Monolog Senja di Ruang Sepi
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Sore itu kebetulan banyak tenaga pengajar yang sudah meninggalkan kampus, karena jam kuliah mereka sudah berakhir. Yang tersisa hanya penulis dengan seorang staf administrasi; seorang lelaki ta...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Sore itu kebetulan banyak tenaga pengajar yang sudah meninggalkan kampus, karena jam kuliah mereka sudah berakhir. Yang tersisa hanya penulis dengan seorang staf administrasi; seorang lelaki tampan berkacamata tebal, sebagai orang yang diserahi mengurus semua keperluan mahasiswa dari alfa sampai zero. Semua dia kerjakan sendiri dalam sunyi tanpa pamrih, dengan satu harapan semua lancar. Dan, dalam kesendirian di ruang kerja yang nyaman ini, terbayang saat tadi “mucuki” kuliah perdana pada program sarjana. Istilah mucuki dikenal pada dunia pedalangan wayang kulit dimana seorang dalang senior membuka pertunjukkan, dengan segala macam kebesarannya. Kemudian sang senior menepi, selanjutnya digantikan oleh dalang yunior guna menuntaskan cerita babat yang sedang digelar.
Pagi tadi saya terkejut setelah mempersilakan masing-masing mahasiswa untuk menyebutkan latar belakang pendidikan, serta hal-hal lain yang melingkupinya. Ternyata latar belakang pendidikan mereka sangat beragam. Hal itu bisa menjadi sangat aneh jika dikaitkan dengan program studi yang mereka pilih hari ini. Terbayang bagaimana beratnya dosen sebagai tenaga pengajar berhadapan dengan keadaan seperti itu. Dosen harus memiliki jurus metodologis bagai pemain kungfu. Semua harus dilakukan agar transfer ilmu pengetahuan, dan pembentukan kepribadian dapat berjalan bersama.
Di ruang akademik itu, mereka semua diminta untuk berjalan di atas satu garis: garis kelulusan, garis derajat sarjana, garis status yang oleh luar sana disebut sama; “sama dengan lulusan perguruan tinggi negeri”.
Tantangannya bukan hanya pada mereka yang duduk di bangku, tetapi sangat berat bagi yang di muka kelas. Ia bukan semata mengajar, tetapi mengorkestrasikan keberagaman agar menghasilkan harmoni yang tak terlihat, setidaknya kelihatannya serasi di atas kertas ijazah nantinya.
Bagaimana mempertimbangkan keadilan dalam situasi tersebut? Apakah keadilan berarti memperlakukan semua mahasiswa dengan sama persis? Atau adakah keadilan justru memberi perbedaan sesuai kebutuhan dan kondisi?
Filsafat kontemporer telah banyak membincang ini lewat teori-teori yang mencermati prinsip keadilan, kesetaraan, kesetaraan peluang, keadilan distributif, dan keadilan korektif.
Pada senja yang sepi ini, pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dari kepala, menuntut jawaban tidak sekadar teknis, tetapi etis.
Pertama, mempertimbangkan bahwa bukan semua mereka yang datang dengan modal yang sama. Ada yang lahir dari keluarga dengan kemampuan membeli buku pelajaran lengkap, bisa ke les privat, dukungan keluarga dalam bentuk ruang belajar yang nyaman. Ada yang harus berjibaku dengan tugas rumahan, bekerja paruh waktu, atau bahkan menempuh perjalanan jauh setiap hari untuk mencapai kampus.
Ada yang bahasa ibunya bukan bahasa pengantar resmi, sehingga kesulitan menangkap jargon akademik.Bahkan tidak jarang dialek rumah pun masih kental mereka pakai di kampus. Ada yang sejak kecil telah terbiasa meraba-raba bacaan, sementara yang lain nyaris tak pernah melihat buku tebal tebal. Ada yang belum bisa memanfaatkan toilet dengan baik dan benar. Kondisi-kondisi ini bukan sekadar latar; ia mempengaruhi bagaimana kapasitas belajar bisa tumbuh.
Tanpa pengakuan terhadap latar ini, tuntutan “kelulusan dengan standar yang sama” bisa menjadi bentuk kekerasan epistemis, yaitu menuntut sesuatu yang mungkin tidak lengkap sama secara modal mental, material, dan sosial.
Kedua, dosen berada di posisi yang paradoks. Di satu sisi, ada tuntutan institusi: standar minimal yang mesti dijaga agar perguruan tinggi tidak kehilangan reputasi. Dosen harus menilai berdasarkan rubrik, bobot tugas, jumlah SKS, dan kurikulum yang ditetapkan.
Keseragaman dalam kurikulum dimaksudkan untuk menjamin bahwa gelar yang diperoleh lulusan menggambarkan kompetensi tertentu.
Di sisi lain, sebagai manusia yang melihat mahasiswanya bukan angka, ia melihat kemampuan yang tak kasat mata begitu “njomplang”, kerja keras yang di luar hitungan kelas, perjuangan hidup yang dalam diam. Ia tahu bahwa meskipun target adalah “lulus dengan kompetensi”, tidak semua mahasiswanya bisa berjalan di lintasan yang serupa.
Teori keadilan distributif mengajarkan bahwa keadilan tidak selalu berarti identik, melainkan memberi bagian yang sesuai kebutuhan; redistribusi agar ketidaksetaraan bisa dikecilkan. Di samping itu, teori equality of opportunity menekankan bahwa kesempatan harus diakses secara setara sejak awal, bukan hanya saat di puncak seleksi. Tetapi bagaimana mengimplementasikan ini di kampus? Apakah dengan remedial khusus, pemberian sumber belajar tambahan, kebijakan toleran terhadap latar sosial, pengurangan beban biaya, atau fleksibilitas dalam metode pengajaran?
Tentu semua ini memerlukan komitmen moral dan material yang luar biasa beratnya bagi dosen perguruan tinggi swasta.
Senja makin menuju temaram bersamaan bersitan di sanubari muncul keraguan: apakah usaha dosen tersebut tidak akan dianggap memanjakan? Apakah akan ada tuduhan bahwa standar akan direndahkan jika diadakan kompensasi?
Inilah titik ketegangan antara idealisme dan pragmatisme. Filsafat pendidikan kontemporer menolak ide bahwa standar harus dijaga dengan mengabaikan ketidaksetaraan latar belakang.
Sebaliknya, ia menawarkan bahwa standar itu sendiri harus sensitif terhadap konteks; bahwa standar tak boleh menjadi jangkar penghukum yang lemah; ia harus menjadi tongkat yang membantu semua untuk menaiki gunung pendidikan; namun bukti di lapangan jauh panggang dari api.
Keadilan, dalam perspektif pragmatis kontemporer, bukan sekedar pembauran persamaan, melainkan proses transformasi. Proses di mana institusi memperhitungkan bahwa mahasiswa mungkin punya “beban tersembunyi”: kekurangan bahasa, minim bahan ajar, keterbatasan teknologi, tekanan ekonomi, tanggung jawab di rumah. Mahasiswa yang datang dengan “keunggulan modal budaya” tidak diminta mundur; mereka tetap bisa bersinar. Tetapi mereka yang modalnya kurang, perlu diberi pijakan agar tidak terjungkal saat menginjak tangga-tangga pendidikan tinggi yang curam. Dosen menjadi semacam penjaga pintu yang tidak boleh menolak siapapun, tetapi membantu mereka untuk masuk dengan bekal yang cukup.
Gelarnya sama dengan sarjana negeri. Tetapi di hati dosen dan mahasiswa yang berproses dalam keberagaman, ada kisah yang tak tertulis di ijazah: usaha melewati tantangan, melintasi jurang perbedaan sosial, budaya, bahasa, material.
Akhirnya pertanyaan di udara menggema; Apakah kelulusan yang sama akan terasa bermakna jika saat di jalaninya ada yang harus menanggung beban berlipat, bergulat dengan rintangan yang tidak dipercayakan kepada yang lain? Apakah gelar itu menjadi pengakuan keadilan, atau sekadar cap seragam tanpa isi bagi sebagian? Apakah dosen, yang dianggap sebagai dirigen, tidak hanya menggiring ke arah satu tempo standar, tetapi juga mampu meresapi irama yang berbeda, tempo yang berbeda pada tiap mahasiswanya, agar keseluruhan simfoni pendidikan menjadi kaya, penuh nuansa, dan setia pada panggilan kemanusiaan?.
Pertanyaan-pertanyaan seperti menjadi sangat liar dalam benak dosen pengajar di perguruan tinggi swasta; namun mereka terbiasa dengan sunyi untuk mengabdi.
Biarlah senja itu menjadi saksi bahwa perguruan tinggi swasta yang harus memungut sisa-sisa remah-remah dari PTN “hawak”; karena menggunakan pukat harimau dalam menjaring calon mahasiswanya; berjuang menyamakan kualitas lulusannya agar sama dengan mereka, sementara bahan bakunya sisa mereka.
Lalu siapakah sejatinya yang pahlawan? Entahlah. Yang jelas pembedanya adalah kerja akademik dosen perguruan tinggi swasta saat ini menjadi jauh lebih berat. Namun yakinilah bahwa pendidikan tinggi adalah medan bagi manusia-manusia yang berbeda untuk tumbuh menjadi satu generasi yang tidak seragam dalam asal tetapi seragam dalam kepekaan, tanggung jawab, dan harapan, serta bersama menjaga negeri ini dari “para perampok berdasi”.