Bintang di Ufuk Kelam
Syamsul Arifien* Jika urusannya menyangkut pembelaan diri dan pertahanan pertahanan, apapun bisa dilakukan. Kesalahan sebesar gunungpun sebisa mungkin ditutup-tutupi kabut kamuflase pembalik keadaan sehingga tampak sebagai indahnya pemandangan. Mak...

Syamsul Arifien*
Jika urusannya menyangkut pembelaan diri dan pertahanan pertahanan, apapun bisa dilakukan. Kesalahan sebesar gunungpun sebisa mungkin ditutup-tutupi kabut kamuflase pembalik keadaan sehingga tampak sebagai indahnya pemandangan. Maka seorang pencuri sandal jepit sekalipun, rela dirinya babak belur dipukuli dalam interogasi petugas keamanan, demi harapan bisa terlepas dari ancaman hukuman.
Demikianlah, sejahat-jahatnya manusia di dalam lubuk hati yang paling dalam sejatinya tetap merindukan kebaikan dan kebenaran. Membela diri dari kesalahan maupun kejahatan pada sisi tertentu bisa dipahami sebagai ikhtiar untuk menjadi orang baik dan orang benar. Meskipun dalam konteks berlindung menutupi kesalahan dan kejahatan apapun bentuknya adalah sebuah kepalsuan yang tak bisa dibenarkan menurut rumus hukum positif atau apalagi dalam pandangan hakikat nilai kebaikan dan kebenaran itu sendiri.
Boleh jadi dengan segala dalih, alibi, rekayasa kekuatan kapital, kekuasaan, serta memanfaatkan celah-celah kelemahan pasal-pasal hukum yang ada, manusia bisa bersembunyi atau menutupi diri dari kebusukan. Bahkan seandainyapun aroma kebusukan itu telah menyeruak dan menjadi konsumsi khalayak di seluruh penjuru negeri, manusia masih memungkinkan berusaha keukuh mempertahankan dan mencari pembenaran diri sampai dengan tetes keringat penghabisan.
Betapa rumit membedakan sikap dan tindakan manusia yang terbebas dari tendensi kepentingan, dengan sikap dan tindakan yang benar-benar diniati oleh semangat dan keinginan memperbaiki keadaan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Manusia yang paling mempunyai kemungkinan seribu akal untuk melakukan akal-akalan.
Maka meskipun seseorang telah berstatus tersangka, tetap mempunyai kepercayaan diri yang luar biasa, berani tegar mendongakkan kepala dan menepuk dada di hadapan dunia. Demikianlah hebatnya kelicikan manusia, yang bangsa setan saja barangkali tak sanggup melakukannya.
Demikianlah kesombongan dan ketamakan manusia yang lebih sering dominan menguasai diri mengalahkan suara hati nurani. Padahal kesombongan dan ketamakan itu identik dengan kebodohan. Celakanya kebodohan itu lebih sering menghinggapi diri orang-orang berpendidikan, mencengkeram orang-orang terhormat baik karena harta, pangkat, jabatan maupun kekuasaan.
Saya tidak sedang menunjuk siapa-siapa, silakan tanyakan pada diri masing-masing, dimanakah sebenarnya letak maqam diri kita. Bisa jadi benar kita adalah seorang bintang, namun tanpa sadar kebintangan itu sedang disorong sendiri ke ufuk kelam.
*Ketua Kelompok Musik Jamus Kalimosodo Lampung