ekonomi. Hal ini tercermin dari sejumlah fenomena berikut:


Pertama, privatisasi jabatan publik. Kepala daerah sering kali memperlakukan jabatan publik seolah-olah sebagai milik pribadi, yaitu  sumber daya publik  termasuk dana APBD dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, atau jaringan politiknya.


Kedua, praktik rent-seeking dan patronase poliitik. Kewenangan formal digunakan untuk membuka akses terhadap proyek-proyek APBD, perizinan, atau alokasi anggaran secara selektif kepada kelompok tertentu. Sebagai imbalannya, kepala daerah memperoleh dukungan ekonomi atau politik yang memperkuat kekuasaannya.


Ketiga, kontrol terhadap proses legislasi dan birokrasi. Kepala daerah atau elite lokal yang mendukungnya menguasai proses legislasi, penyusunan anggaran, serta birokrasi. Hal ini membuat kebijakan publik lebih berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu ketimbang kepentingan rakyat secara luas.


Keempat, distribusi sumber daya bersifat klientelis. Penggunaan dana APBD kerap kali diarahkan pada program-program populis atau bantuan sosial yang bersifat selektif. Tujuannya bukan semata-mata kesejahteraan publik, tetapi lebih pada mempertahankan basis dukungan politik dan membangun loyalitas elektoral.


Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan kepala daerah tidak berjalan dalam ruang hampa. Ia sangat ditentukan oleh struktur relasi kuasa di tingkat lokal baik yang bersifat formal maupun informal serta lemahnya mekanisme kontrol dari lembaga pengawas, legislatif, maupun masyarakat sipil.


Bagaimana Kekuasaan dikelola?


Apakah fenomena kekuasaan yang korup akan terus berlangsung, ataukah masih bisa dicegah? Faktanya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, korupsi dikalangan kepala daerah tetap saja terjadi  Dalam perspektif ini, maka  harus dirancang bagaimana kekuasaan itu dikelola.


Sejauh ini, berbagai upaya seperti transparansi, pengawasan oleh DPRD, penguatan lembaga pengawas, serta pengawasan internal telah dilakukan. Namun, dalam praktiknya, semua itu masih kerap dapat diakali, disembunyikan, atau dimanipulasi. Akibatnya, mekanisme tersebut belum mampu secara efektif membongkar dan mengungkap fenomena kekuasaan yang terselubung.


Namun, munculnya aksi-aksi demonstratif yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa dan LSM, disertai dengan viralnya isu-isu tersebut di media sosial, serta keberanian untuk memprosesnya melalui jalur hukum lewat lembaga penegak hukum, terbukti cukup ampuh untuk menekan kekuasaan yang menyimpang dan membuka tabir kekuasaan yang terselubung. 


Gerakan aksi tersebut bukan hanya menjadi bentuk ekspresi kekecewaan publik, tetapi juga memainkan peran penting sebagai kekuatan korektif terhadap kekuasaan yang tidak transparan. Dengan dukungan solidaritas publik dan sorotan media, gerakan ini mampu mendorong respons dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah, serta membuka ruang diskusi kritis di tengah masyarakat. Lebih dari itu, aksi-aksi tersebut memperkuat kesadaran kolektif bahwa kontrol terhadap kekuasaan bukan hanya tugas lembaga formal, tetapi juga tanggung jawab warga negara secara aktif dan berkelanjutan.


Akhirnya, poin penting dari tulisan ini adalah bahwa fenomena kekuasaan yang terselubung harus dikoreksi. Untuk itu, diperlukan keberanian dari sekelompok kecil yang bersuara lantang dan konsisten dalam menyuarakan kebenaran, serta berani menghadapi risiko dalam memperjuangkan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Gerakan ini, meskipun kecil, dapat menjadi pemantik perubahan yang lebih besar dalam membongkar dan melawan praktik kekuasaan yang menyimpang.


*Dr. Syaref Makhya, M.Si, staf pengajar FISIP Unila