Hari Ini, Kepala Saya Berisi Tagihan
Dahta Gautama* BANGUN tidur, masih pagi. Pukul 5.30 WIB, istri mengingatkan saya bahwa hari ini tanggal satu. Itu artinya, kami harus membagi uang seirit mungkin. Pertama-tama, uang yang sedikit itu dibagi untuk rekening listrik, PAM dan telepon pl...

Dahta Gautama*
BANGUN tidur, masih pagi. Pukul 5.30 WIB, istri mengingatkan saya bahwa hari ini tanggal satu. Itu artinya, kami harus membagi uang seirit mungkin. Pertama-tama, uang yang sedikit itu dibagi untuk rekening listrik, PAM dan telepon plus rekening koran lokal. Istri juga mengingatkan bahwa kami harus membayar abodemen, SPP, angsuran kredit motor, lauk-pauk dan beras, juga menyisihkan sedikit uang untuk pulsa dalam satu bulan.
Saya duduk di ruang tamu, nonton berita kelanjutan perseteruan Pengacara Farhat Abas vs Musisi Ahmad Dani. Berita lain, soal rupiah yang terus melemah hingga Rp14 ribu.
Saya harus menenangkan diri dengan mencoba serius mengikuti persoalan lain di luar
soal finansial rumah tangga. Namun karena muka istri mulai masam, saya pura-pura nelpon kolega redaktur koran harian lokal. Saya menanyakan berapa jumlah honor cerpen yang mesti saya terima hari ini.
Mendengar itu, muka istri kembali lunak. Pikirnya, bakalan dapat tambahan dana Anggaran Belanja Rumah Tangga (ABRT).
Pagi itu, saya teringat ucapan bijak filsuf Irlandia, David Hume. Ia mengatakan, bahwa hidup akan terasa nyaman apabila kita merasa cukup dengan sedikit uang yang kita miliki. Sebab kebahagiaan, menurutnya, apabila kita mampu mengatur kemauan tak terbatas manusia dengan cara membatasi keinginan untuk lebih dari cukup.
Syukurlah, meski bertahun hidup dalam keterbatasan membagi anggaran keuangan rumah tangga, namun toh, sampai hari ini saya masih survive (mampu) menjadi suami yang setia bagi istri, menjadi ayah yang “tak galak” bagi anak, luwes pada tetangga, terpenting menghormati profesi sebagai jurnalis dan penulis.
Paling tidak, sebagai wartawan Indonesia, saya tidak memperburuk citra profesi ini dengan berperrilaku tak terpuji, memeras misalnya, atau mencoba memposisikan diri sebagai makelar kasus. Banyak teman seangkatan mempertanyakan posisi saya sebagai wartawan dan bagaimana cara kerja yang saya lakukan.
Mungkin mereka heran, lima belas tahun jadi wartawan, tapi kok, standar sekali. Ada yang bilang, mestinya saya tidak mengendarai motor lagi, karena sudah pantas kalau punya mobil.
Aduh, hari ini tanggal 1. Saya mesti keluar rumah dari pagi. Ambil honor cerpen, langsung ke leasing ngangsur kredit motor, kemudian ke kantor pos untuk bayar rekening listrik dan telpon. Ke warung internet kirim berita terbaru ke redaksi, mampir ke pasar tradisional beli beras dan pulang ke rumah membawa sisa uang yang harus dibagi-bagi lagi oleh istri.
Hari ini saya bergerak, di hadapan saya jalan aspal melengkung, di dalam kepala saya, ada tagihan listrik dan air, beras, SPP, abodemen, ikan kering dan utang di leasing.
Hari ini saya bergerak cepat dan sangat kebut, saya ingin melewati kondisi sulit, ingin sampai pada problem hidup yang sesungguhnya, dan menyelesaikannya atau berhenti dan pulang ke rumah untuk tidur, agar ketemu mimpi bagus. ***
* Orang Biasa