Orang Lapar Jangan Suruh Sabar

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Pada satu kanal media sosial seorang tokoh agama yang sangat terkenal di negeri ini, memberi ungkapan dalam ceramahnya “Orang Lapar Jangan Suruh Sabar”. Ungkapan ini sekilas terdengar seperti a...

Orang Lapar Jangan Suruh Sabar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Pada satu kanal media sosial seorang tokoh agama yang sangat terkenal di negeri ini, memberi ungkapan dalam ceramahnya “Orang Lapar Jangan Suruh Sabar”. Ungkapan ini sekilas terdengar seperti amarah spontan, keluhan keras dari mereka yang terjepit dalam himpitan hidup.

Jika ditelisik lebih dalam, kalimat ini menyimpan muatan filosofis yang kuat berkaitan dengan martabat manusia, tentang hak dasar untuk hidup layak, dan tentang relasi kuasa antara yang kenyang dan yang lapar, antara yang berada dan yang tertindas. Dalam realitas sosial Indonesia hari ini, ungkapan ini terasa seperti tamparan bagi narasi besar yang kerap dikumandangkan dari mimbar-mimbar kekuasaan: ajakan bersabar, menahan diri, tawakal, atau menerima nasib. Tapi adakah makna moral dari sabar ketika perut tak terisi.

Manusia adalah makhluk yang mengalami dunia melalui tubuhnya. Filsuf eksistensial seperti Merleau-Ponty mengingatkan kita bahwa tubuh bukan sekadar alat, melainkan pusat pengalaman eksistensial. Rasa lapar, dalam konteks ini, bukan hanya masalah perut kosong. Ia adalah sinyal keterbatasan, penderitaan, dan pernyataan keras bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya dalam tatanan hidup kita. Dalam masyarakat modern yang kerap menjadikan angka statistik sebagai dasar kebijakan, rasa lapar seseorang sering tenggelam dalam rata-rata pendapatan nasional. Di balik jargon pertumbuhan ekonomi, inflasi terkendali, atau surplus APBN, ada jutaan wajah yang terpaksa tidur tanpa makan, anak-anak yang gagal tumbuh karena gizi buruk, dan orang tua yang menjual apa saja demi menyambung hidup.

Ketika seseorang dalam keadaan lapar diberi nasihat untuk bersabar, sering kali nasihat itu bukan datang dari sesama penderita, melainkan dari mereka yang tidak merasakan lapar itu. Dari podium kekuasaan atau layar media, mereka yang hidup berkecukupan berbicara tentang pentingnya menahan diri, tentang rezeki yang sudah diatur Tuhan, tentang ujian hidup yang harus dilalui dengan ikhlas. Di sinilah kita melihat jurang empati yang dalam. Kesabaran yang diajarkan menjadi senjata moral yang membungkam, bukan membebaskan. Ia menjadi dalih untuk menunda keadilan, menahan amarah kolektif, dan mempertahankan status quo yang timpang. Dan, ini seolah menjadi senjata ampuh untuk menekan mereka yang lapar.

Dalam kerangka etika filsafat, respons terhadap penderitaan orang lain seharusnya bukan berupa ceramah, melainkan tindakan. Emanuel Levinas, seorang filsuf Prancis, berbicara tentang bagaimana wajah orang lain adalah panggilan etis. Wajah orang lapar bukan hanya permintaan bantuan, tapi tuntutan moral yang tak bisa ditolak. Kita tidak hanya dihadapkan pada rasa iba, tapi pada tanggung jawab untuk bertindak.

Kesabaran, dalam konteks ini, bukan lagi kebajikan ketika ia digunakan untuk menutup mata dari panggilan kemanusiaan yang mendesak. Dan, bukan menjadi pelarian dari tanggung jawab. Apalagi jika kita melihat kondisi negeri kita hari ini. Ketimpangan ekonomi masih tinggi, akses terhadap pangan dan pekerjaan layak masih menjadi kemewahan bagi banyak orang. Petani kian terpinggirkan, nelayan bergantung pada cuaca dan harga pasar yang tak adil, pekerja informal kehilangan penghasilan karena kebijakan yang tidak berpihak. Ketika suara mereka muncul dalam bentuk demonstrasi, kritik, atau bahkan sekadar permintaan agar harga sembako tidak naik, jawaban yang diberikan kerap berupa retorika: “Bersabarlah, ini ujian,” atau lebih menyakitkan lagi, “Kalian harus bersyukur masih hidup.” Lebih menyakitkan lagi “kita beda level, kalian rakyat jelata sedang kami pejabat”. Dalam masyarakat seperti ini, penderitaan tidak hanya menjadi beban ekonomi, tapi juga menjadi beban moral yang disangkal dan diseret ke dalam ranah keagamaan atau spiritual, agar tidak terlalu membebani negara atau mereka yang diuntungkan oleh sistem. Termasuk penjelasan yang menyakitkan dengan berkedok penyamaan ajaran agama dengan produk kekuasaan. Padahal, teori keadilan modern seperti yang dikemukakan John Rawls menegaskan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang paling berpihak pada mereka yang paling lemah.

Ketika negara atau sistem gagal memberikan pangan dan pekerjaan, maka yang gagal bukan rakyat, tetapi negara itu sendiri. Maka menjadi paradok ketika yang lapar malah diminta lebih sabar, seolah sabar itu adalah solusi utama dalam menghadapi struktur sosial yang timpang dan menindas.

Lebih dalam lagi, kita bisa melihat bagaimana narasi kesabaran ini sebenarnya adalah bentuk kekerasan simbolik yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu. Kekerasan simbolik adalah bentuk dominasi yang tidak tampak kasar, tapi bekerja secara halus melalui bahasa, nilai, dan budaya. Ia menanamkan dalam benak rakyat bahwa nasib mereka adalah hasil dari kurangnya doa, kurangnya kerja keras, atau kurangnya iman; padahal seringkali yang terjadi adalah ketidakadilan struktural yang dibiarkan terus berlangsung, bahkan cenderung masif.

Menjadi ironi lagi adalah bagaimana agama, yang sejatinya berpihak kepada kaum tertindas, justru sering dijadikan alat untuk menjustifikasi ketimpangan. Nabi Muhammad dalam banyak hadits menekankan pentingnya solidaritas sosial, bahkan menyebut bahwa orang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan tidak benar-benar beriman. Namun, dalam praktik sosial hari ini, ajaran-ajaran ini sering diredam oleh tafsir-tafsir yang lebih nyaman bagi kekuasaan. Orang miskin didorong untuk tetap sabar dan tidak iri, tapi lupa bahwa keadilan sosial juga merupakan perintah agama.

Dalam titik ini, kita harus bertanya: apa sebenarnya makna sabar dalam konteks sosial politik. Apakah sabar berarti menerima apa adanya, atau sabar adalah ketekunan dalam memperjuangkan keadilan. Mungkin sudah waktunya kita harus mulai melihat sabar sebagai sikap aktif, bukan pasif. Sabar bukan berarti diam, tapi terus bertahan dan bergerak dalam perjuangan. Orang lapar tidak seharusnya disuruh sabar untuk menunggu bantuan yang entah kapan datangnya, tetapi didukung agar mereka bisa hidup layak, bekerja dengan adil, dan berdaya secara ekonomi.

Kesabaran bukan kebajikan ketika ia hanya dituntut dari mereka yang tertindas, sementara mereka yang berkuasa menikmati hasil sistem yang timpang. Kesabaran bukan keutamaan ketika ia digunakan untuk membungkam kritik dan protes yang sah. Sebaliknya, kesabaran harus menjadi milik mereka yang memiliki kekuasaan: sabar untuk mendengarkan rakyat, sabar dalam menahan nafsu korupsi, sabar dalam mengabdi pada keadilan, sabar untuk tidak asal bicara, apalagi sampai menyakitkan nurani masyarakat.

Realitas hari ini menuntut kita untuk mengubah narasi. Kita tidak bisa terus-menerus memintakan kesabaran dari mereka yang kelaparan. Kita harus mulai membicarakan hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas kehidupan yang lebih layak sebagai bagian dari martabat manusia. Kita harus menyadari bahwa setiap orang yang lapar adalah pengingat akan kegagalan kita sebagai masyarakat.

Dan, kita harus mengubah arah spiritualitas dan moralitas kita. Bukan moralitas yang mengajar rakyat untuk pasrah, tetapi moralitas yang mendorong solidaritas dan keberpihakan. Bukan spiritualitas yang membuat orang miskin merasa berdosa karena lapar, tetapi spiritualitas yang membuat orang kenyang merasa bersalah karena membiarkan orang lain kelaparan. Maka, ketika seseorang berkata, “Orang lapar jangan suruh bersabar,” itu bukan sekadar luapan emosi. Itu adalah protes filosofis, sebuah gugatan terhadap sistem yang membiarkan kesenjangan terus melebar. Itu adalah seruan agar kita semua berhenti mencuci tangan dari tanggung jawab sosial.

Kesabaran tidak boleh menjadi topeng bagi ketidakpedulian. Kesabaran yang sejati adalah yang mengakar pada rasa cinta dan tanggung jawab, yang menolak melihat penderitaan sebagai kewajaran. Kesabaran yang sejati adalah kesabaran yang melahirkan gerakan, bukan kebungkaman. Dan sampai yang lapar bisa makan, yang miskin bisa hidup layak, dan yang tertindas mendapat keadilan; mungkin sudah waktunya kita berhenti menyuruh mereka bersabar, dan mulai bertindak. Semoga peristiwa yang baru berlalu di negeri ini menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa, ada kuwajiban moral dan sosial yang selama ini terabaikan.