Antara Lelucon dan Renungan

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Akhir-akhir ini kita sering dihadapkan dengan kondisi yang menggelikan sekaligus memilukan. Ungkapan satir “mau tertawa takut dosa” seolah pelarian kata yang menjadi media ungkap kondisi psikol...

Antara Lelucon dan Renungan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Akhir-akhir ini kita sering dihadapkan dengan kondisi yang menggelikan sekaligus memilukan. Ungkapan satir “mau tertawa takut dosa” seolah pelarian kata yang menjadi media ungkap kondisi psikologis saat ini. Tidak jarang dalam keseharian kita menyaksikan, merasakan bagaimana pengatur negeri ini berakrobat humor; sehingga ada rasa geli, tetapi juga sedih, bercampur kecewa. Bisa dibayangkan seseorang sudah enam tahun kasusnya sudah memiliki ketetapan hukum, tidak juga menjalani hukumannya; tetapi malah bisa melenggang di luar sabahkan diangkat jadi petinggi di Perusahaan Milik Negara.

Ada seorang dermawan usia lanjut, digiring untuk menjadi tersangka perkara pembebasan tanah. Bahkan, dengan tergolek di ranjang rumah sakit dengan tangan kanan kiri  terpasang infus; namun tetap saja diperkarakan untuk hadir di meja hijau.

Terakhir lebih seru lagi, seorang anggota parlemen terhormat mengupat “rakyat tolol”; padahal semua orang juga mengetahui bahwa dirinya yang lebih tepat dikatakan seperti apa yang diucapkan. Dan, kita semua mengetahui bahwa dirinya adalah “pengemis suara rakyat” yang paling elegan. Tampak semuanya tidak baik-baik saja, tetapi juga sekaligus menggelikan, dan menggetirkan.

Tulisan ini mencoba melihat yang ada di dalamnya dari sudut pandang filsafat kontemporer.

Humor, tawa, dan lelucon sering dianggap sebagai hiburan ringan, pelarian sejenak dari beratnya hidup. Namun di balik kelucuan itu, terselip kemungkinan makna yang lebih dalam: refleksi eksistensial, kritik sosial, bahkan bentuk keberanian. Di era kontemporer, filsafat tidak lagi membatasi dirinya pada ruang akademik yang serius dan kaku.

Sebaliknya, filsuf masa kini mulai memandang humor sebagai pintu masuk untuk memahami realitas manusia yang absurd, kompleks, dan penuh kontradiksi. Secara historis, hubungan antara filsafat dan humor tampak kontradiktif. Filsafat dianggap serius, reflektif, mendalam; humor dianggap ringan, spontan, bahkan remeh. Tapi semakin ke sini, banyak pemikir menyadari bahwa di dalam humor, tersembunyi logika, paradoks, dan kritik terhadap tatanan sosial yang mapan.

Filsuf seperti Henri Bergson dalam Laughter (1900) menyatakan bahwa tawa muncul ketika ada “mekanisme yang salah tempat” , ketika ada sesuatu yang seharusnya hidup dan fleksibel tetapi justru kaku dan mekanis. Menurut Bergson, lelucon adalah cara kita menertawakan kekakuan sosial, kelakuan robotik manusia, dan struktur kehidupan yang tidak lagi organik.

Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, tokoh-tokoh eksistensialis, juga menyentuh dimensi humor ketika membahas absurditas. Bagi Camus, hidup ini absurd karena manusia mencari makna dalam dunia yang tidak memberikannya. Maka, tawa menjadi bentuk perlawanan. Seperti dalam mitos Sisifus: meski mendorong batu ke puncak bukit berulang-ulang, Sisifus bisa dibayangkan bahagia, karena ia menertawakan absurditas itu sendiri.

Dalam konteks budaya, lelucon adalah alat yang sangat ampuh untuk membongkar kepalsuan sosial. Di tangan masyarakat, humor menjadi bentuk “kearifan rakyat” yang membungkus kritik tajam dalam tawa. Guyonan menjadi saluran untuk menyampaikan apa yang tak bisa dikatakan secara langsung ; karena terlalu berisiko, terlalu menyakitkan, atau terlalu rumit.

Contohnya adalah istilah “gombal Mukiyo” dalam budaya Jawa. Secara literal terdengar lucu, seolah sekadar umpatan atau candaan tentang janji manis yang tak pernah ditepati. Namun di baliknya ada makna sosial: sebuah bentuk perlawanan terhadap manipulasi kata-kata, janji politik kosong, dan realitas yang tidak berpihak.

“Gombal Mukiyo” adalah sindiran yang ringan, tapi dalam. Ini bukan sekadar olok-olok; ini adalah renungan tentang kebohongan publik yang terlalu sering dibalut estetika bahasa.

Filsafat kontemporer memandang fenomena seperti ini sebagai bentuk “tindakan simbolik” ; di mana masyarakat, lewat bahasa dan lelucon, menegosiasikan kekuasaan. Slavoj Žižek, misalnya, sering menyebut bagaimana humor, bahkan yang tampak vulgar atau sembrono, bisa menjadi ekspresi politik paling otentik. Tawa, menurut Žižek, adalah bentuk paling jujur dari kesadaran kritis.

Humor juga bisa diarahkan ke dalam, yaitu sebagai bentuk autokritik. Banyak filsuf kontemporer melihat humor sebagai cara manusia untuk menjaga kewarasan dalam dunia yang penuh tekanan. Dalam perspektif psikoanalitik, tawa bisa menjadi mekanisme pertahanan: saat kita terlalu takut untuk menangis, kita memilih tertawa.

Søren Kierkegaard, tokoh eksistensialisme awal, pernah menyebut ironi sebagai bentuk tertinggi dari kesadaran diri. Ironi memungkinkan seseorang melihat dirinya sendiri dari luar, menyadari absurditas tindakannya, dan tertawa atas kebodohan manusiawi yang tak terhindarkan. Dalam konteks ini, lelucon menjadi alat introspeksi. Saat kita menertawakan sesuatu, sesungguhnya kita juga menertawakan diri sendiri , atau paling tidak apa yang pernah kita percayai.

Dalam dunia kontemporer yang serba cepat, penuh paradoks, dan cenderung absurd, tawa menjadi semacam penyembuh eksistensial. Dunia pascamodern dipenuhi simulasi, hiper-realitas, dan ilusi kebebasan ; sebagaimana dikritik oleh Jean Baudrillard.

Di tengah semua itu, humor muncul sebagai semacam ‘lubang udara’ , yaitu momen ketika kita bisa berhenti sejenak dan menyadari: bahwa kita sedang berada di panggung sandiwara besar. Humor dalam konteks ini menjadi alat dekonstruksi. Ia bisa melucuti jargon, membongkar kemunafikan, dan memaksa kita untuk melihat kenyataan secara telanjang. Humor adalah pisau tajam yang tidak menyayat, tapi menggelitik. Dan dalam gelitik itulah, kesadaran bisa tumbuh.

Humor adalah wilayah antara kesenangan dan kesadaran, antara lelucon dan renungan. Ia adalah jalan tengah yang memungkinkan kita untuk berpikir, tanpa merasa digurui. Untuk mengkritik, tanpa harus membenci. Untuk menertawakan kebodohan, tanpa kehilangan kasih terhadap sesama manusia. Di zaman yang penuh dengan polarisasi, kebohongan yang dibungkus estetika, dan kenyataan yang semakin absurd, mungkin kita tak butuh terlalu banyak argumen.

Mungkin yang kita butuhkan adalah tawa, tetapi tawa yang penuh kesadaran. Sebab di balik satu lelucon yang baik, tersimpan ribuan renungan yang tak terucapkan. Jika kita bisa tertawa sambil merenung, mungkin kita sudah selangkah lebih dekat menuju kearifan.

Oleh sebab itu, menyikapi kondisi yang sedang tidak baik-baik saja ini, tertawa adalah oase paling jitu untuk dijadikan pilihan; agar supaya kita tetap pada posisi waras.