Jerat Hukum bagi Pejabat Humas dan Kominfo

Berita dugaan korupsi ditulis sebuah media lokal beberapa hari lalu: “Kadis Kominfo Kabupaten Pringsewu dan Rekanan Jadi Tersangka”. Dalam berita itu disebutkan bahwa sang kadis diduga berkongkalikong dengan rekanan untuk menggelembungkan...

Jerat Hukum bagi Pejabat Humas dan Kominfo
Ilustrasi

Berita dugaan korupsi ditulis sebuah media lokal beberapa hari lalu: “Kadis Kominfo Kabupaten Pringsewu dan Rekanan Jadi Tersangka”. Dalam berita itu disebutkan bahwa sang kadis diduga berkongkalikong dengan rekanan untuk menggelembungkan nilai proyek pengadaan bandwith.

Audit BPKP kabarnya menyimpulkan bahwa negara dirugikan hingga Rp317,2 juta.
Modusnya: penggelembungan  harga belanja bandwidth Pekon IT dan SKPD seharga Rp421 ribu setiap lokasi menjadi Rp1,7 juta/lokasi. Jumlah total berapa lokasi pekon dan SKPD yang dimaksud juga disamarkan, karena tidak tertuang dalam klausul kontrak.

Layak diyakini,  Kadis Kominfo Kabupaten Pringsewu hanyalah sedang apes. Karena ‘penyelewengannya kurang rapi’ dan mudah diendus pejabat pemeriksa keuangan dan penegak hukum, ia pun terancam ‘diantar ke penjara’ alias menjalani hukuman.

Mungkin Kadis Kominfo Pringsewu sedang apes saja. Sebab, selain dia layak diduga banyak Kadis Kominfo dan atau bawaha Kadis Kominfo yang melakukan kecorobohan yang disengaja dengan mempermainkan dana. Yang paling umum dan mudah diendus adalah dana untuk pos anggaran sosialisasi pembangunan dalam bentuk kerjasama/langganan koran/belanja iklan di media.

Memang, selama ini berapa besaran dana sosialisasi pembangunan di bidang kehumasan nyaris tertutup. Di Lampung, tidak ada satu pun Dinas Kominfo dan Bagian Humas yang transparan soal pengelolaan anggaran kehumasan dan kerjasama media.

Ketertutupan pemakaian anggaran kerjasama dengan media sudah terjadi selama bertahun-tahun. Karena nyaris tidak pernah ada media yang menyorotinya, maka semuanya terlihat ‘adem-ayem’ dan seolah tidak ada masalah. Padahal, kalau sedikit ditelisik, dugaan ketidaktepatan pemakaian anggaran kehumasan dan kerjasama dengan media akan dengan mudah terbuka. Selain besaran langganan koran (media cetak harian dan mingguan/tabloid), dana yang bisa dimainkan di Diskominfo adalah belanja iklan di media cetak/elektronik/online dan kerjasama sosialisasi pembangunan di media online.

Biaya langganan koran dan belanja iklan di media sudah lama kusut dan hingga kini sulit diurai. Namun toh sebagian besar kasus tidak muncul ke permukaan. Nah, dengan maraknya media online, masalah baru pun muncul: Humas dan atau Diskominfo harus pula langganan media online dalam bentuk kerjasama sosialisasi pembangunan.

Ketika kerjasama akan dilakukan dengan media, di sinilah masalah dimulai: pejabat Humas dan Diskominfo tidak tahu bagaimana melakukan proses seleksi media online yang layak diajak bekerja sama. Untuk menolak media online, mereka berdalih: susah pertanggungjawabannya karena berbeda dengan koran atau tabloid yang ada wujud fisiknya.

Kerap terjadi: pejabat Humas/Diskominfo tidak kuasa menolak permintaan kerjasama dengan media online karena pemilik media online itu adalah kenalan baik, kawan baik, kerabat, atau orang dekatnya kolega atau atasan. Alhasil, media online yang baru lahir, susunan redaksi tidak memenuhi syarat, dan perusahaannya tidak jelas pun diajak bekerja sama. Runyamnya, kerap terjadi, nilai kontrak media online macam itu disamakan dengan media online yang sudah lama eksis dan memenuhi syarat dari segi susunan redaksional, isi, dan bentuk perusahaan. Lebih runyam lagi kalau ada satu orang yang memiliki lima media online dan semuanya diajak kerjasama!

Bisa diyakini, di Lampung saat ini ada orang yang sengaja ‘beternak’ media online dengan tujuan untuk menangguk keuntungan dengan modus mendapatkan proyek kerjasama dan iklan dari Pemerintah Daerah. Tujuannya mendirikan banyak media online bukan untuk kepentingan membangunan media yang sehat dan memberikan pencerahan kepada masyarakat, tetapi semata-mata untuk mengibuli pejabat Humas dan Kominfo yang tidak paham tentang media online.

Sejauh ini pejabat Humas dan Diskominfo  di Lampung masih aman-aman saja dalam mengelola dana di pos sosialisasi pembangunan melalui media massa. Namun, ke depan kemungkinan mereka tidak bisa lagi berbuat sembrono dengan ‘membuang’ uang lewat kerjasama dengan media cetak dan media online yang tanpa kriteria yang jelas itu. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini sudah mulai rajin turun ke daerah. Yang sudah mendapatkan peringatan KPK misalnya  adalah para Kepala Humas/Kadis Kominfo di Provinsi Utara. Mereka mendapatkan peringatan karena hanya bekerja sama dengan media cetak. Itu pun tidak dengan ukuran atau persyaratan yang jelas.

Terkait pos anggaran sosialisasi pembanguna melalui media, sebenarnya para Kepala Humas dan Kadis Kominfo akan aman jika mereka punya ukuran yang jelas. Kalau tidak tahu, jangan bertanya kepada pemilik media sebab pemilik media tentu akan memberikan saran sesuai dengan kepentingan medianya saja.

Akan lebih baik jika para Kepala Humas dan Kadis Kominfo bertanya kepada lembaga yang menaungi media, yakni Dewan Pers atau lembaga yang memang selama ini konsentrasi pada masalah media. Itu kalau mereka tidak ingin kena jerat hukum terkait penyelewengan anggaran terkait pos anggaran belanja media. Tentu saja, bertanya kiri-kanan kepada yang lebih tahu tidak penting jika niat awalnya memang hendak kocok bekem dan mengakali anggaran.

Dewan Pers sudah tegas merekomendasikan agar media umum (artinya media yang didirikan untuk masyarakat umum dan kepentingan bisnis) bentuk perusahaannya harus perseroan terbatas (PT). Dewan Pers juga mengimbau agar media memiliki penanggung jawab dan alamat yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar media bertanggung jawab terhadap seluruh isi dan tidak menjadi media abal-abal atau media gelap yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan di laur masalah publik. Selain itu, media juga harus memiliki pemimpin redaksi yang kualifikasinya haruslah jurnalis senior dan sudah memiliki sertifikat sebagai wartawan utama.

Bagaimana dengan media online? Sama saja. Media online juga harus didirikan perusahaan berbadan hukum PT, ada penanggung jawabnya, dan pemimpin redaksinya berkualifikasi wartawan utama.

Selain syarat tersebut, pejabat Humas dan Kominfo yang hendak bekerja sama dengan media online juga ada baiknya memiliki data tentang peringkat Alexa dan Indeks Google. Kalau mereka tidak memiliki data Alexa atau data tentang trafik media online maka mereka akan susah dalam melakukan seleksi. Ujung-ujungnya, media online yang peringkatnya sangat buruk di Alexa dan Indeks Google-nya jelek justru diajak bekerja sama, sedangkan media online yang peringkatnya bagus dan pembacanya banyak justru diabaikan. Di sinilah jerat hukum itu berpeluang terjadi.

Oyos Saroso H.N., Ahli Pers Dewan Pers Wilayah Lampung