Kasus Korban Begal Jadi Tersangka, Polda NTB Akhirnya Terbitkan SP3

TERASLAMPUNG.COM — Kepala Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Djoko Poerwanto mengatakan Polda NTB  telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)  perkara korban begal jadi tersangka, Murtede alias Amaq Sinta (AS), menyusul di...

Kasus Korban Begal Jadi Tersangka, Polda NTB Akhirnya Terbitkan SP3
Kapolda NTB, Irjen Djoko Poerwanto (Foto: dok/istimewa)

TERASLAMPUNG.COM — Kepala Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Djoko Poerwanto mengatakan Polda NTB  telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)  perkara korban begal jadi tersangka, Murtede alias Amaq Sinta (AS), menyusul diambil alihnya perkara tersebut oleh Polda NTB.

Menurut Kapolda NTB, penghentian proses hukum AS tersebut setelah pihaknya melakukan gelar perkara yang dihadiri oleh jajaran Polda dan pakar hukum.

“Hasil gelar perkara disimpulkan peristiwa itu merupakan perbuatan pembelaan terpaksa sehingga tidak ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil dan materiil,” ujar Kepala Polda NTB Irjen Djoko, melalui keterangan tertulis, Sabtu, 16 April 2022.

Irjen Djoko mengatakan, keputusan dari gelar perkara tersebut berdasarkan peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, Pasal 30 tentang penyidikan tindak pidana bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

“Peristiwa yang dilakukan oleh AS merupakan untuk membela diri sebagaimana Pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa,” kata Djoko.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menekankan bahwa, penghentian perkara tersebut dilakukan demi mengedepankan asas keadilan, kepastian dan terutama kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

“Dalam kasus ini, Polri mengedepankan asas proporsional, legalitas, akuntabilitas dan nesesitas,” katanya.

Korban begal dalam kasus ini berinisial AS, pria asal Kabupaten Lombok Tengah. Sementara terduga pelaku begal yang diduga tewas di tangan AS, berinisial OWP dan PE. Menurut hasil visum, mereka tewas dengan luka tusuk di bagian dada dan punggung hingga menembus paru-paru.

Sedangkan nasib dua rekan lainnya berinisial HO dan WA, yang disebut bertugas memantau situasi dari belakang, melarikan diri setelah mengetahui dua rekannya, OWP dan PE tewas.

Sebelumnua kasus ini menjadi sorotan, bahkan Polda NTB mengambil alih penanganan kasusnya. Hasil penyidikan sementara, dalam kasus ini, polisi telah menetapkan AS sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 338 KUHP subsider Pasal 351 ayat 3 KUHP juncto Pasal 49 ayat 1 KUHP.

Pasal 338 KUHP subsider Pasal 351 ayat 3 KUHP tersebut mengatur tentang perbuatan pidana pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Namun kedua pasal tersebut dikaitkan dengan Pasal 49 ayat 1 KUHP tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer) yang menyatakan AS tidak dapat dipidana.

Selain mendapatkan kritikin publik, kasus seorang korban pembegalan di NTB juga mendapatkan perhatian dari pakar hukum pidana.

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, misalnya menegaskan  Murtede atau Amaq Sinta yang menewaskan dua begal di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tidak bisa dilabeli tersangka dan dikenakan pasal pidana.

Menurut Azmi,  tindakan korban begal yang menewaskan dua pelaku begal demi pembelaan dirinya atas pengeroyokan komplotan begal yang dilakukan seketika oleh para begal maka tidak patut dilabeli sebagai tersangka.

“Hal itu mengingat perbuatan atau keadaannya bukanlah sebagai pelaku tindak pidana. Penyidik dalam kasus ini kurang teliti dalam memetakan dan mencari termasuk mengumpulkan bukti. Kalau penyidik teliti dan cermat semestinya akan membuat terang dan jelas atas peristiwa pidana ini, sehingga tidak menimbulkan dialektika publik seperti saat ini,” kata Azmi.

Mengacu Pasal 49 KUHP, kata Azmi, orang yang melakukan pembelaan darurat, sekaligus sebagai upaya dari dirinya yang tidak dapat dihindarinya atas sebuah keadaan yang terpaksa.

“Sehingga berdasarkan perintah pasal ini dan fakta yang ada, maka perbuatan ini semestinya oleh penyidik sejak awal menjadi pengecualian dan harus dihentikan demi hukum karena tindakannya ini tidak dapat dihukum bukan pula melabeli status tersangka,” katanya.

Adapun payung hukum yang dapat digunakan penyidik Pasal 7 huruf i KUHAP dan Pasal 109 KUHAP, yang memberikan kewenangan pada penyidik untuk menghentikan penyidikan.

“Jadi tidak perlu perkara dengan karakteristik seperti ini, bagi korban begal yang membela diri ditahan apalagi sampai tahap pengadilan. Ini tidak efektif,” tandasnya.