Terbawa Perasaan
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila Sebelum lebih jauh membahas tentang yang satu ini, kita tilik dulu makna harfiah dari “baper” yang adalah kependekan dari “bawa perasaan”. Istilah baper ini tidak selalu soal perasa...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Sebelum lebih jauh membahas tentang yang satu ini, kita tilik dulu makna harfiah dari “baper” yang adalah kependekan dari “bawa perasaan”. Istilah baper ini tidak selalu soal perasaan cinta atau asmara, tetapi juga bisa digunakan pada seseorang yang memiliki sifat sensitif dan sering menggunakan emosinya untuk menanggapi peristiwa apapun dan juga objek lain. Demikian penjelasan dari Jogo Kata tentang judul tulisan ini.
Salah satu contoh beberapa waktu lalu seorang jurnalis senior sahabat lama berkunjung ke rumah yang merangkap studio. Perbincangan dimulai dari hal hal yang ringan sampai dengan hal hal yang cukup berat, terutama berkaitan dengan perubahan digitalisasi di semua sektor kehidupan bersama dampaknya; salah satu di antaranya adalah mulai terkuburnya media konvensional, baik yang elektronik sampai dengan yang berbasis kertas.
Demikian juga revolusi digital ini akan melanda semua pelayanan berbasis satu data, itu akan terjadi hanya tinggal menunggu waktu saja. Sinkronisasi data menjadi begitu penting untuk segala urusan kehidupan; langkah langkah ini tampaknya sudah banyak koorporit yang lebih awal memulainya; walaupun pemerintah juga tidak mau ketinggalan, sekalipun berkecenderungan sedikit ngawur, karena sesuatu yang tidak ada hubungan dihubunghubungkan karena menyangkut pendanaan.
Lalu apa hubungannya dengan terbawa perasaan? Ternyata sahabat tadi dibuat kesal karena urusan “satu data” ini, yaitu pada saat harus berurusan dengan instansi pemerintahan tertentu, ternyata ada persyaratan yang tidak ada hubungannya dengan persoalan, tetapi harus diadakan. Tentu saja darah jurnalis yang mengalir pada dirinya menjadi terusik untuk mencari tahu apa dan mengapanya.
Kita tinggalkan sahabat yang sedang masygul hatinya karena terbawa perasaan. Pertanyaan lanjut apakah terbawa perasaan itu sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusia, ternyata dari berbagai sumber tidak ada referensi yang tergolong sahih untuk mendukung dugaan sementara tadi. Namun, berdasarkan studi lapangan yang dilakukan secara sepintas, ternyata gejala atau fenomena terbawa perasaan itu bisa terjadi kepada siapa pun, dan tidak ada kaitannya dengan stratifikasi sosial, atau pembeda identitas lainnya. Dengan kata lain setiap manusia memiliki potensi untuk tergiring pada situasi “terbawa perasaan”; hanya yang membedakan ada yang berlarut-larut, ada yang tidak memerlukan waktu lama.
Suatu studi menemukan ada tujuh tipikal orang yang mudah terbawa perasaan: Pertama, begitu emosional pada situasi tertentu, Kedua, lebih memilih untuk melakukan aktivitas sendiri. Ketiga, butuh waktu lama untuk ambil keputusan. Keempat, sangat perhatian pada hal-hal yang begitu detail walau kecil. Kelima, sering merasa stres dan depresi karena hal buruk di masa lalu. Keenam, menghindari konflik yang menguras emosi. Ketujuh, suka membandingkan diri dengan orang lain, sehingga merasa belum mampu berbuat apa-apa.
Atas dasar referensi tadi kita dapat melakukan introspeksi apakah kita ada pada posisi salah satu diantaranya. Jika “ya” jawabannya, tentu dapat dijadikan bahan perbaikan diri. Hal lain ketujuh hal di atas dapat kita jadikan tolok ukur manakala membaca komentar di medsos, berhadapan dengan mereka yang berapa pada posisi memimpin. Dengan demikian kita akan bisa lebih jernih menilai satu fenomena yang ada.
Terbawa perasaan boleh berlangsung kepada siapa pun, seperti diungkapkan di atas, namun menjadi berbeda jika itu melekat kepada mereka yang ditinggikan seranting, didahulukan selangkah untuk menjadi pemimpin. Tentu persoalannya akan menjadi berbeda; karena jika pemimpin mudah terbawa perasaan, maka berakibat kepada orang yang dipimpin. Akibat inipun tidak sederhana, karena ucapan pemimpin itu adalah “titah”; jika titah itu berisikan atau bermuatan emosional, bisa dibayangkan akibat fatal yang akan terjadi.
Ajaran agama sudah menunjukka: “Jika dirimu marah, bila kamu berdiri maka duduklah, jika masih juga berbaringlah, jika masih juga ambilah air wudhu dan sholatlah dua rakaat mohon perlindungan dari Allah SWT”. Luar biasa tuntunan ini, walaupun sering saat marah manusia menjadi gelap mata; yang seharusnya itu tidak harus terjadi karena agama sudah memberikan solusi.
Maka sangatlah aneh jika mereka yang beragama, dan juga berbudaya; jika marah yang keluar dari mulutnya adalah sumpah serapah, dan atau isi kebun binatang dari yang kecil sampai yang besar. Semoga renungan ini dapat menginspirasi kita semua (termasuk penulis) untuk dapat mengendalikan diri sebaik mungkin. Jika berbicara itu menyakitkan, maka diamlah, sebaik-baik manusia adalah yang menjaga akhlaknya.
Selamat Ngopi Pagi…