Dua Buku Master Satra Lampung Udo Z. Karzi
Djadjat Sudrajat Saya amat bahagia menerima kiriman dua buku dari Udo Z Karzi: “Kesibukan Membuat Sejarah” (puisi) dan “Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis” (prosa). Bahagia karena pertama ia sosok yang amat tekun d...

Djadjat Sudrajat
Saya amat bahagia menerima kiriman dua buku dari Udo Z Karzi: “Kesibukan Membuat Sejarah” (puisi) dan “Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis” (prosa). Bahagia karena pertama ia sosok yang amat tekun dan konsisten menekuni sastra.
Kedua, Udo sangat “setia” menekuni sastra yang berbasis pada kultur Lampung. Geografi yang pernah menjadi bagian hidup saya, yang juga saya cintai. Ketiga, karena lama tak bersua dengan Udo. Mungkin ada 10 tahun. Saya ikuti aktivitasnya lewat media sosial.
Saya dan Udo memang pernah sama-sama di surat kabar “Lampung Post”. Saya, dengan dukungan Udo, menggagas “Lembar Bahasa Lampung” yang terbit sepekan sekali. Bekerja sama dengan Jurusan Bahasa Lampung, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Saya dengar kemudian jurusan ini ditutup karena sepi peminat.
Bersama Udo dan beberapa teman di “Lampung Post” kami juga menerbitkan buku “100 Tokoh Ternama Lampung” (2008). Terbit untuk memaknai 100 tahun Kebangkitan Nasional”. Ini menjadi buku lokal terlaris di Gramedia Lampung. Saya mendengar kabar, dulu, buku ini diajarkan di beberapa sekolah di Lampung, untuk memberi ispirasi dan motivasi pada siswa. Karena 100 tokoh ini dari beragam profesi dan latar belakang. Bagus juga jika buku ini direvisi-diperbaiki dan diterbitkan ulang.
***
Nama aslinya Zulkarnain Zubaeri. Udo Z Karzi adalah nama samarannya. Tapi justru nama tak resmi ini menjadi keberuntungannya. Sarjana Ilmu Pemerintahan Fisip Unila ini sangat produktif dan namanya pun menasional. Sastrawan asal Liwa, Lampung Barat 12 Juni 1970 ini, menulis sastra dwibahasa: bahasa Lampung dan bahasa Indonesia.
Mungkin ia sastrawan Lampung yang amat produktif selain Isbedy Stiawan Z S yang lebih senior. Saya punya amsal untuk keduanya, “Kalau pun langit akan runtuh” mereka tak akan bergeser sejengkal pun. Mereka akan tetap menulis sastra.
Tapi memang, Lampung adalah geografi yang subur melahirkan sastrawan/penyair. Selain Isbedy dan Udo, beberapa di antaranya Iwan Nurdaya Djafar (juga penerjemah andal), Iswadi Pratama, almarhum Ahmad Yulden Erwin, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Panji Utama, dan Fitriyani. Mungkin karena tinggal di “Negeri Penyair”, Oyos Saroso H N betah banget di Lampung. Sekian puluh penyair yang lebih muda, juga tengah bertumbuh di Lampung.
Udo telah menulis puluhan buku dan puluhan buku pula telah ia editori. Saya pernah pula memberi kata pengantar pada salah satu bukunya, “Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh” (2012). Kumpulang kolom yang ditulis dengan dialog yang segar; yang bersumber dari akar tradisi lisan yang kuat.
Udo lahir 1970 di Liwa Lampung Barat, salah satu wilayah pusat budaya Lampung. Ia memang amat setia bersastra dengan pijakan budaya Lampung. Udo tiga kali menerima “Hadiah Sastra Rancage” untuk tiga genre berbeda. Pertama kumpulan puisi “Mak Dawak Mak Dibingi” (2007), novel “Negarabatin” (2016), dan kumpulan cerpen “Minan Lela Sembambangan”.
***
Saya tak akan mengulas kedua buku Udo, penjaga gawang sastra dan budaya Lampung ini. Hubungi saja penulisnya atau penerbitnya. Beli dan baca.
Terima kasih, Zul. Eh, Udo*