Negeri yang Terkoyak

Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Syahdan dalam cerita babad Alengkadiraja, Rahwana duduk di singgasana dengan geram, saudara, adik, dan anak anaknya telah gugur di medan perang. Adiknya, Kumbokarno dan Sarpo Keno...

Negeri yang Terkoyak

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Syahdan dalam cerita babad Alengkadiraja, Rahwana duduk di singgasana dengan geram, saudara, adik, dan anak anaknya telah gugur di medan perang. Adiknya, Kumbokarno dan Sarpo Kenoko, telah mati. Pamannya, Patih Prahasto, telah mati. Tiga anaknya, Tri Netro, Tri Sirah, Tri Kaya, juga sudah mati. Bahkan, berita terakhir, anak andalannya, yakni Raden Begananda yang terkenal dengan nama Raden Indrajit, telah gugur pula di medan laga. Habis sudah kekuatan dan prajurit Alengka. Dengan marah, majulah Rahwana ke medan pertempuran, ditemani Senopati Pengapit, Patih Kala Mentani dan Kala Maruta.

Kala Maruta adalah raksasa yang pernah menjadi “Kijang Kencana” untuk menggoda Dewi Sinta di hutan agar lepas dari perlindungan Lesmana.  kemudiaan Dewi Shinta diculik oleh Rahwana, yang menyebabkan peperangan “Giantoro” ini. Patih Kala Mentani perang melawan Hanoman, kemudian gugur karena kepalanya dihantam dengan batu. Kala Maruto mati dipanah Raden Lesmana dengan pusaka anak panah “Ny. Sarutomo”.

Tinggal berhadap-hadapanlah Rahwana dengan Rama Wijaya. Rahwana “tiwikrama” menjadi raksasa tujuh gunung. Rahwana punya nama lain Dasamuka. Dasa berarti sepuluh, muka berarti wajah. Maka, muncullah raksasa dengan sepuluh wajah. Namun demikian, Rama Wijaya adalah titisan Dewa Wisnu. Segera ia mengimbangi, “tiwikrama” menjadi raksasa seperempat jagad. Kedua raksasa bertarung.  Bumi menjadi seperti terjadi gempa yang mengerikan. Karena sama kuat, kemudian “badar” muncul bentuk asli masing-masing. Gunawan Wibisana pun menyarankan kepada Rama Wijaya untuk segera menyudahi pertempuran, karena kasihan kepada rakyat jelata, yang banyak menjadi korban.

Maka, segera Rama Wijaya mengeluarkan senjata pamungkas berupa panah Gowa Wijaya juga disebut Panah Gowa Bumi. Seperti kilat, panah meluncur dan menancap di dada Rahwana. Sebelum ia sempat bergerak, tampak di langit Hanoman membawa Gunung “Pangrungunan” yang dijebol, kemudian ditindihkan ke jasad Rahwana. Gugurlah Rahwana. Namun demikian, sebenarnya Rahwana tidak hidup dan tidak mati. Hidup tidak, mati tidak.
Maka, kadangkala, kumara atau arwah atau jiwa Rahwana sering keluar dari jasadnya untuk masuk ke jiwa-jiwa manusia, yang berperilaku seperti ketika Rahwana hidup. Arwah Rahwana berteriak-teriak, bahwa Dewa telah ingkar janji. Janji Dewa, Rahwana manusia paling sakti, tidak ada manusia yang sama, tidak ada manusia yang bisa mengalahkannya.

Lalu, kenapa dia kalah melawan Rama Wijaya? Berarti Dewa telah berbohong? Jawab Raja Dewa, Sang Hyang Pramesti Bathara Guru: Rahwana tidak kalah melawan Rama Wijaya. Rahwana Tidak kalah melawan manusia. Rahwana kalah melawan kera putih. Rahwana kalah melawan Hanoman. Resmilah dari saat itu Kerajaan Alengka hancur karena keserakahan rajanya akan nikmat yang selama ini telah diberikan kepadanya.

Cerita di atas banyak tamsil yang dapat kita petik. Pertama, pemimpin seperti Rahwana yang bermuka sepuluh itu, melambangkan bagaimana pemimpin yang memiliki muka seperti itu dalam pengertian abstrak. Ia terkadang tampak seperti pemuka agama yang alim, tetapi baru saja menjadi eksekutor sadis dengan memberhentikan orang dari pekerjaan hanya karena terindikasi kepentingan politiknya terganggu. Bukan atas dasar profesionalisme. Maka, jadilah dia lalim. Ada lagi seorang “empu” pada bidangnya yang menjadi inisiator berdirinya suatu program andalan. Namun, karena ada kroninya yang masuk kelembaga itu, maka Sang Empu dipaksa mundur melalui orang suruhannya. Orang suruhannya manut melaksankan perintah karena takut periuk nasinya terguling. Terkadang tampak sebagai dermawan walaupun uangnya dari hasil merampok, pembangunan rumah ibadah dikedepankan walau harus melibas wakaf orang. Peraturan dibuat sebagai sistem sedemikian rupa yang hanya menguntungkan diri dan kroni, akibatnya terbangunlah tirani akademik yang masif.

Perilaku Dasamuka seperti ini memang mengerikan, karena manakala mendapatkan nikmat, inginnya sendirian, begitu mendapatkan kesulitan inginnya ramean. Bisa dibayangkan Dasamuka yang sudah punya istina kerajaan Alengkadiraja, masih ingin meminta kepada Dewa untuk menguasai Kayangan. Sementara saat ditimpa Gunung oleh Hanoman, mulutnya tidak henti hentinya menghujat dan menyebutkan siapa siapa saja yang ikut menikmati harta Alengkadiraja.

Kedua, pada awalnya Dasamuka adalah biasa biasa saja, sebelum mendapat waris menjadi raja Alengka dari ayahnya, dia adalah orang muda yang rajin berguru, bahkan kalau ukuran sekarang mungkin sampai jenjang doktor. Namun begitu diberi amanah untuk menjadi raja Alengka, di sana kelihatan watak aslinya bahwa dia adalah orang yang lalim, tamak, dan serakah.

Dari dua itu saja kita sudah mendapatkan tamsil betapa manusia jika sudah menggenggam kekuasaan, sering bertindak tidak sesuai dengan hakekat kekuasaan itu sendiri. Jubah agama justru dijadikan alat legalitas dari perbuatannya, sehingga dari jauh aroma surga. Namun, begitu dekat ternyata aroma bangkai lebih menyeruak. Semua ini karena libido ingin kaya mendadak, terkenal mendadak, berkuasa mendadak; berakibat masuk penjara mendadak.

Rasanya tidak adil jika kita menghakimi Dasamuka dengan segala macam kejelekannya. Ada sisi lain yang mungkin terkategori positif. Rahwana atau Dasamuka ternyata mampu mempersonifikasi cinta Dewi Sinta kepada Sri Ramawijaya. Hal ini dibuktikan dari pesan Sinta melalui Hanoman bahwa yang berhak menjemput dirinya adalah suaminya, bukan utusannya. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab personal adalah bentuk eksistensi hubungan suami istri yang tak tergantikan.

Benar kata penganut sufi yang memberi ingatan kepada kita: Berdamailah dengan hati. Apa pun yang kau benci, tidak harus kau jauhi. Apa pun yang kau cintai, tidak harus kau miliki. Karena Tuhan pemegang kekuasaan tertinggi, yang maha mengetahui mana pilihan terbaik untukmu.

Mari kita berhikmat untuk dapat memetik pelajaran dari apapun peristiwa di muka bumi ini; karena apa yang di gelar oleh Tuhan, dan apa yang diciptakan itu pasti ada guna dan manfaatnya. Orang yang bijak adalah orang yang mampu memetik kebaikan dari suatu keburukan. Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu melihat kekurangan di dalam kelebihan. Orang yang celaka adalah mereka yang tidak mampu mengambil hikmah dari apa yang ada. Orang yang beruntung adalah mereka yang selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya.

Selamat ngopi pagi sambil menerawang negeri….