Surga Anak dan Orang Tua
Eko J Saputra Surga anak di bawah telapak kaki ibu. Ya, kita tidak bisa mempungkiri bahwa di balik sukses seseorang ada ridho dan doa orang tua, khususnya ibu. Namun, tahukah Anda “surga” orang tua? Tak bisa dipungkiri salah satu keba...

Eko J Saputra
Surga anak di bawah telapak kaki ibu. Ya, kita tidak bisa mempungkiri bahwa di balik sukses seseorang ada ridho dan doa orang tua, khususnya ibu. Namun, tahukah Anda “surga” orang tua? Tak bisa dipungkiri salah satu kebahagiaan orang tua ketika anaknya hidup sukses dan bahagia.
Sebelum melanjutkan artikel ini, saya ingin mengajukan pertanyaan kepada Anda. Pernah mendengar orang tua mengeluh karena anaknya bermalah?
Contohnya “Saya itu stress gara-gara kelakuannya. Tidak mau menurut orang tua, hidup maunya sendiri. Padahal semua keinginannya sudah dipenuhi. Dasar anak tak tahu diri!.” ada lagi yang mengatakan begini “Saya nggak tahu maunya anak itu. Sekolah tidak mau, diomongin suka melawan. Kesel saya dibuatnya.”
Malah, saking keselnya, ada orang tua lupa dengan anaknya.”Disuruh sholat nggak mau, diomongin nggak pernah dengar. Kalau ngomong suka bentak-bentak sama orang tua. Anak siapa kali kamu ini?.”
Anda akrab dengan keluhan orang tua seperti itu. Atau Anda sendiri yang mengalaminya? he he he. Tenang..tenang tak perlu panik. Tak ada yang salah dengan anak Anda.
Justu saat Anak kita “bermalasah” kita bersyukur bahwa selama ini kita belum tepat mendidik mereka. Selanjutnya, cari tahu bagaimana menjadi orang tua efektif dalam mendidik anak.
Perlu disadari bahwa orang tua adalah profesi paling lama dan paling mulia di muka bumi ini. Masalah muncul, saat saat kita tidak memiliki pengetahuan mendidik anak. Padahal menjadi orang tua yang baik itu membutuhkan pembelajaran seumur hidup.
Menjadi orang tua yang baik tidak cukup belajar dalam seminar, workshop satu dua hari saja. Sebab setiap saat situasi dan kondisi terus berubah. Selain itu setiap anak memiliki keunikan berbeda.
Repotnya lagi, kita tidak pernah dididik menjadi orang tua. Tiba-tiba kita menikah, kemudian memiliki anak. Resmilah kita menjadi ayah dan ibu. Yang perlu disadari ayah dan ibu belum tentu orang tua. Namun, orang tua sudah pasti ayah dan ibu.
“Lha…orang tua saya dulu nggak pernah belajar mendidik anak. Malah, saya dulu sering dipukul, dihukum sama ayah. Tapi Alhamdulillah hidup saya sukses. Menurut saya sih tergantung anaknya. Kalau memang mental bagus, hidupnya bisa sukses,” ujar salah satu peserta seminar parenting.
Kepada peserta ini saya katakan “Kalau orang tua Anda dulu sudah belajar parenting, nasib Anda mungkin jauh lebih sukses dari sekarang.”
Mendapat jawaban saya seperti itu peserta ini hanya mengangguk-anggukan kepala sambil mengatakan “Benar juga ya pak Eko.”
Rekan FB yang berbahagia kita tidak pengalaman menjadi orang tua. Namun pengalaman menjadi anak. Saat mendidik anak-anak, kadang kita mengikuti apa yang dilakukan orang tua kepada kita. Padahal, apa yang dilakukan orang tua kita tidak semuanya benar dan sesuai dengan kondisi anak kita.
Nah, mata rantai ini harus kita putus. Sebab apa yang kta berikan sekarang akan menjadi salah satu pola bagi generasi kita selanjutnya.
Faktanya anak yang dididik dengan keras–baik laki-laki maupun perempuan–justru kelak dewasa anak tidak percaya diri, harga diri rendah, beprilaku kasar, dan sering menyelesaikan masalah dengan kekerasaan. Bahkan, pengalaman membantu klien di kursi terapi, anak laki-laki yang dididik dengan kekerasan di masa kecil cenderung menjadi anak feminim dan terlibat penggunaan narkoba.
Jangan melakukan pembenaran saat anak bermasalah akibat pengaruh lingkungan. Bisa jadi anak bermasalah karena kita mendidiknya saat sedang “bermasalah”. Karena itu teruslah belajar menjadi orang tua yang baik.
Jangan sampai anak kita tidak bisa menemukan surga meski di bawah telapak kaki ibunya. Begitu juga dengan kita, jangan sampai menyesal akibat ketidaktahuan cara mendidik anak. Yang pasti tak ada kata terlambat. Teruslah belajar, sebelum kita “dibodohi” dan “lupa” dengan anak sendiri.
Perlu kita sadari, anak adalah titipan. Maka, rawat dengan baik dan jangan dirusak agar yang menitipkan tidak marah. Percayalah, jika kita menyediakan panggung yang baik untuk anak-anak, kelak mereka akan menyediakan panggung lebih besar dan megah untuk kita berdiri di sana. Terakhir saya mengutip puisi karya Khalil Gibran. Semoga bisa menjadi renungan kita.
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.