Menekan dan Mengancam
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Hari itu penulis berniat datang ke kantor untuk menyelesaikan semua urusan akademik, terutama aspek pengisian administrasi akademik yang melelahkan ; bahkan terkadang sedikit jenuh...
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Hari itu penulis berniat datang ke kantor untuk menyelesaikan semua urusan akademik, terutama aspek pengisian administrasi akademik yang melelahkan ; bahkan terkadang sedikit jenuh karena terlalu teknis jika itu harus dikerjakan oleh akademisi yang berkutat dalam pengembang ilmu. Mengingat hal itu berkaitan dengan kualitas pelayanan kelembagaan kepada pengguna, maka harus dilakukan demi nama baik lembaga.
Baru satu jam mengerjakan pekerjaan dimaksud, pintu diketuk keras. Itu ciri khas tamu yang sudah sangat akrab dengan ruangan ini. Betul saja wajah sumringah orang muda yang satu ini menjadi ciri khasnya; bertubi-tubi mengomentari tulisan yang terbit di media online ini dengan “bahasa-bahasa langit”. Tentu saja semua rencana dari awal menjadi bubar, ditambah lagi sejurus kemudian kedatangan tamu yang juga tidak asing lagi — teman berdebat dan selisih pendapat walau tetap bersahabat. Jadilah diskusi akademik yang menyangkut kehidupan manusia kaitannya dengan perjananan nasib; menjadi sangat hangat.
Topik menjadi mengerucut. Pertama, mengapa banyak orang, termasuk akademisi, kala ingin mencapai tujuan kedudukan duniawi, sanggup berbuat apa saja termasuk menekan bahkan mengancam. Ini dibuktikan dari data yang terkumpul bahwa saat pemilihan pimpinan di suatu lembaga pada pengelola dan penjaga ilmu di suatu lembaga ilmiah tertentu, calon pimpinannya menggunakan cara “tekan ancam” untuk memperoleh dukungan, akhirnya jadilah suara nyaris mutlak, hanya satu orang yang abstain. Anehnya, mereka kalau ditanya takut Tuhan dari pada manusia, tetapi begitu dapat ancaman sesama manusia tumbang juga. Saya khawatir sinyalemen teman di salah satu lembaga bahwa beras di rumah belum cukup, itu benar adanya.
Kedua, jika sudah mencapai kedudukan yang dimaksud, maka yang bersangkutan menjadi khilaf, bahkan gelap mata. Semua ingin diraih dengan cara apa pun, termasuk menggunakan cara menekan dan mengancam. Jawaban seloroh disampaikan: karena letak geografis dari suatu daerah juga memengaruhi para penghuni wilayah itu. Karena kita dekat dengan terminal terbesar di Sumatera, maka tingkah polah terminal juga menular kepada daerah sekitarnya, termasuk individu yang ada di sekitarnya.
Tentu jawaban itu bukan jawaban, karena tidak menjawab persoalan, justru membuat persoalan baru. Tulisan ini mencoba mencari jawaban sudut pandang sisi lain dari kedua pertanyaan di atas. Persoalan pertama, kecenderungan untuk berbuat apa saja guna mencapai keinginan, menurut satu teori dalam Psikologi Perkembangan yang dikemukakan oleh Hurlock (1993), keberhasilan melaksanakan tugas perkembangan pada tahap awal akan memberikan dasar yang baik bagi perkembangan selanjutnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa balita akan meronta manakala tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Jadi, jika silogisme ini dijadikan kerangka berpikir, maka dapat dikatakan mereka yang mengejar dunia saat dewasa dengan menggunakan cara menekan dan mengancam, atau dalam bahasa agamanya disebut ubuddunia, adalah mereka yang masa kecilnya kurang bahagia.
Beda lagi menurut seorang sahabat yang menggeluti dunia kitab kuning. Beliau mengatakan, di sana tercantum bahwa manusia tebagi atas tiga kategori dalam mengejar ubud dunia. Pertama, mereka yang tidak segan segan melakukan kedholiman untuk mengejar dunia, kedua, manusia yang tidak sabar dalam melihat kelaliman. Bentuk ini adalah dendam, berbuat makar dan sejenisnya. Ketiga, adalah kelompok yang ingin mengambil keuntungan dari situasi yang keruh. Inilah pendukung kelaliman. Ketiga kelompok ini adalah mereka yang masa kecilnya kurang terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga berbuat apa saja waktu dewasa dengan melupakan pedoman aturan agama.
Persoalan kedua, kita dekati dengan teori Abraham Maslow, tokoh psikologi asal Amerika Serikat. Menurut Maslow, kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hierarki. Disebut hierarki karena memang manusia memenuhi kebutuhannya secara berjenjang. Manusia akan berusaha memenuhi satu jenjang kebutuhan terlebih dahulu.
Setelah jenjang pertama terpenuhi, maka manusia akan mencoba memenuhi kebutuhan yang ada di jenjang berikutnya. Jadi wajar saja menurut teori ini jika seorang begitu mendapat kesempatan untuk memuaskan hasrat dunia; maka apapun dilibas agar hasrat keduniawiannya tersalurkan.
Tentu kelompok mazab empirisme di atas akan dibantah habis habisan oleh paham teori nativisme maupun teori konfergensi. Hal itu dalam dunia ilmu pengetahuan sah sah saja; namun paling tidak pada batas batas tertentu bagi mereka yang masih berorientasi “pemenuhan kebutuhan perut”, maka teori di atas masih sangat relevan. Hanya manusia jarang mau jujur bahwa dirinya masih berorientasi pada kebutuhan ini, sehingga rumah mewah dibangun walau dari hasil menipu, kendaraan mewah dibeli walau dari hasil jual harga diri; itu boleh boleh saja. Di sinilah menurut filsafat antara nilai ajaran budi dan agama; berbenturan dengan pengetahuan. Kita tidak perlu naik mimbar untuk berkhotbah, karena mengkhotbahi diri sendiri mimbarnya ada dihati yang paling dalam. Itulah kalbu.
Diskusi terputus karena terdengar panggilan menghadap Tuhan; maka kami membubarkan diri untuk menuju tempat peribadatan. Tugas menyelesaikan kuwajiban akademik untuk hari itu terbengkalai sudah.
Selamat ngopi pagi!







