Nagabumi

Asarpin* Seorang pendekar tua baru saja menginjak usia 100 tahun setelah bersemadhi selama seperempat abad di gua yang sunyi. Sewaktu masih separuh baya, sang pendekar pernah mengalahkan seratus lawan yang paling tangguh di seantero Jawa dan Su...

Nagabumi
Asarpin*
Seorang pendekar
tua baru saja menginjak usia 100 tahun setelah bersemadhi selama seperempat
abad di gua yang sunyi. Sewaktu masih separuh baya, sang pendekar pernah
mengalahkan seratus lawan yang paling tangguh di seantero Jawa dan Sumatera.
Sejak itu ia meninggalkan dunia persilatan dan menyucikan diri kembali. Setelah
keluar dari pengasingan ia berharap tak ada lagi yang mengenal dan mengejarnya.
Tapi di dunia persilatan
rupanya tak mudah menyembunyikan otot kependekaran hingga ia terus diburu oleh
putra dan murid para pendekar sakti yang pernah dibantainya dalam satu
pertarungan melelahkan. Ke mana pun pendekar tua itu pergi,  lawan-lawannya meyakini bahwa dia pendekar
yang mereka cari selama bertahun-tahun. Ia kembali bentrok dengan para pendekar
itu, walau pun ia telah bersumpah untuk meninggalkan dunia persilatan.  
Sejak keluar dari
pertapaan, sang pendekar sangat kaget melihat begitu banyak aliran Budha, dan
semuanya terpecah-pecah. Dunia penuh intrik, teror, kekerasan, pembunuhan,
pembantaian, horor dan pertumpahan darah.
Kisah itu menjadi
latar pembuka novel setebal 1.500 halaman lebih karya Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi I dan II, dengan latar  jaman keemasan Budha abad 8 dan 9 Masehi.  Situasi yang terjadi dalam novel ini seperti
bertolak belakang dengan visi Budha sendiri yang mengajarkan dukha dan menjauhkan umatnya dari
kekerasan dunia. 
Saya tak tahu
fakta sesungguhnya zaman kejayaan Budha di Nusantara, apakah pada masa itu
memang masa kelahiran banyak pendekar silat yang tangguh,  penuh persekongkolan,  kepentingan dan bunuh-membunuh. Nietzsche, dalam
bukunya Anti-Krist pernah menyatakan:
“Budha adalah agama tanpa militerisme. Agama
ini berada di seberang antara baik dan jahat, suatu sensibilitas yang berlebihan dalam mengekspresikan diri sebagai
kemampuan tinggi untuk merasakan sakit, suatu kemenangan impersonalitas  di
atas personalitas, dan ia menuntut  tidak dilakukannya
perlawanan terhadap mereka yang berpikiran beda, dan permusuhan tidak dilawan
dengan permusuhan”.
Sebuah sajak
tentang Budha dari Karen Amstrong yang termuat dalam Menerobos Kegelapan, yang agaknya perlu saya kutip:
semoga rasa cinta kita memenuhi semesta
di atas, di bawah, di seberang, tanpa
batas.
Kebaikan tak berhingga pada semesta
tak berbatas, bebas dari benci dan
perseteruan
Budha adalah
ajaran “tak terbatas, bebas dari benci dan persetruan”. Tapi mungkin itu gambaran
Budha di Tibet yang berbeda dengan Budha di Nusantara. Di Myanmar yang terdapat
banyak patung Budha, kekerasan juga silih berganti dan para biksu tak jarang berbenturan
fisik dengan junta militer.
Barangkali Nagabumi ingin mengatakan: tidak ada
satu pun agama di muka bumi ini—bahkan yang paling pasif seperti Budha sekali
pun—yang sepenuhnya terbebas dari kekerasan. 
Walau pun berkali-kali para tokoh novel ini menegaskan, bukan karena
agama dendam dan pertumpahan darah terjadi, tapi karena politik. Mirip
klaim-klaim kaum Muslim terhadap sejarah perpecahan di tubuh umat Islam
sepeninggalan Rasul yang kemudian melahirkan banyak aliran dan mazhab.  Politik selamanya dijadikan kambing-hitam,
seolah-olah agama tak punya andil dalam menebarkan ketakutan dan kengerian.
*Esais