Menunggu Gagasan Orisinal
Oleh Syamsuddin Haris* Setelah memperoleh mandat politik dari Megawati Soekarnoputeri untuk menjadi calon presiden PDI Perjuangan, kini publik menunggu Joko Widodo bicara tentang mimpi-mimpinya untuk Indonesia kita. Tetapi perlukah Jokowi bicara?...
Setelah
memperoleh mandat politik dari Megawati Soekarnoputeri untuk menjadi calon
presiden PDI Perjuangan, kini publik menunggu Joko Widodo bicara tentang
mimpi-mimpinya untuk Indonesia kita. Tetapi perlukah Jokowi bicara?
bukan hanya perlu, tetapi harus. Sebagai capres yang akan menjabat kepala
negara dan kepala pemerintahan sekaligus, Jokowi harus mempunyai mimpi tentang
bangsa ini sekurang-kurangnya untuk lima tahun ke depan. Bagaimana Tanah Air
kita yang kaya raya namun terperangkap “salah urus” tak berkesudahan ini
dikelola secara benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apa saja resep
dan strategi kebijakan yang akan ditawarkan Jokowi sebagai solusi untuk
mengatasi misalnya, krisis pangan dan energi, kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi, daya saing ekonomi bangsa yang rendah, pengelolaan sumberdaya alam
yang justru semakin memiskinkan rakyat, korupsi yang masih merajalela, dan
seterusnya.
Sebagai calon pemimpin nasional yang akan menentukan arah sejarah ke mana
bangsa kita hendak menuju, Jokowi harus bicara mimpi-mimpinya tentang Indonesia
ke depan. Rakyat di manapun, termasuk di negeri kita, membutuhkan pemimpin yang
mampu memberi mereka harapan akan hari esok yang lebih baik dan menjanjikan.
Tentu saja bukan mimpi dan janji yang bersifat pepesan kosong belaka, melainkan
mimpi yang realistik serta sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimiliki
bangsa kita. Dukungan rakyat bagi pemimpin yang mampu memberi harapan adalah
energi dahsyat yang bisa dikelola, bukan hanya untuk memupuk semangat patriotik
mencintai bangsa sendiri, tetapi juga untuk menghadapi rongrongan bangsa lain.
Politik
berbulan-bulan berbagai media dan lembaga survei menyuguhkan potensi
elektabilitas setiap capres, termasuk Jokowi, sudah waktunya kita mendorong
para capres memformulasikan strategi kebijakan mereka untuk mengatasi aneka
persoalan krusial bangsa ini. Publik berhak tahu, bagaimana misalnya, Jokowi
memahami dan mengenali masalah krisis pangan dan energi, apa strategi kebijakan
yang ditawarkan sebagai solusi, dan seterusnya. Singkatnya, apa dan bagaimana
sesungguhnya paradigma atau cara pandang Jokowi sebagai capres dalam soal-soal
strategis bangsa kita.
dasar cara pandang dan strategi kebijakan yang ditawarkan itu, publik bisa
memberikan penilaian secara relatif jujur terhadap sosok Jokowi. Secara
obyektif, negeri kita tak hanya membutuhkan pendekatan dan gaya kepemimpinan
yang merakyat ala Jokowi, tapi juga program dan strategi kebijakan alternatif
dalam mengatasi aneka persoalan krusial bangsa kita. Dengan begitu kita semua
tak hanya bisa memutuskan untuk memilih calon pemimpin yang benar, melainkan
juga turut menjadikan momentum pemilu sebagai sarana pendidikan politik serta
pencerdasan masyarakat.
kampanye pendahuluan para capres yang memanfaatkan momentum pemilu legislatif
saat ini cenderung tidak mendidik. Forum kampanye menjadi ajang untuk menyerang
dan menyindir capres dari parpol lain ketimbang meyakinkan publik bahwa program
politik yang ditawarkan benar-benar realistik bagi masa depan Indonesia yang
lebih baik. Ada pula capres yang mencitrakan diri sebagai wong cilik dengan
cara berpura-pura menjadi pedagang kecil, tukang becak, dan seterusnya.
Seolah-olah rakyat kita mudah tertipu oleh cara pencitraan diri seperti itu.
massa pendukung para capres pun turut saling memburukkan lawan politik idola
mereka masing-masing. Sebagaimana terekam melalui berbagai media sosial seperti
twitter dan facebook, pertarungan antarpendukung capres tak jarang emosional,
sehingga berbagai informasi sampah pun dikunyah dan dijadikan dasar argumen.
“Utuh”
beberapa kesempatan pascadeklarasi pencapresan di rumah Si Pitung, Marunda,
Jakarta Utara, Jokowi memang sudah bicara beberapa soal strategis seperti upaya
klarifikasi kebijakan Presiden Megawati tentang penjualan aset negara PT
Indosat. Namun pada umumnya penjelasan Jokowi lebih merupakan respons atas
pertanyaan para jurnalis ketimbang suatu cara pandang yang “utuh” atas suatu
persoalan. Saya berpendapat, bangsa kita menunggu Jokowi berbicara agak “utuh”
tentang tantangan Indonesia ke depan dan berbagai resep yang dianggap mujarab
untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
benar Jokowi tidak memiliki keterampilan berbicara secara artikulatif di depan
publik. Mantan Walikota Solo itu bukanlah seorang orator seperti misalnya
Prabowo Subianto, capres Partai Gerindra yang bisa tampil lantang dan
berapi-api. Namun demikian tidak berarti Jokowi harus diam seribu basa. Apalagi
publik sangat berharap bahwa presiden hasil pilpres mendatang adalah seorang
yang lebih tegas dibandingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama
hampir 10 tahun ini dikenal lamban, terlampau hati-hati, dan kompromistik.
juga benar, personalitas Jokowi bukanlah sosok yang terlampau suka dengan formalitas,
termasuk dalam mengemukakan cara pandang dan pilihan kebijakan bagi Indonesia
ke depan. Akan tetapi, adalah keliru jika ada anggapan bahwa bangsa ini tidak
membutuhkan suara bergetar para pemimpin yang bisa memberi harapan. Betapapun
lirih suara hati yang bisa diberikan Jokowi, saya kira rakyat kita saat ini
tengah menunggu untuk mendengarnya.
dipungkiri, saat ini sudah banyak harapan dan janji yang disuarakan para
capres. Namun sebagian besar janji tersebut cenderung bersifat klise dan sloganistik.
Sebut saja misalnya soal ekonomi kerakyatan. Hampir semua kandidat presiden
mengangkat isu ekonomi kerakyatan sebagai salah satu program politik utama yang
ditawarkan. Namun hampir tidak satupun gagasan yang benar-benar orisinal
sekaligus realistik untuk membawa bangsa kita mewujudkan sistem ekonomi
kerakyatan.
apakah Jokowi memiliki gagasan yang lebih orisinal, atau cenderung klise dan
sloganistik seperti capres lain? Saya kira disitulah urgensi Jokowi bicara.
* Prof. Dr. Syamsuddin Haris adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI
kompas 10 April 2014



