Pembersihan Etnis Rohingya, PBB Harus Lebih Keras Menekan Myanmar
Oyos Saroso H.N. Kantor berita Al Jazeera mencatat: hingga 7 September 2017, sudah ada 270 ribu orang Rohingya melarikan dari dari kampung-kampung mereka di Rakhine untuk menyelamatkan diri ke Bangladesh. Mereka harus melewati desa-desa dan kota-kota...
Oyos Saroso H.N.
Kantor berita Al Jazeera mencatat: hingga 7 September 2017, sudah ada 270 ribu orang Rohingya melarikan dari dari kampung-kampung mereka di Rakhine untuk menyelamatkan diri ke Bangladesh. Mereka harus melewati desa-desa dan kota-kota kecil, harus bersicepat dengan adangan dan tembakan tentara Myanmar.
Menurut Human Rights Watch, aparat keamanan Myanmar memberondong desa-desa agar penduduknya keluar lalu membakar rumah-rumah mereka.
Tentara-tentara itu menggunakan bedil-bedil laras panjang, pelontar mortir, dan helikopter. Banyak saksi mata melihat kepulan asap besar di kejauhan membubung ke angkasa. Letusan senjata menyalak berjam-jam.
Gelombang pengungsi sebenarnya tidak terjadi pada hari-hari terakhir ini. Puluhan ribu orang Rohingya sudah menjadi bulan-bulanan teror dan ancaman pembantaian secara masif pada Oktober-Desember 2016.
Menurut BBC, hingga awal Desember 2016, lebih dari 10.000 orang-orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh setelah militer Myanmar melancarkan operasi militer di Rakhine. Kala itu, para warga Rohingya menuturkan kisah-kisah mengenaskan: perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah-rumah oleh aparat keamanan Myanmar.
Kala itu para aktivis HAM sudah berteriak dan mengritik negara-negara di dunia yang tidak peduli terhadap tragedi kemanusiaan yang dialami orang-orang Rohingya. Saat itu, pemerintah Myanmar juga sudah gencar membantah fakta yang diungkap para aktivis HAM dan mengatakan kabar itu sebagai ‘bohong’ dan ‘tak sesuai dengan kenyataan’.
Pada akhir pekan ini (8/9/2017) Al Jazeera melansir gelombang pengungsian orang-orang Rohingya ke Bangladesh itu dikhawatirkan akan menyebabkan tragedi yang serupa dengan peristiwa pembantaian orang-orang Bosnia oleh tentara Serbia di kota kecil Srebrenica pada 1995.
Pembantaian Srebrenica dianggap sebagai kekerasan terbesar dan terbengis yang pernah terjadi di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Kala itu, pada 11 Juli 1995, puluhan ribu warga Bosnia melarikan diri ke Srebrenica untuk menempati rumah-rumah darurat yang dibangun pemerintah Swedia atas perintah PBB. Sebagai tindak lanjut Perundingan Dayton, Dewan Keamanan PBB telah menetapkan Srebenica sebagai kota pengungsi bagi penduduk Bosnia yang kocar-kacir akibat perang. Berbulan-bulan sejak pecah perang Bosnia-Serbia pada 1992, mereka mencari tempat aman di negerinya sendiri.
Rombongan pertama yang memasuki Srebrenica, sebanyak sekitar 15.000an laki-laki. Mereka diadang pasukan tentara Serbia yang dipimpin Ratko Mladik. Mereka ditembaki. Sekitar 8.000-an orang Bosnis tewas.
Rombongan berikutnya 25-an ribu hingga -30-an ribu yang terdiri perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua diserbu di hutan-hutan di luar kota. Tentara Serbia menembaki pengungsi Bosnia agar mereka memasuki Srebrenica. Banyak di antara mereka yang hilang — para perempuannya diperkosa, dan anak-anak dilemparkan ke jurang.
Sangat miris: pembantaian di Srebrenica dan hutan-hutan sekitarnya berlangsung selama tiga hari tanpa berhasil dihentikan oleh pasukan PBB. Sayangnya, jumlah pasukan PBB tidak cukup untuk membendung kebengisan militer Serbia.
Mencermati kekejaman yang terus berlangsung terhadap orang Rohingya dan lemahnya dukungan negara-negara Islam untuk mencegah pembersihan etnis, tidak bisa tidak, Dewan Keamanan PBB harus harus lebih keras bersikap terhadap Myanmar. Kini praktis hanya Indonesia yang didengar pemimpin Myanmar. Itu tidak cukup. Harus ada tekanan lebih kuat lagi dari Dewan Keamanan PBB dan negara-negara lain agar tentara Myanmar menghentikan kekerasan.
Jika PBB lemah dan hanya merasa cukup dengan seruan, bukan tidak mungkin tragedi Srebenica terulang di Asia dengan korban orang-orang Rohingya. Kebiadaban pembersihan etnis harus dihentikan oleh seluruh warga dunia.
Sumber: Al Jazeera: Rohingya warn of ‘another Srebrenica’ if violence rages/BBC/dbs



