Dilarang Menikah dengan Orang Satu Kampung

Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Beberapa waktu lalu pemerintah kota memberikan “klarifikasi” dari sesuatu hal berkaitan dengan “surat seorang sahabat” yang mencoba mengingatkan atas kekurangtepatan dalam mengambil keputusan karena memberi...

Dilarang Menikah dengan Orang Satu Kampung

Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati

Beberapa waktu lalu pemerintah kota memberikan “klarifikasi” dari sesuatu hal berkaitan dengan “surat seorang sahabat” yang mencoba mengingatkan atas kekurangtepatan dalam mengambil keputusan karena memberikan bantuan kepada lembaga yang tidak semestinya. Namun alih-alih klarifikasi itu meluruskan, justru membingungkan. Kebingungan itu sama halnya kita membaca judul tulisan ini, karena bisa jadi itu semua orang yang ada di kampung itu, atau bisa juga satu orang dari satu kampung itu. Dalam filsafat ilmu, kesesatan seperti ini dikenal dengan istilah “Terminus aequivocus” berarti “istilah yang ambigu” atau “istilah dengan makna ganda”. Karena istilah “sekampung” dalam frase itu mengandung lebih dari satu arti, dan bisa menyebabkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih lanjut.

Dalam zaman yang serba cepat, ketika informasi datang tanpa henti dan makna bergeser dalam tiap lintasan kalimat, seorang pemimpin dituntut untuk menjadi jangkar kebenaran. Ia bukan sekadar pengelola keputusan, tetapi juga penafsir realitas. Perannya tidak hanya pada tataran tindakan, tetapi juga pada level bahasa: bagaimana ia berbicara, menjelaskan, dan memberi arah melalui kata-kata. Di sinilah letak pentingnya kejelasan konseptual, terutama dalam menghindari penggunaan bahasa yang berada dalam wilayah terminus aequivocus.

Pada kerangka filsafat kontemporer, bahasa bukan lagi hanya alat menyampaikan maksud, tetapi juga arena pembentukan kekuasaan, realitas, dan relasi antarindividu. Maka, seorang pemimpin harus menyadari bahwa tiap kata yang diucapkan memiliki beban etis dan konsekuensi praksis. Ketika sebuah pernyataan memiliki makna ganda, publik dipaksa untuk menafsirkan, menebak, bahkan mencurigai. Hal ini membuka ruang bagi distorsi, manipulasi, dan keraguan yang merusak kepercayaan. Oleh karena itu, kejelasan dalam berbahasa bukan hanya soal retorika, tapi fondasi etika dalam kepemimpinan.

Ketika seorang pemimpin menyampaikan larangan, kebijakan, atau arahan, setiap istilah yang digunakan haruslah bersifat univokus, yaitu memiliki makna yang tunggal, jelas, dan tak menyisakan ruang bagi interpretasi yang membingungkan. Ini bukan berarti menghapus kedalaman bahasa, melainkan menyederhanakan agar pemahaman dapat diakses secara merata.

Sebuah kalimat seperti “dilarang menikahi orang sekampung” tampak sederhana, namun menyimpan potensi ambiguitas besar. Apakah larangan itu berdasar pada geografi, kekerabatan, atau tradisi adat?. Tanpa penjelasan yang tegas, frasa semacam itu membuka peluang perdebatan tanpa ujung.

Di sinilah letak tanggung jawab seorang pemimpin: bukan hanya membuat aturan, tetapi memastikan bahwa aturan itu dipahami sebagaimana dimaksud. Dalam filsafat kontemporer, pemahaman yang salah bukan hanya kesalahan penerima pesan, melainkan juga pengirim pesan yang tidak menyusun komunikasinya dengan akurat. Maka, kejelasan menjadi perwujudan tanggung jawab epistemik, bukan hanya keterampilan komunikasi.

Kepemimpinan yang lemah seringkali tampak dalam kegagalan mengelola makna. Pemimpin yang berkata “kita akan evaluasi” tanpa menjelaskan kriteria, waktu, atau objek evaluasi, sesungguhnya tidak sedang berbicara, tetapi menyembunyikan. Bahasa seperti ini bukan sekadar kosong, melainkan berbahaya. Ia memberi kesan ada tindakan, padahal tidak ada substansi. Ia menenangkan sementara, tapi menciptakan luka jangka panjang. Di sinilah bahasa ganda menunjukkan watak sesungguhnya: sebagai alat kuasa yang membingungkan, bukan membebaskan.

Namun demikian, kejelasan bukan berarti kesederhanaan yang dangkal. Pemimpin tidak boleh terjebak pada gaya komunikasi populis yang mengorbankan kedalaman demi kepuasan massa.

Kejelasan yang dimaksud adalah ketegasan makna: setiap istilah dipilih dengan kesadaran penuh atas sejarah, konteks, dan dampaknya. Ia berbicara untuk dipahami, bukan untuk disanjung. Ia menjelaskan untuk membimbing, bukan untuk mengaburkan.

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa realitas sosial terbentuk melalui konstruksi linguistik. Dalam dunia di mana batas antara fakta dan opini kian tipis, tugas pemimpin bukan hanya mengatakan hal yang benar, tetapi mengatakan kebenaran dengan cara yang tidak memungkinkan disalahpahami.

Pemimpin yang berbicara tentang “keadilan sosial”, misalnya, harus menjabarkan apakah ia berbicara tentang distribusi ekonomi, kesetaraan hukum, atau representasi politik. Tanpa itu, istilah tersebut menjadi sekadar slogan yang bisa ditafsirkan sesuka hati oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang ingin membelokkan maknanya untuk kepentingan sendiri.

Tantangan terbesar dalam kepemimpinan masa kini bukanlah mengambil keputusan saja, tetapi menjelaskan keputusan itu dalam bahasa yang jujur. Dalam dunia yang kerap penuh kepura-puraan, kejujuran bukan hanya soal niat, tapi juga soal struktur bahasa. Seorang pemimpin yang ingin jujur harus memastikan bahwa setiap istilah yang digunakan tidak menipu melalui ketidakjelasan. Ini adalah bentuk keberanian intelektual dan moral. Lebih mudah menyembunyikan di balik frasa ambigu daripada mengungkapkan kenyataan yang mungkin tidak populer. Tapi pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik kabut makna.

Seorang pemimpin harus memahami bahwa setiap publik yang ia pimpin memiliki tingkat literasi makna yang berbeda. Maka, ia harus menjadi jembatan, bukan menara gading. Kata-katanya harus inklusif secara semantik: tidak mempersulit, tapi juga tidak merendahkan. Ia harus mampu merancang komunikasi yang tidak membiarkan warganya tersesat dalam labirin kata yang tidak jelas. Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas apa yang ia katakan, tetapi juga atas bagaimana hal itu dipahami.

Pada akhirnya, kepemimpinan adalah seni membimbing dalam kegelapan. Dan dalam kegelapan, kata-kata yang jelas adalah cahaya. Pemimpin yang mampu memberi penjelasan tanpa menyisakan ruang untuk ambiguitas, telah memberi lebih dari sekadar informasi, tetapi ia telah memberi arah, ketenangan, dan harapan.