Manusia di Tengah Dua Pilihan AI
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Beberapa waktu lalu, setelah meluncurkan satu artikel berkaitan dengan penggugatan ontologi era digital, dari seberang sana ada seorang doktor pendidikan yang kebetulan menjadi pejabat teras be...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Beberapa waktu lalu, setelah meluncurkan satu artikel berkaitan dengan penggugatan ontologi era digital, dari seberang sana ada seorang doktor pendidikan yang kebetulan menjadi pejabat teras berkomentar bagaimana jika Artificial Intelligence (AI) dihadapkan dengan Anugerah Illahi (AI). Keduanya memiliki akronim yang sama, namun makna yang berbeda. Karena beliau sering menjumpai hal yang paradoks dalam keseharian menghadapi persoalan manusia. Tentu diskusi itu menjadi menarik, dan tulisan ini mencoba membahas dari sudut pandang filsafat kontemporer.
Dua kekuatan besar menyertai perjalanan manusia di abad ke-21: perkembangan Artificial Intelligence (AI) dan keyakinan terhadap realitas spiritual, yang sering disebut sebagai Anugerah Ilahi (AI). Kedua bentuk “AI” ini, meskipun sama dalam akronim, namun menggambarkan dua dimensi yang berbeda secara mendasar: yang satu bersifat teknologis dan buatan, yang lain bersifat spiritual dan tak terpahami.
Filsafat kontemporer, sebagai medan refleksi atas realitas masa kini, memberikan lensa penting untuk memahami posisi manusia di tengah kedua bentuk AI ini. Dalam ruang yang makin kompleks antara mesin dan makna, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan etis dan ontologis yang menentukan masa depannya sendiri.
Tulisan ini akan mencoba menelaah bagaimana filsafat kontemporer memaknai posisi manusia dalam persimpangan antara Artificial Intelligence dan Anugerah Ilahi, serta menyajikan refleksi tentang bagaimana pilihan manusia akan menentukan arah peradaban.
Dalam dekade terakhir, Artificial Intelligence telah menjadi kekuatan dominan dalam hampir semua aspek kehidupan: ekonomi, komunikasi, pertahanan, pendidikan, bahkan seni. Chatbot, robot medis, sistem prediksi kejahatan, dan personalisasi iklan adalah wujud konkret dari Artificial Intelligence dalam kehidupan sehari-hari. Filsuf teknologi seperti Martin Heidegger telah lama mengingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat (instrumental view), tetapi suatu cara manusia mengungkap realitas.
Dalam “The Question Concerning Technology”, Heidegger menyebut teknologi modern sebagai Gestell atau cara “mengatur” dunia agar bisa dieksploitasi. Dalam logika ini, manusia sendiri tak luput dari proses objektifikasi: menjadi data, statistik, atau target iklan.
AI seolah mencerminkan logika modernitas yang menempatkan rasionalitas instrumental di atas pengalaman eksistensial. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita sedang menciptakan alat yang membantu manusia, atau menciptakan sistem yang menggantikan peran manusia?
Di sisi lain, Anugerah Ilahi adalah konsep yang melampaui logika sebab-akibat. Ia tidak dapat direduksi menjadi sistem, program, atau algoritma. Dalam filsafat religius dan eksistensial, anugerah adalah pemberian tak bersyarat dari Yang Transenden kepada manusia; sebuah pengalaman spiritual yang menyentuh inti terdalam dari eksistensi.
Emmanuel Levinas, dalam pemikirannya tentang “Yang Lain” (the Other), menyatakan bahwa etika muncul bukan dari sistem, tetapi dari perjumpaan dengan yang tak dapat direduksi. Jean-Luc Marion, dalam “Being Given”, menggambarkan anugerah sebagai bentuk donasi radikal, yaitu pemberian yang tidak bisa dikontrol atau diprediksi.
Anugerah ilahi mencerminkan dimensi personal, relasional, dan kontemplatif yang tidak dapat disimulasikan. Kehadirannya menyadarkan manusia bahwa ia bukan pusat dari segalanya, dan sebuah koreksi atas narasi manusia modern yang terlalu percaya pada kemampuan teknologinya. Oleh sebab itu, salah satu persoalan besar yang muncul dari Artificial Intelligence adalah tanggung jawab etis. Siapa yang harus bertanggung jawab ketika AI menyebabkan kerugian. Apakah kesalahan terletak pada algoritma, programmer, atau institusi?
Filsuf moral kontemporer seperti Luciano Floridi dan Nick Bostrom menyoroti perlunya ethics by design; yakni bagaimana etika bisa ditanamkan ke dalam sistem AI. Namun ini menghadapi tantangan besar, karena sistem AI beroperasi secara otonom dan bisa belajar (machine learning), yang membuatnya tak sepenuhnya dapat dikontrol. Sebagai contoh, kendaraan otonom yang harus memilih antara menabrak seorang tua atau anak kecil. AI harus mengambil keputusan moral dalam sepersekian detik. Namun keputusan itu tidak berasal dari pertimbangan nilai, melainkan dari kalkulasi risiko. Di sini, kita melihat keterbatasan etika algoritmis.
Ontologi bertanya tentang “apa itu yang ada.” Dalam konteks Artificial Intelligence, muncul krisis ontologis: apakah manusia hanyalah kumpulan data dan respon neural, atau makhluk yang memiliki jiwa dan relasi dengan Yang Ilahi?. Filsuf seperti Byung-Chul Han mengkritik bagaimana masyarakat digital hari ini menghilangkan kedalaman.
Dalam “The Transparency Society dan Psychopolitics”, ia menyebut bahwa manusia modern hidup dalam tekanan untuk selalu produktif, transparan, dan terhubung. AI mempercepat proses ini, dan membuat hidup terasa datar dan seragam. Tanpa relasi spiritual, manusia kehilangan kedalaman eksistensialnya. Ia menjadi homo algorithmicus, yaitu makhluk yang hidup berdasarkan pola data dan prediksi. Dalam kondisi ini, pertanyaan tentang makna, penderitaan, dan cinta menjadi tidak relevan. Sebaliknya, Anugerah Ilahi membuka ruang untuk misteri, keheningan, dan pertanyaan eksistensial. Ia mengakui bahwa manusia tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu atau logika.
Salah satu fenomena menarik adalah munculnya praktik spiritual berbasis AI.
Aplikasi meditasi berbasis AI, chatbot yang menawarkan nasihat spiritual, bahkan “AI prophets” mulai bermunculan. Di Jepang, kuil Buddha telah menggunakan robot pendeta untuk memimpin doa. Jean Baudrillard dalam “Simulacra and Simulation” menjelaskan bahwa dalam masyarakat postmodern, tanda-tanda bisa menggantikan realitas itu sendiri. AI bisa menciptakan ilusi kehadiran spiritual, tapi tidak bisa menghadirkan realitas rohani itu sendiri. Simulasi spiritualitas adalah bentuk pengganti yang tidak memiliki kedalaman.
Ia menenangkan tetapi tidak menyelamatkan. Ia memberikan jawaban tetapi tidak memberikan makna.
Di tengah gempuran AI, manusia memiliki pilihan: apakah akan tunduk pada sistem, atau kembali menemukan identitas spiritualnya? Oleh karena itu, filsafat eksistensial mengajarkan pentingnya otentisitas. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas” oleh sebab itu ia harus memilih, dan bertanggung jawab atas pilihannya. Dalam dunia yang semakin otomatis, tantangan terbesar adalah mempertahankan kebebasan untuk menjadi manusia sejati. Anugerah
Ilahi menawarkan ruang untuk kebebasan ini. Ia tidak memaksa, tidak mengotomatisasi. Ia mengundang manusia untuk masuk ke dalam relasi yang menghidupkan, bukan sistem yang mengendalikan. Kehilangan makna ini bukan sekadar krisis ekonomi, tetapi krisis spiritual. Manusia tidak hanya butuh bekerja untuk hidup, tetapi juga butuh merasa bahwa hidupnya bermakna. Anugerah Ilahi menegaskan bahwa nilai manusia tidak ditentukan oleh produktivitasnya, tetapi oleh relasinya dengan Yang Transenden.
Filsafat kontemporer tidak menolak teknologi. AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk kemanusiaan, namun jika digunakan secara bijak. Namun, kita perlu menyadari bahwa tidak semua hal bisa atau seharusnya diserahkan kepada AI. Artificial Intelligence harus tetap berada dalam ranah teknis, sementara Anugerah Ilahi tetap menjadi pusat dari makna dan tujuan hidup manusia.
Integrasi antara keduanya hanya mungkin jika manusia menyadari batas-batas AI, dan membuka diri terhadap dimensi spiritual yang lebih tinggi. Ini adalah panggilan untuk kembali menyeimbangkan dunia yang terlalu rasional dengan kedalaman relasi dan kontemplasi. Dengan kata lain kita tidak bisa menghindari AI, tetapi kita bisa memilih untuk tetap membuka diri terhadap Anugerah Ilahi. Dan di situlah letak kebijaksanaan sejati: menggunakan kecerdasan buatan tanpa kehilangan jiwa kemanusiaan. Caranya jika ada informasi yang diperoleh lewat AI, maka gunakan AI satunya untuk menyaring; dengan cara ini kita menjadi bijak berteknologi, dan berketuhanan dalam bersikap.