Pembenaran yang Tidak Benar

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Seorang filusuf pada abad pertengahan mengatakan: “Beribu kali kita berbuat baik, tidak akan membuat kita menjadi malaikat. Cukup sekali saja kita berbuat kesalahan, maka semua ora...

Pembenaran yang Tidak Benar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Seorang filusuf pada abad pertengahan mengatakan: “Beribu kali kita berbuat baik, tidak akan membuat kita menjadi malaikat. Cukup sekali saja kita berbuat kesalahan, maka semua orang akan mengutuk kita sebagai iblis. Oleh karena itu jangan tunjukkan pelangi kepada orang yang buta warna: itulah hukum dunia”.
Menghujam sekali makna kalimat itu ke dalam relung sanubari. Itu jika kita ingin sedikit berkontemplasi dalam memahaminya. Bagaimana tidak, karena justru sekarang kondisinya terbalik, yaitu berjuta kali membuat kesalahan, orang akan tertawa dan berucap “itu biasa”; namun begitu sekali berbuat baik, orang akan berkata “tumben dia begitu”. Apakah ini pembalikan atau perkembangan yang anomali. Semua kembali kepada kita yang memaknainya.

Perilaku buruk yang berlaku umum yang kemudian menjadi pembenaran, sebenarnya sudah ada sejak dunia ini terbentang. Kita bisa tilik dari sejarah bagaimana Kota Sodom dan Gomora yang melabelkan “biasa” untuk perilaku seksual yang menyimpang. Tuhan pun mengubur daerah itu dengan diletuskan gunung sehingga rata dengan tanah. Bahkan di suatu masa sampai Tuhan mengutus Nabi-Nya untuk membenahi penyimpangan perilaku manusia karena penyimpangannya. Semua itu menunjukkan upaya untuk membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah.

Coba kita perhatikan keadaan di sekeliling kita. Ternyata fenomena membenarkan yang tidak benar seakan muncul di setiap zaman. Dari hal-hal yang kecil dan remeh-temeh hingga persoalan besar. Hal itu selalu menghiasi lembaran dunia dan dilakukan oleh manusia sepanjang sejarah. Tidak memandang derajat, pangkat, bahkan tingkat pendidikan. Semua memiliki peluang yang sama untuk melakukannya.
Kini tampaknya pembenaran yang tidak benar betul-betul menjadi semakin benar adanya. Bisa dibayangkan orang yang tertabrak sebagai korban kelalaian orang lain, bisa menjadi terdakwa. Sementara yang menabrak hanya jadi saksi. Orang yang kecurian bisa menjadi terdakwa, sementara yang mencuri menjadi saksi. Sudah terbukti dia yang korupsi, orang lain suruh mengganti. Deretan ini akan makin panjang jika diteruskan. Semua rumusnya menjadi terbalik.

Seolah-olah kita diminta untuk melakukan metakognisi akan semua peristiwa di dunia ini, karena begitu saling berkait antara satu dengan yang lain. Tidak jarang enargi kita habis terkuras terhadap hal-hal yang tidak produktif, bahkan tidak perlu. Bisa dibayagkan jika perilaku seperti ini dilakukan oleh mereka yang sedang pada posisi memimpin. Akibatnya akan mewariskan luka traumatik kepada generasi penerusnya.

Pelanggaran HAM masa lalu, misalnya, itu adalah tidak lebih dari akibat pembenaran yang tidak benar pada masa itu. Akhirnya beban sejarah itu akan terus menjadi beban generasi penerusnya. Demikian juga seorang pimpinan tertinggi dari suatu institusi, karena “kebodohannya” melakukan pembenaran dari sesuatu yang tidak benar, kemudian terungkap oleh lembaga yang pekerjaannya memang mengungkapkan penyimpangan; maka jejak kebodohan itu menjadi beban sejarah kepada siapap un penerusnya pada lembaga itu. Lebih parah lagi catatan hitam itu terekam sebagai jejak digital, yang sampaikapanpun tetap bisa muncul ke permukaan. Tentu saja akibat lanjutnya adalah tercorengnya anak turun yang bersangkutan, karena rekam digital tidak mungkin dapat dihilangkan.

Bisa dibayangkan jika peristiwanya sangat fatal, akibatnya waktu yang dipakai untuk menghilangkan memori kolektif pada publik akan menjadi semakin lama. Apalagi jika ditambah dengan luasnya spektrum persebaran informasi akibat dari kemajuan teknologi masa kini. Akibatnya, “kenangan yang tidak menyenangkan” itu tersebar luas dan bertempo lama dalam memori baik individual maupun kolektif.

Pembenaran atas ketidakbenaran akan menoreh sebagai sejarah, baik sebagai individu maupun institusi. Torehan itu akan menjadi warisan yang membebani generasi. Perbaikan apa pun yang kita lakukan tidak akan mampu menghapusnya. Meski begitu, upaya kita untuk menghapusnya juga akan terekam sebagai sejarah. Oleh karena itu, tidak salah jika kita ingin sedikit menyimak pesan bijak orang-orang terdahulu yang mengatakan: “Suatu hari nanti kita akan menjadi kenangan bagi orang lain. Sebab itu, berusahalah sebaik mungkin agar kita menjadi kenangan yang terindah bagi siapapun”.

Selamat ngopi pagi.