Kemerdekaan Milik Siapa?
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung “Perayaan kemerdekaan telah usai, lomba-lomba sudah selesai, pasar kembali ramai, namun si miskin tetap sepi.” Kalimat ini adalah kritik puitis sekaligus refleksi mendalam terhadap kondisi sosi...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
“Perayaan kemerdekaan telah usai, lomba-lomba sudah selesai, pasar kembali ramai, namun si miskin tetap sepi.”
Kalimat ini adalah kritik puitis sekaligus refleksi mendalam terhadap kondisi sosial yang tak kunjung berubah meski setiap tahun kita merayakan kemerdekaan. Dan, kalimat serupa tapi tak sama seperti ini banyak berseliweran di layar medsos dengan berbagai latar. Memang harus diakui bahwa “Merdeka”, sebuah kata penuh gairah, membahana, heroik, dan dielu-elukan setiap 17 Agustus, namun dalam kenyataannya tidak dirasakan secara merata oleh seluruh warga negara.
Kemerdekaan ini milik siapa?
Itu adalah pertanyaan eksistensial yang membuka ruang diskusi filosofis, terutama bila kita melihatnya melalui kacamata filsafat kontemporer, yang tidak hanya bicara soal ontologi atau epistemologi klasik, tetapi juga menaruh perhatian pada isu-isu ketidakadilan, ketimpangan sosial, eksklusi struktural, dan narasi yang dibentuk oleh kekuasaan.
Tulisan ini mencoba menelaah pertanyaan tersebut dengan menelusuri pandangan sejumlah filsuf kontemporer, guna mengurai makna kemerdekaan yang sesungguhnya dan mengapa “si miskin tetap sepi”. Tulisan ini bukan menantang penguasa, tetapi mari sama-sama merefleksi kerja-kerja apa yang sudah kita lakukan untuk negeri ini. Apakah hanya sekedar melepaskan kuwajiban dan tanggungjawab, atau mencari sesuap nasi segenggam intan permata, atau melanggengkan kekuasaan, atau apa.
Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis, memperkenalkan gagasan bahwa realitas sosial bukan hanya terbentuk oleh struktur ekonomi atau politik, tetapi juga oleh diskursus dari narasi-narasi yang diulang terus menerus hingga dianggap sebagai “kebenaran.” Dalam konteks ini, kemerdekaan bukan hanya sebuah kondisi objektif (misalnya lepas dari penjajahan), melainkan juga sebuah konstruksi wacana.
Perayaan kemerdekaan dengan lomba makan kerupuk, lari karung, konvoi bendera, dan pidato-pidato nasionalis adalah bagian dari ritual diskursif yang membentuk persepsi publik bahwa kita adalah bangsa merdeka. Namun, seperti dikritik oleh Foucault, diskursus semacam ini seringkali menutupi realitas relasi kuasa yang masih timpang. “Si miskin tetap sepi” karena dalam diskursus dominan, mereka tidak memiliki posisi untuk berbicara (subjektivitas politik).
Mereka hadir dalam statistik, tetapi absen dalam narasi kemerdekaan. Mereka menjadi “tubuh yang dikendalikan” oleh sistem, tetapi tidak memiliki kuasa atas hidupnya. Mereka adalah sekadar objek bantuan sosial pemuas kekuasaan.
Jacques Rancière, filsuf Perancis kontemporer, mengkritik ide demokrasi yang hanya menjadi “bagi-bagi kekuasaan di antara yang sudah berkuasa.” Dalam bukunya “Disagreement”, Rancière membedakan antara politik (sebagai aksi radikal yang mengganggu tatanan) dan polisi (aturan yang menjaga status quo).
Kemerdekaan dalam versi negara, dengan pidato dan upacara, bisa jadi adalah bentuk “polisi”, yakni pemeliharaan keteraturan sosial. Namun, di situlah kemerdekaan menjadi ilusi. Bagi Rancière, politik sejati terjadi saat kelompok yang “tidak dihitung” (the part of no part), yakni si miskin, yang terpinggirkan, mengklaim ruang untuk berbicara, membuat dirinya terlihat dan terdengar, dan menggugat narasi resmi. Maka, pertanyaan “kemerdekaan ini milik siapa?” bukan hanya keluhan, tetapi bentuk awal dari tindakan politik yang sejati: menginterupsi sistem, menunjukkan bahwa ada yang tertinggal dari narasi besar bangsa. Di sinilah kemerdekaan seharusnya diuji: apakah ia membuka ruang partisipasi bagi semua, atau hanya memperkuat dominasi sekelompok elite.
Slavoj Žižek, filsuf Slovenia, banyak mengkritik bagaimana ideologi bekerja di masyarakat modern. Bagi Žižek, ideologi tidak lagi memaksa kita untuk percaya, tapi justru membuat kita “berpura-pura percaya.” Kita tahu bahwa kemerdekaan tidak sepenuhnya nyata, bahwa ketimpangan terjadi, namun kita tetap ikut upacara dan menyanyikan lagu kemerdekaan. Perayaan kemerdekaan menjadi simulacrum atau tampilan kosong dari makna yang sudah kehilangan substansi.
Orang miskin tetap sepi karena sistem sudah didesain untuk membuat mereka menerima penderitaan sebagai “normal.” Mereka dianggap gagal bukan karena sistem yang timpang, tetapi karena kurang usaha atau pendidikan; narasi neoliberal yang seperti ini semakin kuat dalam masyarakat kontemporer.
Žižek menyebut hal ini sebagai perversi ideologis; kita tahu bahwa sistem itu tidak adil, namun kita tetap menjalankannya karena merasa tidak ada alternatif. Dalam konteks ini, mempertanyakan “kemerdekaan ini milik siapa?” adalah bentuk pembongkaran terhadap ilusi kolektif yang diproduksi oleh sistem negara.
Amartya Sen, ekonom dan filsuf India, menawarkan konsep capability approach yang sangat relevan dengan tema ini. Menurut Sen, kemerdekaan sejati bukan hanya soal hak politik, tetapi tentang kemampuan nyata seseorang untuk menjalani hidup yang ia nilai berharga. Artinya, meskipun semua warga negara secara formal “bebas” dan memiliki hak yang sama, dalam praktiknya tidak semua orang mampu menggunakan hak itu karena keterbatasan ekonomi, pendidikan, dan akses sosial.
Kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kelaparan, dari kebodohan, dari ketakutan akan masa depan. Maka, jika si miskin tidak memiliki akses terhadap layanan dasar, tidak punya suara dalam kebijakan publik, dan tidak bisa menentukan jalan hidupnya, maka dalam konsep ini dia belum merdeka. Dalam kerangka ini, pertanyaan “kemerdekaan ini milik siapa?” menemukan jawabannya dalam distribusi kapabilitas yang timpang.
Negara boleh mengklaim bahwa semua sudah merdeka, tapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki akses terhadap sumber daya.
Selain oleh kolonialisme lama, kini masyarakat juga menghadapi bentuk baru dari penjajahan: kapitalisme global, digitalisasi yang timpang, dan sistem pendidikan yang tidak merata. Filsuf postkolonial seperti Frantz Fanon dan Gayatri Spivak menekankan bahwa setelah penjajahan fisik berakhir, penjajahan mental dan kultural tetap berlanjut.
Fanon dalam “The Wretched of the Earth” menggambarkan bagaimana elite nasional menggantikan kolonialis lama tanpa benar-benar mengubah struktur sosial. Mereka menjadi “penjaga” sistem yang dulu menindas bangsanya sendiri. Dalam konteks ini, kemerdekaan menjadi milik segelintir elite yang memonopoli akses terhadap ekonomi dan politik, sementara rakyat kecil hanya jadi latar belakang atau layar belakang dalam drama kenegaraan.
Spivak menambahkan kritik penting: bisakah yang terpinggirkan (the subaltern) berbicara? Atau suara mereka akan selalu direpresentasikan oleh kelas dominan? Pertanyaan ini menantang kita untuk membuka ruang bagi suara-suara dari bawah, bukan sekadar menjadi objek pembangunan, subyek yang selalu disalahkan; tetapi sebagai subjek aktif kemerdekaan.
Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai “imagined community”, komunitas yang dibayangkan karena anggotanya tidak saling kenal secara personal, tetapi merasa terhubung oleh narasi yang sama. Namun, narasi ini tidak netral. Ia dibentuk oleh elit politik, media, dan institusi pendidikan. Dalam narasi nasionalisme yang dominan, seringkali kelompok marginal tidak mendapat tempat. Apakah si miskin bagian dari “bangsa” jika suara mereka tidak didengar? Jika eksistensi mereka hanya muncul saat kampanye atau program bantuan sosial?. Kemerdekaan ini milik siapa jika imajinasi tentang bangsa hanya mencakup mereka yang bisa merayakannya dengan pesta, lomba, dan diskon di mal? Sementara si miskin tetap berjuang di lorong-lorong gelap yang tak pernah benar-benar pulih?
Dari berbagai perspektif filsafat kontemporer ini, kita sampai pada pemahaman bahwa kemerdekaan sejati tidak mungkin hadir tanpa transformasi struktural. Tidak cukup hanya mengenang para pahlawan atau mengibarkan bendera. Kita perlu membuka ruang politik baru, di mana mereka yang “tidak dianggap” dapat berbicara. Kemerdekaan bukan hadiah dari negara, tetapi hak yang harus diperjuangkan terus menerus. Ia menuntut etika solidaritas, politik keadilan, dan tindakan kolektif yang melampaui seremoni.
Filsafat kontemporer membantu kita melihat bahwa kemerdekaan bukanlah kondisi statis, melainkan medan perjuangan yang terus berubah. Ia bisa direbut, dipelintir, bahkan dipalsukan oleh mereka yang berkuasa. Maka tugas kita adalah menjaga agar kemerdekaan tetap menjadi milik semua, bukan milik mereka yang sedang berkuasa, dan bukan hanya mereka yang mampu merayakannya.***