Kasus SPAM Kabupaten Pesawaran: Patologi dalam Kebijakan Publik

Kasus korupsi proyek SPAM di Kabupaten Pesawaran

Kasus SPAM Kabupaten Pesawaran: Patologi dalam Kebijakan Publik

Oleh Syarief Makhya

Kejaksaan Tinggi Lampung akhirnya menetapkan lima orang tersangka. Dalam kasus dugaan korupsi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pesawaran, Fenomena ini memperkuat argumen tulisan saya sebelumnya tentang kekuasaan kepala daerah yang terselubung  bahwa praktik korupsi kerap dipengaruhi oleh jaringan kekuasaan tersembunyi yang sulit dikontrol karena beroperasi dalam bayang-bayang otoritas formal.

Kasus SPAM bermula pada tahun 2021, ketika Pemerintah Kabupaten Pesawaran melalui Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) mengajukan usulan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik kepada Kementerian PUPR senilai sekitar Rp10 miliar. Usulan tersebut disetujui menjadi DAK Fisik bidang air minum tahun anggaran 2022 sebesar Rp8,2 miliar. Namun, kejanggalan muncul ketika pelaksanaan proyek yang semula menjadi tanggung jawab Dinas Perkim tiba-tiba dialihkan ke Dinas PUPR Pesawaran dengan alasan perubahan struktur organisasi (detik.com).

Ironisnya, Dinas PUPR menyusun perencanaan baru yang berbeda dari proposal awal. Akibatnya, pelaksanaan proyek di lapangan tidak sesuai dengan rencana yang telah disetujui Kementerian PUPR. Dugaan penyimpangan ini menimbulkan potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp7 miliar karena tujuan penggunaan DAK tahun 2022 tidak tercapai sesuai peruntukannya.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kendati secara substansi, kebijakan pembangunan SPAM sudah tepat yaitu tujuannya menyediakan akses air minum bagi masyarakat. Namun, dalam tahap implementasi terjadi penyimpangan serius yaitu  ada jurang antara tujuan kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan.

Patologi dalam Implementasi Kebijakan

Jika dianalisis dari aspek kebijakan publik, permasalahan ini muncul sejak tahap implementasi. Pada tahap formulasi, pemerintah daerah telah mengidentifikasi isu air bersih sebagai masalah publik dan merumuskan solusi melalui pengajuan DAK. Langkah ini tepat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Namun, dalam tahap implementasi, muncul distorsi yang krusial. Tanggung jawab proyek dialihkan tanpa dasar perencanaan yang kuat. Rencana teknis berubah dari proposal awal, dan pelaksanaan tidak sesuai dengan rancangan yang disetujui. Ketidaksesuaian ini menunjukkan lemahnya disiplin birokrasi serta adanya intervensi kekuasaan dalam proses administratif (detik.com).

Secara hipotesis, implementasi kebijakan publik di daerah ini terganggu oleh faktor jaringan kekuasaan tersembunyi (hidden power network). Kepala daerah dan pejabat terkait diduga menggunakan otoritas birokrasi untuk memanipulasi mekanisme formal kebijakan. Akibatnya, kebijakan publik berubah menjadi “instrumen rente” bagi elite politik dan birokrasi lokal.

Hubungan patronase antara kepala daerah dan dinas teknis inilah yang melahirkan praktik clientelism dan rent seeking. Fenomena ini menggambarkan apa yang disebut teori iron triangle — kolusi antara birokrat, politisi, dan pelaku bisnis yang melemahkan akuntabilitas publik.

Refleksi dan Pembelajaran

Kasus SPAM Pesawaran menjadi cermin penting bahwa desain kebijakan yang baik tidak menjamin hasil yang baik pula tanpa tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Ada kesenjangan besar antara substansi dan implementasi kebijakan. Tujuan mulia untuk menyediakan layanan air bersih justru gagal karena birokrasi dikendalikan oleh kepentingan politik.

Dengan demikian, kasus ini bukan hanya soal korupsi proyek, tetapi juga bentuk nyata dari patologi kebijakan publik di daerah  ketika kekuasaan tersembunyi mampu mengalahkan mekanisme formal pemerintahan. Ruang praktik rente kekuasaan pun terbuka lebar. Mengatasi hal ini tidak cukup hanya dengan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Pembenahan harus dimulai dari sistem tata kelola pemerintahan daerah secara menyeluruh.

Pertama, reformasi birokrasi untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas harus dilakukan secara nyata, bukan seremonial. Pengawasan independen dan sanksi tegas terhadap setiap pelanggaran menjadi syarat mutlak.

Kedua, perlu ada pemisahan tegas antara kepentingan politik dan birokrasi teknis. Kepala daerah tidak boleh menggunakan otoritas politiknya untuk mengintervensi proses teknokratis, terutama dalam pengelolaan proyek publik. Mekanisme meritokrasi dalam penempatan pejabat harus ditegakkan agar loyalitas birokrat berpihak pada kepentingan publik, bukan pada patron politik.

Penutup

Kasus SPAM Pesawaran memberi pelajaran berharga: kebijakan publik tidak akan pernah efektif tanpa integritas kekuasaan. Jaringan rente yang tersembunyi hanya dapat diputus melalui kombinasi antara sistem yang transparan, kepemimpinan yang berintegritas, dan partisipasi publik yang aktif. Selama kekuasaan masih bersembunyi di balik kebijakan publik, air bersih akan tetap ternoda  bukan oleh limbah, melainkan oleh kerak kekuasaan itu sendiri.***

*Dr. Syarief Makhya, M.Si, staf pengajar FISIP Universitas Lampung