Fenomena Dahlan Iskan dan Kekuatan Orang Indonesia

Endri Kalianda SIAPA saja yang belakangan mengikuti berbagai kasus kejahatan, terutama tindak pidana korupsi, kemudian memperbandingkan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Niscaya ikut kesal dan membenarkan masygul Radhar Panca Dahana. Dalam tuli...

Fenomena Dahlan Iskan dan Kekuatan Orang Indonesia
Dahlan Iskan (Ilustrasi/detik.com)

Endri Kalianda

SIAPA saja yang belakangan mengikuti berbagai kasus kejahatan, terutama tindak pidana korupsi, kemudian memperbandingkan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Niscaya ikut kesal dan membenarkan masygul Radhar Panca Dahana.

Dalam tulisan di Kompas berjudul Kriminalisasikan Bangsa Ini Radhar menulis: “…Hukum apa ini, ketika dengan mudah seseorang dicari-cari kesalahannya di sekujur hidup sosialnya hanya untuk mengurung, membungkam, dan menunjukkan kuasa dari penyelenggara negara, yang sepatutnya dan sepatutnya(!) tidak memiliki posisi jangankan untuk adigang adiguna (sok hebat sok kuasa) bahkan sekadar sombong sedikit saja.”

Keprihatinan Radhar itu, dijawab Albert Hasibuan dengan tulisan Politik Pembaruan Hukum dimuat Kompas juga; “Dari tulisan itu saya mendapat kesan bahwa dia (Radhar) sudah berada dalam tahap keprihatinan dan kecewa terhadap perkembangan hukum akhir-akhir ini. Radhar kecewa karena hukum tidak lagi menciptakan keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan masyarakat.”

Mendadak, saya ingat dua tulisan itu ketika mengikuti kasus Dahlan Iskan. Kemudian, sederet kasus lain, bisa kita tambahkan dengan mudah. Orang-orang yang kebetulan sedang tidak berkuasa atau bahkan akan berkuasa, tiba-tiba jatuh dalam skandal yang secara masif, semua masyarakat memberikan pengadilan si fulan koruptor, si fulan makan uang rakyat dan berbagai laku jahat lainnya. Lewat media resmi maupun medsos komentar-komentar yang memberikan pengadilan dan memblejeti serta menghabisi integritas seseorang, termasuk yang mati-matian membela juga menjadi perbalahan.

Mari kita ulas satu persatu. Pertama, Dahlan Iskan. Kedua, Anas Urbaningrum. Ketiga, Abraham Samad. Keempat, sampai tak terbatas, bisa ditambahkan sendiri sesuai dengan kelompoknya masing-masing.

Ah, tidak, tidak, saya hanya akan fokus pada yang pertama. Soal Anas dan Abraham Samad, bisa dilacak secara mudah bagaimana pembelaan pendukungnya dan kenapa keduanya terguling dari peta tokoh nasional. Namun Dahlan Iskan, ini sangat menarik. Terutama ketika memperbandingkan dengan ketokohan dan kariernya di pentas nasional. Lalu terpuruk sebagai tersangka dan divonis bersalah. Penjara dua tahun.

Siapa pun orang seusia saya atau bahkan di atas saya, yang lahir di era 80-90an, yang pernah mempelajari dunia jurnalistik, terutama agar paham bagaimana dapat liputan mendalam dan berimbang dari sebuah bencana pasti disodori tulisan “Neraka 40 Jam di Tengah Laut.” Sebuah pencapaian yang indah dan mendalam. Orang bodoh model saya yang punya keinginan bisa menulis, sangat mengagumi karya itu. Secara tegas saya berani menyebut, itulah contoh karya jurnalistik berkualitas.

Sebuah pencapaian karya jurnalistik yang jika kita bandingkan dengan produk-produk saat ini, masih tetap relevan dan bisa disebut, jauh lebih baik. Tulisan yang naik cetak di Majalah TEMPO Edisi. 50/X/07 – 13 Februari 1981 itu, benar-benar menggugah, menyodorkan kematangan liputan dan sekaligus menunjukkan kegigihan seorang wartawan yang sangat ketat dan disiplin melakukan konfirmasi. Tanpa secara banal, eksploitatif atas bencana dan mendeskripsikan kematian, kisah yang disampaikan lewat berita tragedi kebakaran kapal Tampomas II itu, benar-benar menguras air mata. Membawa pembaca terlibat dan secara pasti, berdecak kagum, bagaimana reporter melakukan liputan dan mewawancarai banyak nara sumber dengan detail ketika saya belum lahir yang otomatis, Dahlan Iskan belum punya ponsel?

Kita yang lahir di atas 80-an pasti akan secara mendalam kemudian mempertanyakan, benarkah itu karya Dahlan Iskan, bos Jawa Pos itu? Menteri BUMN yang sangat populer dan punya kinerja pembaharuan itu? Mantan menteri yang sering “ngamuk” dan banyak membuat perubahan mendasar di banyak perusahaan yang statusnya BUMN?

Mari kita diskusikan. Dahlan Iskan, meski banyak yang memuji, beberapa teman saya cukup tajam menyorot langkah-langkah kinerjanya yang dianggap terlalu politis, mengejar popularitas dan berbagai caci maki lainnya. Namun satu hal yang pasti, Dahlan Iskan membuat banyak orang marah. Terutama orang-orang hebat yang terbiasa dengan kemapanan.

Siapa pun yang paham dengan dunia BUMN, bagaimana proses menjadi capeg, sampai staf, duduk di kandir, apalagi sampai pada posisi manajer atau jajaran direktur, apalagi BUMN yang dikenal “basah”. Pintar saja tidak cukup. Namun demikian, kemampuan membangun jejaring atau lahir dengan networking yang sempurna untuk nepotisme saja juga tidak cukup. Harus punya dua kemampuan itu sekaligus. Pintar sekaligus berjejaring.

Capeg yang hanya punya kepintaran, bisa terkubur di labirin BUMN dan terpaksa, ikut terlibat bagaimana sebatas mendapat keuntungan. Ini jika BUMN semacam Pelindo, Garuda, Jasa Marga, Bank, Pertamina atau semacamnya.

Kalau model perkebunan, bisa terkubur di Afdheling paling dalam, nun jauh di tengah kebun yang terasing dari permukiman warga.

Berbanding terbalik. Kalau sudah mencapai level manager apalagi di jajaran direktur, pasti sudah sibuk dengan urusan golf, tenis dan rapat-rapat untuk semakin menguatkan relasinya. Saya hanya akan bilang, maaf, jajaran pejabat di BUMN itu mesti korup. Hadirnya orang model Dahlan Iskan, bukan saja menambah keuntungan perusahaan yang biasa rugi namun pejabatnya kaya raya. Apalagi, sosok Dahlan Iskan menjadi media darling, “ngamuk-ngamuknya” yang menampar wajah direktur yang kerjaannya di restoran mewah, golf dan berbagai permainan mahal. Mesti membuat pelayanan pada rakyat yang melelahkan, merugikan dan tentu saja, tak terbiasa memberi keuntungan bagi negara yang pasti dianggap “abstrak” itu.

Bayangkan, ketika masih jadi capeg (calon pegawai) mereka mesti sabar dengan plonco senior, loyalitas yang artinya diperbudak atasan, tentu hal itu akan terwariskan turun temurun. Begitu baru menikmati jadi direktur, hadir orang model Dahlan Iskan yang mewajibkan kinerja dibanding kemampuan menjilat. Ini anomali dan pasti ada “bertumpuk-tumpuk” kebencian, kesumat yang hanya menunggu momentum untuk membalasnya.

Dahlan Iskan mungkin tidak sadar kondisi ini. Memperbaiki manajemen dan membuat perusahaan BUMN untung, menambah pemasukan untuk negara model token PLN itu, berarti meniadakan setoran pada yudikatif, eksekutif dan aparat penegakkan hukum lain (sebut saja oknum pejabat di TNI/Polri). Belum lagi bagi kekuatan parpol yang ada di parlemen. Menteri BUMN model Dahlan Iskan, mungkin berpikir memajukan perusahaan swasta yang memang dituntut punya kemampuan yang sesuai keahlian. Dia lupa kalau proses sejak penerimaan pegawai, jauh berbeda dengan perusahaan swasta. Termasuk karier karyawannya.

Nah, ketika ada kesumat dari orang yang sudah berazzam sebagai musuh, mencari-cari cara untuk menyerang, tak ada manusia yang bisa mengelak dari penyerangan itu. Konteks terbunuh atau selamat saja yang membedakan. Kalau waspada dan punya perisai diri yang baik, tentu akan lolos dari serangan. Saya sebenarnya tidak yakin, orang model selebritas punya kemampuan benar-benar suci. Apalagi ada adagium al insanu mahallul khatha wannisyan yang artinya kurang lebih, manusia tempatnya salah dan khilaf. Namun jika mengukur kadar kesalahan untuk menghabisi integritas seseorang hanya dengan kasus-kasus yang terkesan dipaksakan, maka yang lahir adalah kedzoliman.

Dan ketahuilah, saat ini saya sangat meyakini, doa Dahlan Iskan sangat ijabah. Sebab, sangat kentara beliau didzolimi dengan kriminalisasi.

Kalau membaca teks lengkap eksepsi Dahlan Iskan, siapa pun yang punya perasaan akan tergetar ketika sampai kalimat ini. “16 tahun yang lalu, Yang Mulia, 16 tahun yang lalu. Saat para jaksa ini mungkin masih remaja. Saya diminta untuk membenahi perusahaan daerah Jatim yang lagi sakit.”

Kasus Dahlan Iskan ini tak bisa dibiarkan. Namun demikian, kita mesti sampai pada pemahaman, karakter orang Indonesia.
Ya, Dahlan Iskan banyak disebut, orang Indonesia yang punya etos kerja dan disiplin tinggi. Dia punya kegigihan sekaligus kesederhanaan. Punya semangat memajukan sekaligus empati teposeliro yang agung. Tulisan-tulisannya sangat jernih dan siapa pun yang membaca, mengikuti ide-ide yang dilontarkan, serasa punya daya serta tersuntik energi baru untuk benar-benar menepuk dada, bersyukur sebagai orang Indonesia.

Akhir 2016, orang Indonesia yang sudah punya internet dalam genggaman, bisa mengakses informasi serta data apa pun yang diinginkan, semua bisa didapat secara mudah. Namun di sisi lain, orang Indonesia masih ada yang duduk-duduk minum kopi bareng, tertawa terbahak-bahak membingkai perbincangan tentang banyak hal. Mereka masih bisa bisa bebas kongkow, mengakrabi teman dan tetangga dengan cara yang khas perdesaan. Saya hanya ingin bilang, defenisi orang Indonesia itu–meminjam istilah Mbah Nun–mampu mutakabirin terhadap penderitaan. Pandai mengutuki diri sekaligus punya daya survival di luar batas kewajaran manusia. Tak ada makanan yang lazim akibat melarat, bambu muda pun bisa diolah jadi makanan.

Singkong beracun model gadung, yang bisa mematikan jika dimakan, bisa disulap jadi kerupuk yang gurih dan lezat. Begitu seterusnya. Tidak ada yang meragukan daya tahan orang Indonesia terhadap berbagai penderitaan, keterbelakangan, menerima keunggulan liyan, bahkan ketika dijajah. Orang Indonesia bisa tetap tertawa dan tabah.

Memang, kebanyakan orang Indonesia tak tahan ketika diuji dengan kekuasaan dan kekayaan. Sebab, ada upaya bangkit dari kaula menjadi gusti, ini sebenarnya penyakit di hampir semua jenis manusia di belahan dunia manapun. Namun potret kriminalisasi yang terjadi sejak Indonesia masih belum menjadi republik, karakternya tetap, untuk menghabisi integritas “ancaman” kekuasaan seseorang.

Saya membayangkan, bersatunya orang-orang yang didzolimi model Dahlan Iskan untuk benar-benar secara khusuk mendoakan negeri ini dari ancaman kerusakan yang luar biasa parah dan terjadi di semua lini. Membayangkan kejadian yang menimpa orang-orang yang dikriminalisasi dan memang dihukum karena berbuat kriminal, yang kecil-kecil model maling atau terjebak narkoba yang begitu keluar penjara justru semakin parah laku kriminalnya, kita mesti segera memperbaiki minimal dengan doa. Bahwa ada yang salah dengan penegakan hukum di negeri ini.

Saya pernah mendengar bagaimana seorang jaksa dengan mudah memainkan pasal hanya lewat telepon karena kenal dekat dengan terdakwa lantaran hakim dan beberapa jaksa yang menangani kasus itu satu angkatan.

Saya juga pernah mendengar kasus, ada orang yang bebas dari jeratan meski secara hukum layak diganjar penjara karena penyidiknya, dihubungi bekas komandannya. Memang agak terlalu dini menyebut tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Mungkin lebih tepat, jejaring dan nepotisme yang lebih mampu mengendalikan hukum. Hal ini bisa dilihat dari mulai proses rekrutmen jaksa dan hakim, misalnya. Siapa berkuasa dan siapa yang sedang tidak berkuasa. Yang mungkin saja, sah-sah saja untuk mengamankan kekuasaan agar bisa bekerja secara leluasa. Persoalannya, apakah benar-benar keleluasaan itu untuk melayani masyarakat dan benar-benar membangun kedaulatan negara dan rakyatnya? Atau untuk keuntungan pribadi-pribadi penguasa?

Tulisan ini sudah saya buat sejak Dahlan Iskan mulai disidangkan. Namun saya peram untuk menemukan momentum yang tepat kapan saya posting di pesbuk. Pas bulan Ramadan ini, izinikan saya bersuara dari lubuk hati yang paling dalam sebelum salat witir. Pak Presiden Joko Widodo, apa panjenengan tidak melihat kedzoliman ini? Atau justru Anda yang merekayasa kasusnya?

Pak Dahlan Iskan, Allah tidak tidur. Percayalah, Allah telah memilih panjenengan untuk menunjukkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Bisa jadi, lewat panjenengan banyak bobrok di negeri ini terkuak. Semoga Allah menolong panjenengan. Amien.