Runtuhnya Kerajaan Kroni

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Beberapa hari lalu saat saya melakukan kunjungan ilmiah bersama mahasiswa pascasarjana di satu perguruan tinggi terkenal di Pulau Dewata. Rombongan disuguhi satu sandratari hebat y...

Runtuhnya Kerajaan Kroni

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Beberapa hari lalu saat saya melakukan kunjungan ilmiah bersama mahasiswa pascasarjana di satu perguruan tinggi terkenal di Pulau Dewata. Rombongan disuguhi satu sandratari hebat yang dimainkan oleh para pekerja seni. Menikmati hasil karya seni itu seperti dihadapkan suatu kilas balik yang sedang menjadi berita utama, karena peristiwa “pelipatan” uang masuk suatu perguruan tinggi negeri terkenal di daerah ini, yang juga menjadi tempat berpijaknya kaki hamba.

Sandratari itu menceritakan bagaimana kacaunya suatu negeri jika penjaga marwah negeri, tetapi mempecundangi negerinya sendiri, hanya karena syahwat duniawi yang tidak terkendali. Seorang pemimpin utama negeri itu saat berpidato di mana mana dan teriak “anti radikalisme”. Teriakan itu  dijadikan senjata untuk membunuh karakter lawan-lawanya;,namun dibelakang menerima suap bermiliar rupiah dengan cara menggadaikan harga diri lembaganya. Lebih sadis lagi, semua yang berbeda dianggap musuhnya. Sebab itu pula, tembok rumah ibadah hasil wakaf orang, karena kekurangan musuh ya harus dirobohkan. Padahal dirinya sebagai pemimpin yang selalu memakai identitas keyakinan ke mana mana dan merasa paham akan ajaran agamanya. Semua itu tidak membuat dirinya tawaduk.

Lebih sadis lagi apa yang muncul hari ini sebagai hasil proses panjang masa lalu. Seolah semua hasil kerjanya. Kesuksesan diklaim sebagai hasil kerjanya, sementara kerja yang gagal disebutnya sebagai peninggalan pemimpin masa lalu. Ia mendaku tidak tidak terlibat dalam kegagalan. Ia menepuk dada sebagai pemimpin tersukses, meskipun  pernah didemo oleh anak ajarnya karena dianggap tidak memiliki kapabilitas  di saat yang  menjadi raja muda bagian anak ajar.

Pembersihan dilakukan di mana mana; terutama bagi keluarga yang tidak tahu dosa dari para lawan politik. Tidak ada ukuran jelas. Yang ada pemberhentian dengan hormat atau putus kontrak bagi para “kurcaci”. Lebih dari tiga puluh orang diberhentikan tanpa alasan yang rasional akademik. Mereka yang tertindas pun hanya bisa mengadu kepada Tuhan. Mereka merintih di hadapan Tuhan setiap malam untuk mohon keadilan.

Semua seolah didorong ke puncak “nikmat”. Mereka yang diberi posisi “mengawasi” dan atau “memberikan pertimbangan”, juga diajak bermain, karena yang bersangkutan memang pemain licik. Sempurnalah permainan tad:  hakim garis ikut masuk kelapangan menendang bola mencapai gol. Dengan cara merangkap menjadi “pengumpul” serta “calo” juga “pengumpan”. Jadilah pertunjukan menjadi seru  bahkan horor dalam arti moral.

Itu belum cukup. Masih ditambah lagi ingin jabatan menjadi “Kepala Unit Kerja Para Murid”. Dengan demikian jabatan tiga dirangkap sekaligus:sebagai pengawas, sebagai kepala perdikan, satu lagi kepala kumpul kawula muda yang berkarya. Istana dibangun, kendaraan dibeli, bahkan saat mau pelantikan menjadi kepala perdikan, sudah menyiapkan kuda warna putih yang keluaran terakhir baru, istana kayu yang megah bagai istana kepala perdikan (awal perintisan) Kerajaaan Majapahit.

Ada satu sesi hampir lupa; ternyata kepala perdikan juga ingin bergelar akademik tertinggi. Ia pun ambil sekolah yang bisa diatur-atur; karena di sana ada gurunya yang tidak disukai. Maka, dengan menggunakan kekuasaannya memerintah kepala sekolah untuk memecat gurunya, supaya tidak mengajar lagi. Guru ini sedih melihat perilaku muridnya yang “murtad”. Beliau hanya bisa mengelus dada. Demi memuaskan nafsu muridnya, Sang Guru memilih menepi  naik ke pertapaan sambil berdoa semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk semua. Aneh bin ajaib, ternyata kepala sekolahnya nyengir kuda tampak girang bisa memenuhi selera penguasanya. Padahal, yang baru saja ditendangnya adalah  mahaguru yang pernah malang melintang di organisasi. Bekal itu menjadi kandas hanya karena memenuhi syahwat tuannya.

Pada saat bersamaan, ternyata ada Pangeran Adipati ahli hukum, di antaranya hukum rimba selalu mewakili dan mendampingi Sang Pemimpin. Namun Sang Adipati punya jabatan tersembunyi yaitu, pengumpul dan pengepul rezeki hasil memijit calon wadya. Upeti itu harus diserahkan kepada paduka pemimpin. Tentu saja tidak ada yang gratis. Jadilah kerajaan itu “sempurna” rusaknya.

Tidak lama kemudian datang Batara Wisnu yang berubah wujud sebagai raksasa perkasa yang mampu menelan apa saja. Sang pemimpin yang rakus, pengawas yang mabok, serta adipati kentir diringkus Batara Wisnu. Mereka dirikngkus karena telah memakan barang sukerta. Padahal, barang sukerta  itu jatah Batara Kala. Akhirnya mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng besi untuk menerima hukuman dari Wisnu.

Diringkusnya paduka pemimpin itu seolah menjawab rintihan dan doa orang-orang yang pernah dilaliminya kepada Tuhan setiap malam untuk mohon keadilan. Tuhan menurunkan azab dengan caranya.

Bagaimana perilaku yang tinggal, justru ini yang menarik. Mereka ternyata terbagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama, kelompok pahlawan kesiangan. Selama ini mereka ada dibelakang pemimpin korup dan tidak menutup kemunginan juga menikmati kekorupan. Mereka sekarang teriak paling nyaring untuk membersihkan diri seolah tidak “kecipratan” dosa sukerta. Semula menjadi corong kesuksesan pemimpin/penguasa, sekarang berubah mendadak seratus delapan puluh serajat, menjadi corong pembela marwah, sampai sampai rumput pun tertawa melihat perilaku ini.

Kelompok kedua, para “tetua” yang prihatin. Mereka prihatin; semua yang mereka ikut bangun dulu, menjadi berantakan. Sayang para tetua ini sudah “ompong” dan “buyuten”; sehingga bentuk keprihatinan ini saja yang bisa mereka suarakan. Yang mereka bangun adalah gerakan moral. Paling tidak, mereka menunjukkan bahwa mereka masih peduli dengan rumahnya dulu, yang sekarang sudah menjadi karang abang.

Kelompok ketiga, mereka yang hanya menjadi pemandu sorak. Ikut ramai tetapi tidak paham apa yang diramaikan. Bahkan waktu ditanya apa persoalan mereka berteriak, jawabannya mereka tidak mengerti mengapa harus teriak. Kelompok ini hanya ikut anut grubyuk (ikut-ikutan saja).

Di antara ketiga kelompok tadi ada serpihan yang berserak. Mereka tidak termasuk ketiga kelompok tadi; tapi merupakan individu individu tangguh yang kehilangan semangat, karena musibah ini. Mereka inilah yang diharapkan dapat disentuh untuk diikat pada suatu ikatan semangat bersama guna penyelamatan bersama; walaupun karena kekhasan mereka, ikatan itu bersifat mencair, namun mereka saat inilah yang diharapkan menjadi poros juang.

Di balik semua itu ini adalah momen penting yang datang dari “langit” yang dikirimkan Tuhanuntuk membersihkan sukerta selama ini, tinggal bagaimana petinggi yang didatangkan dan ditugaskan dari “lembaga tinggi negeri ini” untuk membenahi serakan puing. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika paling tidak ada dua saran yang dapat diberikan. Pertama, lakukan segera keliling perdikan untuk menangkap aspirasi bawah, terutama berkaitan dengan keberlanjutan perdikan ini kedepan.

Kedua, lakukan “pemotongan” sistem dengan tidak menggunakan lagi personil pada lingkar satu kepemimpinan untuk memimpin kedepan lembaga, agar tidak ada dosa sejarah yang terbawa ke masa depan. Karena semua itu akan menyandera lembaga ini untuk melangkah lebih “merdeka”. Ketiga, jangan gunakan hak suara “atas” yang membuat demokrasi terpasung; hal ini pernah dirisaukan oleh semua pihak, aneh jika Perdikan orang orangnya di luar teriak demokrasi, sementara perdikannya sendiri pemasung demokrasi dengan adanya suara langit yang terkadang tersesat kelaut.

Sebelum layar pertunjukan ditutup; mari minum kopi hangat sambil berdoa, semoga hari depan menjadi lebih baik lagi.

Selamat ngopi terpahit di dunia!