Lari Meninggalkan Negeri
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Hiruk-pikuk negeri ini belum reda, tetapi berita tak sedap melintas di media sosial. Bagaimana anggota terhormat, yang dipersoalkan oleh rakyat karena ucapan dan perbuatannya yang melukai. Tern...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Hiruk-pikuk negeri ini belum reda, tetapi berita tak sedap melintas di media sosial. Bagaimana anggota terhormat, yang dipersoalkan oleh rakyat karena ucapan dan perbuatannya yang melukai. Ternyata sudah pergi ke luar negeri tentu dengan berbagai alasan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral dan politik yang mereka emban. Fenomena ini bukan hanya menunjukkan kelalaian pribadi, tetapi juga mengungkapkan ketidaksesuaian dalam struktur sosial-politik yang lebih luas. Untuk menggali lebih dalam mengenai fenomena tersebut, kita akan menggunakan berbagai teori filsafat kontemporer yang membahas kebebasan, tanggung jawab, etika politik, serta dinamika sosial dalam dunia modern.
Filsafat eksistensialisme, dengan tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, memberikan pandangan yang menarik terkait fenomena “lari dari tanggung jawab”. Eksistensialisme menekankan pada kebebasan individu untuk membuat pilihan, namun dengan kebebasan tersebut datang pula tanggung jawab besar. Sartre dalam karyanya, Being and Nothingness, menyatakan bahwa manusia terlahir bebas, namun kebebasan tersebut adalah “kutukan” karena membawa tanggung jawab yang tidak bisa dihindari. Setiap pilihan yang diambil oleh individu, kata Sartre, menciptakan dunia bagi diri mereka sendiri dan orang lain.
Ketika seorang politisi memilih untuk meninggalkan negara mereka di tengah krisis, keputusan ini bisa dipahami sebagai penghindaran terhadap tanggung jawab mereka. Menurut Sartre, tindakan tersebut mencerminkan ketidakmampuan untuk bertindak autentik dan menerima tanggung jawab moral. Politisi yang melarikan diri dari krisis tidak hanya menghindari situasi yang sulit, tetapi mereka juga mengabaikan peran mereka dalam masyarakat yang telah memberi mereka kekuasaan dan kepercayaan untuk bertindak demi kepentingan umum.
Sebagai seorang wakil rakyat, politisi tersebut seharusnya memahami bahwa tanggung jawab mereka bukan hanya terhadap diri mereka sendiri, tetapi juga terhadap rakyat yang telah memilih mereka. Dengan memilih untuk melarikan diri, mereka menunjukkan kegagalan dalam menghadapi “ketidakpastian eksistensial” yang menjadi bagian dari kehidupan politik. Sartre mengajarkan bahwa untuk menjadi manusia yang otentik, seseorang harus mengakui tanggung jawab yang datang dengan kebebasan. Dalam politik, ini berarti bahwa seorang politisi harus siap menghadapi tantangan dan konflik, bukan mencari pelarian.
Menurut Heidegger, manusia seringkali terjebak dalam “kebiasaan” atau rutinitas yang mengabaikan pertanyaan mendalam tentang keberadaan mereka. Politisi yang lari bisa dilihat sebagai contoh seseorang yang “terjatuh” dalam rutinitas kekuasaan dan kenyamanan pribadi, dan mengabaikan tugas untuk berhubungan dengan masalah eksistensial yang lebih besar, tugas mereka untuk bertindak demi kebaikan bersama dalam situasi krisis. Heidegger menekankan pentingnya “berada di dunia” secara autentik, yang dalam konteks ini berarti menerima tugas yang dihadapi oleh politisi untuk berjuang demi negara dan rakyat, bukan melarikan diri.
John Rawls, dalam bukunya yang terkenal A Theory of Justice, mengemukakan dua prinsip utama keadilan yang relevan dalam konteks ini: (1) setiap individu harus memiliki kebebasan dasar yang sama, dan (2) ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut menguntungkan mereka yang paling terpinggirkan dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, kita dapat melihat tindakan politisi yang meninggalkan negeri mereka sebagai pengabaian terhadap prinsip pertama dan kedua keadilan yang Rawls ajukan. Ketika politisi tersebut memilih untuk pergi ke luar negeri, mereka tidak hanya mengabaikan kewajiban mereka untuk memperjuangkan kebebasan dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan dalam cara mereka merespons kesulitan sosial. Rakyat yang membutuhkan dukungan selama krisis ditinggalkan, sementara politisi yang seharusnya memperjuangkan keadilan sosial justru mencari kenyamanan di luar negeri.
Rawls berargumen bahwa dalam sebuah masyarakat yang adil, struktur sosial harus dirancang sedemikian rupa sehingga ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika hal itu meningkatkan kesejahteraan bagi mereka yang paling kurang beruntung. Oleh karena itu, tindakan lari dari tanggung jawab ini bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial, karena politisi yang seharusnya berada di garis depan dalam mengatasi ketidaksetaraan dan kesulitan, justru memilih untuk menghindar.
Prinsip difference dalam teori Rawls juga dapat diterapkan dalam menganalisis fenomena ini. Prinsip ini menyatakan bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika itu menguntungkan mereka yang paling rentan. Dengan kata lain, politisi yang melarikan diri selama masa krisis tidak hanya mengabaikan tanggung jawab mereka untuk mengatasi ketidaksetaraan, tetapi juga melanggar kewajiban moral mereka untuk memanfaatkan posisi mereka untuk memperbaiki nasib yang kurang beruntung. Dalam konteks ini, meninggalkan negara adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan yang seharusnya mereka jaga.
Dalam masyarakat modern yang terstruktur oleh neoliberalisme, individu seringkali lebih dipandang sebagai konsumen daripada sebagai bagian dari sebuah kolektivitas sosial yang lebih besar. Zygmunt Bauman, dalam karya-karyanya seperti Liquid Modernity, menjelaskan bagaimana dunia modern bergerak menuju individualisme yang semakin kuat. Dalam konteks politik, fenomena politisi yang memilih melarikan diri ke luar negeri dapat dipahami sebagai bentuk penghindaran terhadap ketidakpastian, sebuah ciri khas masyarakat cair yang diwarnai oleh kepentingan pribadi, konsumerisme, dan keinginan untuk menghindari tanggung jawab kolektif.
Dalam dunia yang dipengaruhi oleh neoliberalisme, politisi lebih cenderung untuk memprioritaskan kenyamanan pribadi, status sosial, dan kepentingan finansial mereka sendiri daripada kepentingan publik. Bauman berpendapat bahwa dalam masyarakat yang semakin mengedepankan kepemilikan dan konsumerisme, individu cenderung mengejar kebebasan yang bersifat material, yaitu kebebasan dari kesulitan, dari penderitaan, dan dari ketidakpastian. Dalam hal ini, politisi yang meninggalkan negeri adalah contoh dari kecenderungan ini, yang lebih memilih melarikan diri ke negara yang lebih aman secara sosial dan ekonomis, tanpa memikirkan nasib mereka yang tertinggal di dalam negeri.
Neoliberalisme, dengan penekanannya pada kebebasan individual dan pasar bebas, menciptakan individu yang lebih fokus pada pencapaian pribadi daripada pada kewajiban sosial. Tindakan politisi yang melarikan diri dapat dilihat sebagai dampak langsung dari logika neoliberalisme yang mengedepankan pemenuhan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama.
Hannah Arendt, seorang filsuf politik terkemuka, menekankan bahwa tindakan politik merupakan inti dari kebebasan dan keberadaan manusia dalam ruang publik. Dalam karya-karyanya seperti The Human Condition, Arendt menjelaskan bahwa politik adalah tentang tindakan kolektif yang memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama dan menciptakan dunia yang lebih baik. Politik, bagi Arendt, bukan hanya soal kekuasaan atau pemerintahan, tetapi juga soal kehadiran manusia yang aktif dalam kehidupan publik.
Bagi Arendt, kebebasan politik dapat terwujud hanya melalui tindakan bersama dalam ruang publik, yang menciptakan saling pengertian dan persatuan dalam menghadapi tantangan sosial. Ketika seorang politisi memilih untuk melarikan diri, mereka tidak hanya menghindari tugas mereka, tetapi juga menghancurkan makna dari kebebasan politik itu sendiri. Tindakan lari ini mengarah pada pengabaian terhadap prinsip dasar demokrasi, yaitu partisipasi aktif dalam kehidupan politik dan komitmen untuk kesejahteraan bersama.
Arendt juga menekankan bahwa tanggung jawab politik tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga dengan komunitas secara keseluruhan. Ketika seorang politisi melarikan diri, mereka secara tidak langsung mengabaikan prinsip ini, karena mereka tidak lagi berkomitmen untuk menjaga kebebasan dan kebaikan bersama. Dalam pandangan Arendt, kebebasan politik bukan hanya soal hak untuk membuat pilihan, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap masyarakat yang lebih besar.
Dapat disimpulkan bahwa fenomena politisi yang melarikan diri ke luar negeri di tengah krisis negara menunjukkan sebuah kegagalan moral dan etika yang serius dalam politik. Menggunakan perspektif filsafat kontemporer, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan ini bukan hanya sebuah penghindaran terhadap tanggung jawab pribadi, tetapi juga sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dasar keadilan sosial, kebebasan politik, dan tanggung jawab kolektif.
Politisi yang melarikan diri bukan hanya kehilangan kredibilitas sebagai pemimpin, tetapi mereka juga merusak integritas sistem politik yang mengharapkan mereka untuk berkontribusi pada perubahan positif. Dalam masyarakat demokratis, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bekerja bersama demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, tindakan “lari meninggalkan negeri” ini harus dilihat sebagai tanda dari krisis dalam sistem politik yang lebih besar, dan memerlukan refleksi mendalam tentang etika, moralitas, dan tanggung jawab dalam kepemimpinan. Namun, harus diakui ditengah-tengah mereka masih ada mutiara-mutiara yang indah bekerja dalam diam. Mereka tidak ikut berjingkrak- jingkrak saat rakyat sedang menderita, mereka bicara tidak asal bunyi, dan mereka tetap santun mau mendengar dan menyadari untuk berubah sesuai norma dan etika kepatutan. Selamat berjuang dalam sunyi wahai orang-orang baik.