Idul Adha 1436 H: Robohnya Observatorium Kita (1)
Peta garis-garis tinggi Bulan di Indonesia pada saat Matahari terbenam Minggu 13 September 2015 TU dalam penentuan 1 Zulhijjah 1436 H. Nampak bahwa Indonesia dibelah oleh garis nol (garis yang menunjukkan tinggi Bulan sama dengan nol derajat)....
Oleh Ma’rufin Sudibyo
Konjungsi geosentris Bulan-Matahari, yakni peristiwa saat titik pusat cakram Bulan dan titik pusat cakram Matahari menempati satu garis bujur ekliptika yang sama dipandang pusat Bumi, terjadi pada Minggu 13 September 2015 Tarikh Umum (TU) pukul 13:41 WIB. Sementara konjungsi toposentris Bulan-Matahari, yakni peristiwa sejenis namun dipandang dari salah satu titik di permukaan globe Bumi, justru terjadi lebih kemudian. Untuk Indonesia, konjungsi toposentrik tersebut berlangsung antara pukul 14:45 WIB (Medan, propinsi Sumatra Utara) hingga 15:32 WIB (Biak, propinsi Papua). Konjungsi toposentrik sejatinya lebih realistis, karena segenap manusia hidup di permukaan Bumi. Namun dalam praktiknya kalah populer dibanding konjungsi geosentrik.
Konjungsi geosentrik Bulan-Matahari menjadi patokan bagi elemen umur Bulan geosentrik. Yakni selang waktu antara saat konjungsi (geosentrik) hingga saat Matahari terbenam di sebuah titik. Umur Bulan bernilai positif jika konjungsi geosentris Bulan-Matahari telah terjadi. Jika sebaliknya maka bernilai negatif. Bagi Indonesia, pada Minggu 13 September 2015 TU senja umur Bulan geosentrik bervariasi antara +1,9 jam (Jayapura, propinsi Papua) hingga +4,9 jam (Lhoknga, propinsi Aceh).
Selain umur Bulan geosentrik terdapat pula sejumlah elemen penting lainnya. Yang pertama adalah tinggi Bulan, yakni busur vertikal yang ditarik dari garis cakrawala (horizon) hingga berujung titik pusat cakram Bulan pada saat Matahari terbenam.
Seperti halnya umur Bulan, tinggi Bulan pun mengenal nilai positif dan negatif. Tinggi Bulan bernilai positif jika Bulan masih berada di atas cakrawala saat Matahari terbenam. Sebaliknya jika Bulan terbenam lebih dulu ketimbang Matahari, maka tinggi Bulan bernilai negatif. Di Indonesia, pada saat itu tinggi Bulan bervariasi antara -1,3 derajat (Jayapura, propinsi Papua) hingga +0,3 derajat (Lhoknga, propinsi Aceh).
Elemen selanjutnya adalah elongasi Bulan, yakni jarak sudut antara titik pusat cakram Bulan dan Matahari pada saat Matahari terbenam. Elongasi Bulan selalu bernilai positif. Pada Minggu 13 September 2015 TU senja, elongasi Bulan di Indonesia bernilai antara 1,1 derajat (Merauke, propinsi Papua) hingga 1,9 derajat (Lhoknga, Provinsi Aceh). Dan elemen yang terakhir adalah selisih waktu terbenamnya Bulan-Matahari. Yakni selisih waktu antara saat Bulan terbenam dibanding dengan saat Matahari terbenam. Selisih waktu terbenamnya Bulan-Matahari bernilai positif jika Bulan terbenam lebih kemudian dibanding Matahari.
Jika yang terjadi sebaliknya, maka selisih waktu terbenamnya Bulan-Matahari akan bernilai negatif. Di Indonesia pada saat itu nilai waktu terbenamnya Bulan-Matahari bervariasi antara -1 menit 50 detik (Jayapura, Provinsi Papua) hingga +3 menit 5 detik (Nias, Provinsi Sumatra Utara).
Harap digarisbawahi bahwa semua angka di atas merupakan hasil komputasi berdasar sistem perhitungan (hisab) ELP 2000-82. Kondisi dalam perhitungannya pun diidealkan. Misalnya elevasi (ketinggian) setiap titik di Indonesia dianggap sama dengan paras (permukaan) air laut rata-rata.
Minggu 13 September 2015 TU bertepatan dengan 29 Zulqaidah 1436 H di Indonesia. Setiap takwim (kalender) di Indonesia menunjukkan tanggal yang sama. Baik dalam takwim resmi pemerintah Republik Indonesia (yang bernama takwim standar Indonesia), maupun dalam kalender ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul ‘Ulama (NU). Maka 13 September 2015 TU menjadi saat yang krusial, karena menjadi momen untuk menentukan kapan 1 Zulhijjah 1436 H. Yang berhubungan erat dengan kapan Hari Raya Idul Adha 10 Zulhijjah 1436 H ditetapkan di negeri ini. Dan sayangnya, 29 Zulqaidah 1436 H terjadi bersamaan waktunya dalam segenap kalender di Indonesia, namun Indonesia kembali berbeda dalam merayakan Idul Adha.
Mengapa? Seperti dijelaskan sebelumnya, khasanah perbedaan dalam berpuasa Ramadhan serta berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia sangat dipengaruhi sikap dua ormas Islam terbesar. Yakni NU di satu sisi dan Muhammadiyah di sisi yang lain.
Bagi NU, penentuan tersebut hanya bisa dilakukan dengan cara rukyat hilaal. Ormas ini tetap menggunakan hisab (perhitungan ilmu falak), namun hisab lebih diposisikan sebagai advisory (pendukung pelaksanaan rukyat). Hasil rukyat hilaal yang bisa diterima di lingkungan NU adalah hasil rukyat yang hisabnya melampaui batas “kriteria” Imkan rukyat. “Kriteria” Imkan rukyat adalah “kriteria” yang dikembangkan oleh Kementerian Agama RI dengan tujuan untuk menjembatani kubu hisab dan rukyat. Pada posisi tersebut NU bersikap untuk menunggu hasil-hasil rukyat sekaligus memaparkannya di sidang itsbat penetapan awal Ramadhan dan dua hari raya yang diselenggarakan Kementerian Agama RI.



