Uji Nyali dari Kabupaten Pati
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Jagat media sosial minggu-minggu ini dihiasi dengan keriuhan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang Bupati-nya mendapat respons kurang menyenangkan dari rakyatnya. Sumber utama dari keriuhan itu ada...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Jagat media sosial minggu-minggu ini dihiasi dengan keriuhan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang Bupati-nya mendapat respons kurang menyenangkan dari rakyatnya. Sumber utama dari keriuhan itu adalah pada 18 Mei 2025, Bupati Sudewo memutuskan menaikkan tarif PBB‑P2 hingga sekitar 250 %, dengan alasan tarif pajak sebelumnya tidak pernah disesuaikan dalam 14 tahun terakhir. Tujuannya adalah meningkatkan penerimaan daerah untuk pembangunan infrastruktur, renovasi RSUD RAA Soewondo, dan program pertanian-perikanan.
Meskipun tujuan kenaikan pajak itu mulia, namun reaksi masyarakat berbeda. Diduga, hal itu karena dialog atau musyawarah tidak pernah dilakukan terlebih dahulu.
Keputusan itu memicu gelombang protes keras. Di media sosial dan forum publik, warga mengkritik kebijakan tersebut sebagai “tidak manusiawi”. Mahasiswa PMII Cabang Pati melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati pada 3 Juni 2025, membakar ban, memasang spanduk kritis, dan menuntut pencabutan kebijakan.
Bupati memilih tidak menemui massa, memicu ketegangan lebih lanjut. Video pernyataan Bupati yang viral menunjukkan keengganan untuk mencabut kebijakan, bahkan menantang rakyat untuk mengerahkan 50.000 demonstran: “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar, keputusan tidak akan saya ubah.”
Walaupun pada akhirnya Bupati meminta maaf dan mencabut aturan itu, untuk menghindari benturan, ia berkeputusan untuk pergi umrah. Terlepas dari semua hal yang melatarbelakangi peristiwa ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, untuk dijadikan pembelajaran kedepan kepada siapapun yang memimpin negeri ini.
Sikap dan kebijakan Bupati yang dianggap arogan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat mengundang kritik tajam. Dari perspektif filsafat sosial, kejadian ini bukan hanya masalah kebijakan publik semata, melainkan soal legitimasi kekuasaan, kontrak sosial, dan hak-hak warga negara yang fundamental. Tulisan ini akan membedah kasus tersebut dengan menggunakan kerangka berfikir filsafat sosial untuk memahami implikasi etis dan sosial dari tindakan seorang pemimpin yang “menantang” rakyatnya.
Filsafat sosial klasik, terutama karya-karya Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, menegaskan bahwa kekuasaan politik memperoleh legitimasi dari persetujuan rakyat yang diperintah. Kontrak sosial adalah fondasi hubungan antara penguasa dan rakyat yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam konteks ini, pemimpin berkuasa bukan untuk memaksakan kehendaknya secara sewenang-wenang, melainkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara adil dan bertanggung jawab.
Kenaikan PBB-P2 sebesar 250% tanpa konsultasi publik yang memadai dan diiringi sikap menantang rakyat untuk melakukan demo adalah tindakan yang melanggar esensi kontrak sosial. Bupati dengan pernyataannya yang menantang, seperti berkata, “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar,” menunjukkan bahwa ia lebih mengedepankan otoritasnya daripada fungsi pelayan publik yang bersandar pada legitimasi dari rakyat. Dengan demikian, kekuasaannya berisiko kehilangan landasan moral yang sangat penting dalam filsafat sosial.
Menurut teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas, legitimasi politik tidak hanya bersandar pada mekanisme formal pemilihan, tetapi juga pada komunikasi yang rasional dan dialog antara pemerintah dan rakyat. Hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, mengkritik, dan mengorganisasi protes adalah bagian dari hak politik fundamental yang tidak boleh diabaikan oleh pemimpin.
Sikap menantang rakyat dengan nada konfrontatif memperlihatkan ketidakmampuan pemimpin untuk berkomunikasi secara dialogis. Ketika rakyat protes sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan atas kebijakan yang dianggap memberatkan, respons yang tepat dari pemimpin seharusnya adalah membuka ruang diskusi, mendengar aspirasi, dan mencari solusi bersama. Sebaliknya, sikap menantang dan tidak peduli pada aspirasi rakyat justru memperlemah kewajiban moral seorang pemimpin dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
Sementara itu dalam perspektif filsafat sosial modern, kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan sebagai pelayanan (servant leadership). Robert K. Greenleaf menekankan bahwa seorang pemimpin sejati adalah yang mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemimpin harus bertindak sebagai pelayan masyarakat, membangun kepercayaan, dan menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat hidup sejahtera dan bermartabat.
Kasus Bupati Pati menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip kepemimpinan tersebut dengan realitas tindakan Bupati Sudewo. Alih-alih berupaya menjelaskan secara empatik alasan kenaikan pajak dan mendengarkan keluhan rakyat, ia memilih sikap defensif dan menantang yang memecah kepercayaan publik. Padahal, dalam filsafat sosial, kepercayaan adalah modal utama hubungan sosial yang sehat dan berkelanjutan antara pemimpin dan rakyat.
John Rawls, salah satu tokoh filsafat politik kontemporer, menekankan pentingnya prinsip keadilan sebagai fairness (kesetaraan dan kewajaran). Kebijakan publik harus memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan mengutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan. Kenaikan pajak secara drastis yang tidak diimbangi dengan komunikasi dan kompensasi sosial yang memadai berpotensi menambah beban masyarakat miskin dan menengah.
Untuk konteks Pati, warga yang menggantungkan hidup pada usaha kecil dan sektor pertanian menjadi sangat terdampak oleh kenaikan PBB-P2. Pemerintah daerah, melalui Bupati, seharusnya bertanggung jawab melakukan kajian sosial-ekonomi yang matang dan menerapkan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat kecil.
Menantang rakyat yang protes atas beban tersebut bukanlah sikap seorang pemimpin yang adil dan bertanggung jawab, melainkan sebuah indikasi pengabaian terhadap keadilan sosial.
Sikap arogan dan menantang rakyat bukan hanya berdampak pada legitimasi kekuasaan secara normatif, tetapi juga berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial.
Filsafat sosial menegaskan pentingnya solidaritas dan kohesi sosial dalam menjaga stabilitas masyarakat. Ketegangan antara pemerintah dan rakyat yang muncul dari tindakan pemimpin yang kurang empatik dapat memicu konflik, protes massa, dan ketidakpercayaan jangka panjang terhadap institusi pemerintahan.
Fenomena demonstrasi mahasiswa dan warga di Pati bukan hanya reaksi atas kenaikan pajak, tetapi juga simbol ketegangan sosial yang lebih dalam. Ketika pemimpin gagal merangkul rakyat dan malah menantang mereka, ruang dialog dan rekonsiliasi sosial menjadi tertutup. Ini mengancam harmoni sosial yang seharusnya dijaga oleh seorang pemimpin.
Filsafat sosial menggaariskan bahwa, akuntabilitas merupakan pilar penting bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Seorang pemimpin harus transparan dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas dampak kebijakan yang diambil.
Etika kepemimpinan menuntut kesadaran moral dan kesediaan untuk menerima kritik. Bupati Sudewo, setelah gelombang protes dan intervensi pemerintah pusat, akhirnya menyampaikan permintaan maaf. Ini menunjukkan adanya kesadaran atas kegagalan komunikasi dan implikasi sosial dari kebijakan yang diambil.
Namun, penundaan permintaan maaf dan sikap awal yang menantang rakyat menunjukkan lemahnya etika kepemimpinan dalam konteks ini.
Kasus Bupati Pati 2025 memberikan pelajaran penting dari kacamata filsafat sosial tentang bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan kekuasaannya.
Legitimasi kekuasaan tidak bisa dibangun hanya dari posisi jabatan atau kemampuan mengambil keputusan sepihak, melainkan harus bersandar pada kontrak sosial, dialog yang rasional, pelayanan kepada rakyat, keadilan sosial, dan akuntabilitas. Pemimpin yang arogan dan tidak responsif terhadap aspirasi masyarakat berisiko merusak kohesi sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Pemimpin sejati adalah yang mampu menginspirasi, melayani, dan menjaga keadilan, bukan yang mengancam dan menantang rakyatnya.***