Dialektika Kepalsuan di Ruang Kekuasaan
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Apa hikmah dari peristiwa yang terjadi pada 28 Agustus lalu ?. Pertanyaan ini menggema di ruang kuliah pascasarjana, di ruang diskusi para professor, dan di sudut-sudut pertemuan informal para...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Apa hikmah dari peristiwa yang terjadi pada 28 Agustus lalu ?. Pertanyaan ini menggema di ruang kuliah pascasarjana, di ruang diskusi para professor, dan di sudut-sudut pertemuan informal para pendekar disiplin ilmu. Bahkan ada seorang doktor dari Bumi Sriwijaya meminta pendapat melalui piranti sosial tentang peristiwa itu. Tentu jawabannya sangat beragam, sesuai keberagaman sudut pandang dan disiplin ilmu yang dijadikan pijakan.
Tulisan ini mencoba memposisikan diri pada sudut pandang filsafat kontemporer. Tentu dengan perspektif akademik. Tulisan ini bukan mencari kebenaran, akan tetapi mendeskripsikan suatu penalaran filsafat terhadap peristiwa yang terjadi.
Kondisi saat ini tidak lagi berdiri di atas garis terang antara yang sahabat dan yang lawan. Dalam tatanan sosial yang konon demokratis, pembedaan semacam itu seharusnya bisa dikenali dengan jelas melalui prinsip, platform, dan agenda. Namun, di medan kekuasaan yang kini kita hadapi, garis itu telah cair; mengabur oleh retorika, terlarut dalam manuver, dan dibungkus oleh pencitraan. Figur-figur yang tampil di depan begitu bersahabat, saling sanjung, saling memeluk dalam forum-forum publik, tetapi apa yang terjadi di balik layar sering kali adalah permainan tikam-menikam, jebakan loyalitas palsu, dan perebutan
kekuasaan yang sunyi namun ganas. Dalam istilah yang berkembang di ruang sosial: di depan
tampak friendly, di belakang seperti “sengkuni”.
Filsafat kontemporer melihat kondisi ini bukan sekadar sebagai penyimpangan etis, tetapi sebagai bentuk krisis makna dalam praksis sosial-politik. Kita tidak sedang menyaksikan sekadar drama kekuasaan, tetapi pembusukan simbol dalam jagat representasi politik. Relasi sosial dan institusional telah menjadi medan di mana kejujuran dibungkam oleh performa, kebenaran dikalahkan oleh persepsi, dan prinsip diperdagangkan demi aliansi sesaat.
Dalam perspektif fenomenologi kontemporer, realitas tidak lagi dibangun berdasarkan apa yang benar-benar dihayati, tetapi apa yang tampak. Penampilan menjadi realitas itu sendiri. Sosok-sosok di depan kamera menampilkan gestur harmoni, bersalaman, tersenyum, dan menyatakan komitmen terhadap bangsa dan rakyat. Tapi kesadaran yang dibentuk bukan lagi kesadaran akan substansi, melainkan kesadaran akan tampilan. Apa yang tak tampak; niat tersembunyi, strategi culas, atau agenda personal, dibuang dari medan wacana. Kita menjadi saksi atas “fenomenologi kekosongan”. Setiap gestur politik menjadi simulakra: bayangan tanpa wujud asli, gambar tanpa makna yang hidup.
Lebih jauh lagi, teori pascamodernisme, melalui pemikiran tentang dekonstruksi dan permainan
tanda, menunjukkan bahwa dalam ruang semacam ini, tidak ada lagi signifikansi tetap. “Kawan” dan “lawan” adalah tanda-tanda yang tak memiliki rujukan tetap, melainkan terus igeser sesuai kepentingan. Seseorang bisa menjadi kawan hari ini dan lawan besok, tergantung siapa yang berkuasa. Tanda kehilangan landasan. Retorika kerakyatan, nasionalisme, kesetiaan pada konstitusi; semuanya bisa digunakan oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang diam-diam merancang kudeta lembut terhadap etika demokrasi.
Filsafat kontemporer menggarisbawahi bahwa kekuasaan modern bukan lagi kekuasaan yang brutal secara fisik, melainkan kekuasaan yang halus, tersembunyi, dan bekerja melalui kontrol simbolik. Sosok yang tampak ramah bisa saja adalah arsitek kekacauan, selama publik tidak mampu melihat di balik jubah keramahan itu. Kekuasaan hari ini bekerja melalui fabrikasi narasi, manajemen persepsi, dan pertukaran simbol. Seorang yang terlihat “merangkul” belum tentu berniat menyatukan. Bisa jadi ia hanya sedang menyiapkan panggung untuk menusuk saat panggung berganti.
Situasi ini menjelaskan mengapa hari ini, loyalitas menjadi barang yang cair. Tidak ada lagi garis ideologis yang kokoh. Yang ada hanyalah oportunisme dalam bentuk yang dibungkus seolah-olah demi rakyat, demi stabilitas, atau demi persatuan. Persahabatan politik menjadi semacam transaksi sesaat, dan ketika transaksi itu selesai, pengkhianatan bukan lagi dianggap dosa, tetapi taktik.
Dalam pandangan kerangka teori kritis, keadaan ini disebut sebagai distorsi komunikasi: dialog tidak lagi berangkat dari kehendak rasional yang tulus, tetapi dari kalkulasi kepentingan tersembunyi. Saling dukung hanya terjadi jika ada kompensasi kekuasaan. Koalisi dibentuk bukan berdasarkan visi jangka panjang, melainkan pembagian kursi. Bahkan oposisi pun tak lagi murni sebagai pengawas kekuasaan, tetapi sekadar posisi tawar agar dapat masuk ke lingkar kekuasaan yang lebih besar. Maka, narasi “bersatu demi bangsa”
menjadi retorika kosong, dan rakyat hanya menjadi penonton dalam sandiwara elite.
Filsafat etika kontemporer menyadarkan kita bahwa krisis ini adalah krisis tanggung jawab. Penguasa kehilangan watak etikanya ketika keputusan diambil tanpa pertimbangan terhadap keadilan, kebenaran, atau kesejahteraan kolektif. Tindakan penguasa, dalam etika tanggung jawab, seharusnya mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kehidupan bersama. Namun dalam praksis kita hari ini, tindakan penguasa justru didesain untuk keuntungan jangka pendek: mempertahankan kekuasaan, meredam kritik, dan menciptakan ilusi keberhasilan. Semua dilakukan dengan wajah ramah, dan senyum palsu yang disiarkan di
media.
Dalam refleksi eksistensial, kita menemukan bahwa manusia kontemporer tengah berada dalam krisis keaslian. Ia tak lagi hidup sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai aktor dalam panggung yang menuntut peran tertentu. Keberanian untuk menjadi autentik, untuk menyatakan perbedaan, menolak kooptasi, atau mempertahankan prinsip; menjadi langka. Yang ada justru adalah konformitas yang dibungkus narasi kesatuan. Sosok-sosok yang berani berbeda segera dibungkam dengan dalih tidak sejalan, tidak kooperatif, atau tidak dewasa.
Maka, ketulusan dalam situasi seperti ini menjadi subversif; kejujuran menjadi anomali. Semua ini menunjukkan bahwa kita sedang hidup dalam kondisi krisis episteme: kebingungan mendasar dalam membedakan antara yang asli dan yang palsu, antara yang jujur dan yang manipulatif. Relasi sosial berada dalam medan yang kabur. Kita tak lagi tahu siapa benar-benar kawan, siapa sungguh lawan. Dalam iklim seperti ini, rakyat yang menjadi korban utama: karena mereka tidak memiliki akses terhadap ruang-ruang tersembunyi tempat keputusan strategis diambil. Mereka hanya menerima produk akhir dari manuver elite:
kenaikan harga, pembatasan kebebasan, atau kebijakan-kebijakan yang dibuat atas nama rakyat, tetapi tidak pernah bersama rakyat.
Filsafat kontemporer tidak memberikan solusi sederhana. Ia tidak menawarkan resep revolusi instan atau kepastian moral. Tapi ia menawarkan lensa untuk memahami kompleksitas: bahwa dalam situasi seperti ini, kewaspadaan intelektual menjadi bentuk resistensi. Kita perlu mencurigai keramahan yang terlalu manis, mempertanyakan narasi yang terlalu rapi, dan membongkar keakraban relasi yang tidak dibangun dari nilai.
Kita tidak bisa lagi puas dengan kata-kata indah; karena sering kali, yang paling mematikan justru dibungkus dengan senyum paling hangat. Di titik ini, filsafat kembali menemukan relevansinya. Ia mengajarkan kita untuk berpikir, meragukan, dan tidak terjebak pada permukaan. Bahwa dalam dunia di mana yang tampak
bersahabat bisa jadi adalah yang paling berbahaya, maka satu-satunya jalan adalah menjadi manusia yang berani berpikir secara radikal sampai ke akar.