Drama Antigone Karya Sophokles (6)
Antigone di depan mayat Polyneices. (dok Wikipedia) Penerjemah: Rendra KOMMOS PADUAN SUARA Kekuatan apa gerangan yang mengisi pipi gadis itu? Yang lembut dan merah jambu, yang mampu menyelam lautan yang memberi bumi seribu mimpi. Le...
| Antigone di depan mayat Polyneices. (dok Wikipedia) |
SUARA
apa gerangan yang mengisi pipi gadis itu? Yang lembut dan merah jambu, yang
mampu menyelam lautan yang memberi bumi seribu mimpi.
dirundung asmara, lupa akan dirinya, lupa tugas dan lupa agama, lupa bapak dan
lupa keluarga.
mata yang jeli memutus ikatan keluarga. Hancurlah sudah undang-undang dan
putera telah menentang bapak.
kini, bencana tidak tertahan lagi. Air mataku meleleh ke pipi. Antigone,
ranjangmu ngeri, ranjang batu di kubur sepi.
aku, dengan denyut hidup. Masih kuat di dalam jantungku. Aku melangkah menuju
akhir perjalananku sambil kulihat untuk akhir kalinya, cahaya sang surya. Belum
kawin dan masih dara, belum pernah kudengar mantra perkawinan dinyanyikan. Kini
dewa maut naik bahtera menjemputku bagai mempelai laki-laki, ia bimbing
tanganku ke seberang sana.
SUARA
punya hiburan utama, kamu mati menurut pilihanmu. Dengan segenap kesegaran,
tanpa disentuh penyakit, tanpa ternoda senjata.
mati, aku akan menjadi batu di dalam kuburku. Patung yang termenung di goa batu
karang ditumbuhi lumut, dilingkar semak dan belukar.
SUARA
bermimpi menjelang mati. Jangan harapkan jadi dongengan. Jangan coba jadi
pahlawan.
kamu menghina tanpa menunggu ajalku tiba. Apa tak ada kelapangan hati bagi
orang yang akan mati? Wahai Thebes, kotaku! Wahai teman-temanku! jadi saksi
hari ini, aku akan mati tanpa dihormati. Tak ada orang memberi pembelaan, meski
ada korban ketidak adilan. Kuburanku goa batu, tidak hidup tidak mati menjerat
hidupku.
SUARA
benar menurut alam, kamu salah menurut raja. Betapapun nyatanya kamu celaka.
barangkali, kami kira, kamu menanggung karma dari orang tua.
lagi bicara soal karma. Wahai, betapapun inilah kenyataannya. kini, karma
keluarga terbentang semua. Dinasti kami dahulu jaya, berjasa dan juga perkasa.
Sampai tiba-tiba semua itu musnah dikutuk dewata.
kawin dengan anaknya sehingga lahir diriku dalam dosa. lalu Polyneicies
saudaraku, mati bernoda, jenazah dihina menyeret aku ke dalam bencana.
SUARA
utama mengurus mayat saudara, tetapi peraturan raja harus diturut pula. kamu
turuti maumu sendiri, letak salahmu ada di sini.
kini tak ada temanku, tak ada orang meratapi, tak ada keluarga mengurus.
Selamat tinggal, wahai mentari.
tak kuhentikan ocehan ini, tak akan ada habis-habisnya. Jangan kita membuang
waktu, ia harus segera disingkirkan! Singkirkan dia! Seperti yang telah kuperintahkan.
masukkan dia ke dalam goa bawah tanah, lalu tutuplah ia hidup-hidup di situ.
Selanjutnya terserah pada kesaktianku bisa hidup atau harus mati. tanganku
tetap tak ternoda, semata-mata aku hanya mengucilkannya dari dunia.
goa itu yang setengah mirip kubur, setengah mirip kamar pengantin. Akan menjadi
pembungkus jasadku. Itulah pintu gerbangku untuk masuk ke dunia seberang sana,
di mana akan bisa kujumpa ayah, bunda dan seluruh keluarga. Kerna aku buntut
bencana, maka ceritaku berlipat ganda.
belum puas aku jalani, setidak-tidaknya di akherat sana, aku akan disambut
gembira oleh orangtua dan saudaraku. Ketika mereka wafat, akulah yang
mensucikan jasad mereka. tapi kini kerna aku sucikan jasad Polyneiceis,
beginilah jadinya. Lantaran menurut Creon aku membangkang, maka hilanglah
kesempatanku untuk beranak dan bersuami. Diseret ke goa menuju kematian. kini
satu saja hasratku; aku ingin bertanya apakah yang telah aku lakukan hingga
bisa disebut dosa?
apa gunanya bertanya pada dewa? Apapula gunanya menginsyafkan sesame manusia!
rupanya, upah kebajikan adalah kejahatan. Apabila memang begitu pendapat dewa
tentang kesulitanku, maka aku memohon mati. Aku memang bersalah….tetapi bila
ternyata menurut dewa, Creon yang salah, aku mohon semoga ia menderita bencana
yang sama berat dengan deritaku.
SUARA
masih yakin dan bergelora, ia percaya pada kebenarannya…
kalian diam saja. Seret dia dari sini!
mati sudah berbunyi…
SUARA
berharap. tabahkan hati, hukumanmu sudah pasti!
semua menjadi saksi. kamu tidak buta dan tuli. Bila kamu tidak berdaya, akuilah
dan kenangkan saja…
SUARA
yang malang. Sudah begitu nasibmu. Sia-sia kau tentang, sejak dulu sudah
begitu. Bukan hanya kamu seorang korban nasib sudah beribu. Tidak bisa ditahan
karang, bila nasib sudah menyerbu.
IV
TEIRISIAS
wakil rakyat Thebes, aku datang…Aku yang punya empat mata dan buta separuhnya!
yang tua, kamu datang ada apa?
dengar dan aku akan bicara. Aku tak pernah berdusta.
tak pernah menuduhmu begitu. Malah sebaliknya aku percaya padamu.
Dengan begitu kamu bisa selamatkan negaramu.
memang nasehat-nasheatmu selalu berguna.
dengar. Kamu berada diambang bencana.
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri semua.
pikir selama ini kamu tidak eprnah salah!? Tapi tidak bagiku. Aku pergi ke
tempatku bertapa di bawah langit terbuka, sehingga gampang aku membaca suara
burung-burung di udara.
itu aku kedatangan segerombolan burung yang tak cocok dengan musim. Galak,
liar, kebingungan, bagaikan api, mereka berjeritan. Aku dengar mereka saling
bertengkar dan bercakar. Aku pun menjadi takut dan gemetar.
aku sajikan korban di alatar. tetapi tak menyala waktu kubakar, yang keluar
hanya asap lembah . Empedu binatang korban meledak di api dan tak ada lemak di
tulang kaki. Pembantuku melaporkan semua ini dan inilah tafsiranku. Thebes
terkena bencana dan bencana itu dari kamu datangnya.







